TEMPO.CO, Jakarta - Arya Budi, Research Associate Poltracking Institute
Kemenangan Koalisi Pendukung Prabowo (KPP)-Gerindra, Golkar, Demokrat, PKS, dan PAN-yang berkekuatan 56 persen kursi parlemen, melumat habis posisi pimpinan DPR, MPR, dan alat kelengkapan Dewan mengingatkan saya akan tesis Jeffry Winters (2011: 273) bahwa "[setelah Orde Baru] para oligark pribumi mulai menanamkan sumber daya cukup besar dalam politik partai."
Penanaman sumber daya itu kini paling tidak memasuki "masa panen" di parlemen. Pada saat yang sama, Koalisi Indonesia Hebat-PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, dan PPP- yang hanya berkekuatan 44 persen kursi mulai terkonsolidasi dengan semangat sama: menguasai kendali palu sidang. Dualisme pimpinan DPR menjadi diskursus selanjutnya akibat kekuatan fraksi yang imbang dari 10 fraksi DPR. Dasarnya, Tata Tertib DPR (Pasal 251 ayat 1) yang mengamanatkan kuorum fraksi, bukan sekadar anggota. Terlepas dari prospek politik parlemen yang cenderung destruktif alih-alih produktif, dua blok politik di parlemen kini seolah terkonsolidasi dan mengkristal ke dalam pelembagaan politik baru.
Tentu, terlalu terburu-buru memproyeksikan bipartisme semu di Indonesia saat ini akan mengkristal layaknya Demokrat-Republik di Amerika. Alasannya sederhana: dua blok politik ini bukan lahir dari sentimen ideologis yang sama, tapi lebih pada sentimen kalah-menang. Sentimen sakit hati bisa jadi bukan soal kalah kompetisi, tapi juga akibat gagalnya komunikasi para pimpinan koalisi.
Dalam model kompetisi bipolar ini, meminjam istilah Sartori (1976), competition yang ada akan mempunyai derajat competitiveness yang tinggi karena konfrontasi aktor dan partisipan di ekstra-parlementer terkanalisasi pada dua kutub. Pada saat yang sama, fakta politik saat ini mengklarifikasi tesis politik kartel. Tesis bahwa tidak ada kompetisi dalam post-election politics di Indonesia, karena partai dan elite berbagi sumber daya dengan nalar kartel Kuskridho Ambardi (2009), menjadi tidak relevan-paling tidak untuk periode politik saat ini.
Sebaliknya, drama parlemen sejak periode pemilihan presiden hingga kini menampilkan perwatakan kanibalistik partai "memakan" partai. Blok politik mayoritas yang telah memenuhi 50 persen+1 melumat habis posisi kunci di parlemen sambil terus menarik "elite mengambang" masuk dalam sentimen "barisan sakit hati". Tentu, sekalipun ada sedikit irisan, ideologi dan platform partai tidak menjadi basis yang terlalu penting sebagai kausalitas dan mesin survival koalisi, baik koalisi pemerintahan maupun non-pemerintah.
Dalam konteks sistem presidensialisme di Indonesia, komisi-komisi di DPR saat ini bisa jadi adalah alat kelengkapan "siluman" dengan nalar kerja kabinet bayangan atau shadow cabinet. Siluman karena kabinet bayangan terjadi di negara dengan sistem parlementer. Kabinet bayangan biasa dibentuk tak lama setelah kabinet koalisi partai pemerintahan terbentuk. Kabinet bayangan biasanya efektif berjalan dalam sistem pemerintahan parlementer atau sistem kepartaian dua partai dengan hanya ada dua fraksi di parlemen: fraksi partai atau koalisi partai pemerintah, dan fraksi partai atau koalisi partai oposisi.
Di Inggris, misalnya, kursi anggota parlemen "terbelah" menjadi dua: di sisi kanan seorang parliament speaker adalah fraksi pemerintah, dan di sisi kiri parliament speaker adalah fraksi oposisi. Hal ini penting karena dalam sistem politik Westminster-seperti terjadi di Inggris, Australia, Kanada, atau Selandia Baru-struktur susunan komposisi kabinet bayangan yang dibentuk oleh partai non-pemerintah hampir benar-benar mereplikasi kabinet pemerintahan dari partai atau koalisi partai yang memimpin. Artinya, menteri pemerintahan benar-benar "diawasi" oleh menteri bayangan alias shadow minister.
Wacana KPP tempo hari untuk memekarkan sebelas komisi DPR yang ada-"disesuaikan" dengan arsitektur kementerian Jokowi-JK-dan rencana revisi atas 122 undang-undang adalah pertanda penting bekerjanya nalar shadow. Lembaga legislatif bersifat otoritatif akibat penguasaan palu sidang di bawah kendali segelintir oligark yang terkonsolidasi tunggal. Pengambilan keputusan parlemen kolektif kolegial parlemen hanya dalam proses, sementara keputusan sidang sudah bisa ditebak karena kursi "kiri" lebih banyak daripada kursi "kanan" di semua alat kelengkapan hingga pimpinan dewan.
Jika koalisi Jokowi-JK tak terkonsolidasi dan agenda pemerintah tak bertemu dengan kepentingan politik koalisi partai non-pemerintah, yang dominan dan terus mengkristal terkonsolidasi, Jokowi-JK berpotensi terganjal. Akibat kekuatan kursi koalisi pemerintah di parlemen yang tak sampai 50 persen, jadilah mereka minority government (Linz, 1990). Jokowi mau tak mau harus mampu mengubah divided government ini menjadi divided we govern. Jika tidak, mungkin saja pengalaman Amerika pada 2013 lalu terjadi di Indonesia: government shutdown. Pelayanan birokrasi pemerintahan berhenti akibat deadlock antara pemerintah dan parlemen dalam penyusunan anggaran negara alias APBN. Jokowi perlu mengubah komunikasi politik antara pemerintah dan parlemen yang terbelah menjadi "terbelah kita memerintah". *
Berita terkait
Taliban Segera Umumkan Pemerintahan Baru di Afghanistan, Siapa Saja?
2 September 2021
Taliban sedang bersiap mengumumkan pemerintahan baru Afghanistan. Siapa saja yang akan menjadi pejabat?
Baca SelengkapnyaWagub Uu Ajak ICMI Bangun Jabar
30 November 2019
Prioritas pembangunan Pemprov Jabar saat ini adalah mengurangi kesenjangan di masyarakat.
Baca SelengkapnyaIngin Selamat dari Perang Dunia III? Pindahlah ke Negara Ini
11 Oktober 2017
Konflik Amerika Serikat dan Korea Utara dalam beberapa bulan terakhir ini memicu kekhawatiran terjadinya Perang Dunia III.
Baca SelengkapnyaDin Syamsuddin Sebut Konsep Khilafah Digaungkan HTI Salah Kaprah
23 Agustus 2017
Sebab, kata Din Syamsuddin, Indonesia telah menjalankan konsep khilafah dengan mengamalkan nilai-nilai keislaman.
Menteri Penerima Opini Disclaimer dari BPK Bakal Kena Sanksi
24 Mei 2017
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, pengelolaan anggaran kementerian atau lembaga pemerintahan dari BPK harus baik di tahun depan.
Baca Selengkapnya2,5 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK, Publik Merasa Puas 64,4 Persen
22 Maret 2017
Lembaga Indo Barometer merilis hasil survei menyangkut evaluasi publik terhadap 2,5 tahun pemerintahan Jokowi-JK, tingkat kepuasan publik 64,4 persen.
Baca SelengkapnyaAgus Pambagio: Komunikasi Pemerintah ke Publik Masih Buruk
2 Februari 2017
Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, mengungkapkan masih belum berjalannya komunikasi publik yang baik dari pemerintah Presiden Joko Widodo.
Baca SelengkapnyaJokowi dan Pimpinan MPR Bahas UU MD3 Hingga Haluan Negara
24 Januari 2017
Jokowi dan Pimpinan MPR menggelar rapat konsultasi yang membahas UU MD3, Haluan Negara, 2 peringatan hari besar, dan Lembaga Pemantapan Pancasila.
Baca SelengkapnyaRayakan Dua Tahun Jokowi-Kalla, Fadli Zon Bikin Puisi
22 Oktober 2016
Fadli Zon mengatakan ini puisi dua tahun Jokowi-JK ini spontan dibuat di ponselnya.
Baca SelengkapnyaWiranto Panggil Sejumlah Menteri ke Kantornya, untuk Apa?
13 September 2016
Yang hadir dalam rapat koordinasi itu adalah anggota Tim Crisis Center pemerintah RI. Anggota tim yang belum tampak adalah Kepala BIN Budi Gunawan.
Baca Selengkapnya