Penetapan Hadi Poernomo sebagai tersangka korupsi pajak merupakan tamparan bagi Dewan Perwakilan Rakyat. Parlemen ternyata meloloskan figur yang tak bersih untuk memimpin Badan Pemeriksa Keuangan. Fenomena seperti ini akan terus berulang bila DPR tidak memperbaiki mekanisme pemilihan pimpinan BPK.
Komisi Pemberantasan Korupsi memberikan "kado istimewa" itu tak lama setelah Hadi mengakhiri masa jabatannya sebagai Ketua BPK. Hadi dijerat dengan kasus penyalahgunaan wewenang ketika ia menjabat Direktur Jenderal Pajak pada 2001-2006. Hadi menulis nota dinas yang mengabulkan keberatan Bank Central Asia atas tagihan pajak Rp 375 miliar. Padahal, menurut hasil telaah tim Direktorat Pajak, keberatan itu semestinya ditolak.
Walau amat terlambat, langkah KPK perlu dihargai. Penetapan Hadi sebagai tersangka bisa menjadi momentum untuk membersihkan kantor perpajakan. Maklum, selama ini kantor pajak merupakan salah satu lembaga yang diyakini masih "kotor" dan sarat dengan permainan. Tentu saja, ujung-ujungnya duit. Belum maksimalnya pemberantasan korupsi di lembaga ini membuat kebocoran pajak diperkirakan masih sangat besar, bisa mencapai ratusan triliun rupiah per tahun.
Sebelumnya, memang sudah banyak korupsi di kantor pajak yang diungkap, tapi yang menangani bukanlah KPK. Di antaranya adalah kasus Gayus Tambunan dan Dhana Widyatmika. Dua kasus pegawai pajak ini hingga sekarang tidak terbongkar tuntas. Banyak perusahaan atau pihak yang bermain mata dengan Gayus dan Dhana tak diusut oleh kepolisian dan kejaksaan.
Kali ini KPK diharapkan mengusut secara serius kasus Hadi dan korupsi pajak yang lain. Harta tersangka yang melimpah-ruah juga perlu dicurigai. Menurut Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara per 9 Februari 2010, kekayaan Hadi mencapai Rp 38,8 miliar. Sebagian besar hartanya dinyatakan berasal dari hibah?modus yang sering dipakai untuk menyembunyikan hasil korupsi.
Kasus Poernomo juga merupakan pelajaran penting bagi DPR. Boleh saja Dewan memiliki sederet wewenang dalam menentukan pejabat penting, termasuk pimpinan BPK. Tapi wewenang Dewan yang besar akan merugikan diri sendiri bila tak sanggup mengelolanya secara baik, apalagi cenderung menyalahgunakannya.
Publik kini mempertanyakan kredibilitas sejumlah lembaga penting di negeri ini gara-gara DPR kurang selektif memilih orang-orang yang memimpinnya. Sebelum kasus Hadi Poernomo, masyarakat sudah muak atas terbongkarnya suap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Baik Hadi maupun Akil merupakan figur yang diorbitkan oleh DPR.
Anggota DPR periode mendatang sebaiknya tidak terjerembap pada kesalahan yang sama. Mereka mesti berhati-hati menyeleksi calon pemimpin di lembaga sepenting BPK. Kesalahan memilih Hadi Poernomo jelas berakibat buruk. Sekalipun ia dijerat dalam kasus lama, tetap saja BPK tercoreng.