Hari-hari ini partai politik rajin menjalin koalisi untuk pencalonan presiden. Manuver membosankan seusai pemilu legislatif seperti ini otomatis akan hilang pada 2019 karena pemilu bakal digelar serentak, sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Hanya, perubahan itu tidak serta-merta menghasilkan koalisi yang kuat di kabinet.
PDIP dan NasDem sudah pasti mencalonkan Joko Widodo alias Jokowi sebagai presiden. Gerindra dan PPP sepakat mengusung Prabowo Subianto. Namun baik Jokowi maupun Prabowo belum memastikan figur yang mereka gandeng sebagai calon wakil presiden. Publik juga masih menunggu langkah partai lain, seperti Golkar, Demokrat, PKB, dan PAN.
Jika muncul lebih dari tiga pasangan, konstelasinya mirip dengan pemilihan presiden 2004. Saat itu terdapat lima pasangan calon presiden-wakil presiden, sehingga masing-masing hanya mendapat sokongan sedikit partai. Tapi jumlah partai penyokong pada tahap ini tidaklah menggambarkan kekuatan politik seorang calon presiden. Secara teoretis, koalisi penyokong SBY-Boediono pada 2009 lebih kuat dibanding SBY-Jusuf Kalla pada 2004. Tapi pada prakteknya sama-sama rapuh. Koalisi yang dijalin menjelang pemilihan presiden ataupun sebelum pembentukan kabinet tak bisa menghasilkan pemerintah yang solid.
Problem seperti itu juga akan dihadapi oleh siapa pun presiden yang terpilih dalam Pemilu 2014. Koalisi terasa hanya basa-basi dan lebih bertujuan untuk mendapatkan jatah kursi menteri. Lewat kekuasaannya di parlemen, partai penyokong koalisi tetap tidak risi mengusik pemerintah.
Pemilu serentak pada 2019 pun diperkirakan tidak menghilangkan kebiasaan buruk itu. Padahal hakim konstitusi mengasumsikan putusan ini bisa memperkuat sistem presidensial atau menghasilkan pemerintah yang lebih kukuh. Kasak-kusuk seperti sekarang jelas akan hilang karena pemilu legislatif dan pemilu presiden dilakukan bersamaan. Tapi, setelah pemilu, presiden terpilih akan tetap berusaha membangun koalisi lagi. Biasanya, partai yang kalah tidak malu-malu pula masuk kabinet.
Keadaan itu sulit diubah lantaran publik pun tidak menghukum partai yang plinplan atau partai penyokong pemerintah yang berkinerja kurang bagus. Lihat saja perolehan partai politik pendukung pemerintah pada pemilu kali ini. Kecuali Demokrat dan PKS yang redup karena didera sejumlah kasus korupsi, perolehan suara partai seperti Golkar, PKB, PPP, dan PAN justru naik. Sesuai dengan hasil hitung cepat lembaga Cyrus-CSIS, total suara partai pendukung pemerintah SBY bahkan masih mencapai 55 persen, mengalahkan total perolehan suara partai di luar pemerintah yang hanya 45 persen.
Fenomena itu menyulitkan pembentukan pemerintah yang disokong oleh koalisi yang solid dan kuat. Partai politik akan cenderung menghalalkan sikap tidak konsisten, enggan menjadi oposisi, dan lebih suka menjalin koalisi sekadar buat mendapatkan jatah kursi di kabinet.