Cordoba, sayup-sayup sampai
Federico Garcia Lorca
Pada suatu hari di tahun 1152, Ibn Rushd dipanggil menghadap Amir Abu Yaqub Yusuf di Marrakesh, ibu kota Maroko waktu itu. Ia tak tahu kenapa. Ketika itu umurnya baru 27. Tapi ia memang istimewa: ia lahir serta tumbuh di Cordoba, pusat kecerdasan di Eropa pada abad ke-12, dan ia dibesarkan di keluarga yang terpelajar....
Maka ke Marrakesh ia datang. Di ruang dalam istana, dilihatnya Baginda sedang berdua dengan Ibn Tufail, filosof dan pengarang Hayy ibn Yaqzan, sebuah fiksi alegoris yang berabad-abad kemudian dianggap mengilhami Robinson Crusoe. Ibn Tufail juga gurunya di bidang filsafat. Hari itu rupanya dia ingin memperkenalkan Ibn Rushd.
Tak disangka, sang Amir memulai perkenalan dengan bertanya, "Bagaimana pendapat para filosof tentang surga? Abadikah, dan adakah awalnya?"
Ibn Rushd terenyak. "Aku tercekam rasa takut," katanya mengenang, "Aku bingung."
Mungkin sadar ia membuat gentar pemuda itu, Baginda pun berpaling ke Ibn Tufail. Segera diskusi berkembang, dengan kutipan yang tangkas dari karya Plato, Aristoteles, dan para pakar theologi muslim. Ibn Rushd merasa betah. Apalagi sang Amir mengagumi kecerdasannya. Abu Yaqub pula yang kemudian mengangkatnya jadi dokter istana.
Dari sini disusunnya sebuah ensiklopedia, Kitab al-Kulliyat fi-l-tibb, yang kemudian, dalam versi Latin, berpengaruh di sekolah kedokteran di seluruh Eropa. Ia memperkenalkan fungsi retina. Ia tunjukkan bahwa pasien jadi kebal bila sembuh dari cacarsatu kesimpulan yang sampai kini berguna untuk imunisasi.
Tapi ia juga mendapat tugas yangmeskipun kemudian membuat namanya dikenangamat tak gampang: menulis tafsir karya Aristoteles. Bagaimana filsafat seorang Yunani yang tak bertuhan bisa bertemu dengan kaidah agama pada abad ke-12? Soal ini merupakan tema pokok ketegangan pemikiran zaman itu, ketika tafsir Ibn Rushd bergema di pusat-pusat kajian di Eropa: filsafat terbentur akidah.
Ibn Rushd sebenarnya mencoba menemukan jalan tengah. Tapi ia hanya berhasil dalam buku. Di kancah kekuasaan ia gagal. Ketika Abu Yaqub digantikan Al-Mansur pada tahun 1184, ia tersisih. Ia dibuang ke Lucena. Begitu banyak tuduhan ia telah lepas dari ajaran Islam. Di Sevilla buku-buku filsafatnya dibakar. Hanya yang mengenai kedokteran dibebaskan.
Sudah sejak itu agaknya berlaku anggapan bahwa ilmu berada di kategori yang jauh dari filsafat. Memang, ilmu menghadapi problem seperti pisau menghadapi buah: mengupas, membelah, dan mengurai, sedangkan filsafat bergulat di dalam masalah seperti seseorang yang terjun ke dalam jeram. Tapi ada yang mempersamakan keduanyadan itu sebabnya Ibnu Rushd seorang ilmuwan besar: ia berani meletakkan keyakinan dan praduganya sendiri di dalam kurung, untuk sementara atau selamanya. Di tiap tahap ilmu, di tiap saat filsafat, meragukan dan bertanya adalah niscaya.
Bukan untuk mengada-ada. Yang bertanya tentang tubuh dan penyakitnya akhirnya toh akan tersangkut ke masalah roh dan jasad. Yang bertanya abadi atau tidaknya surga mau tak mau akan terlibat dalam masalah bagaimana manusia harus bersikap. Jika surga tak kekal, apa sebenarnya makna pahala?Apa pula arti dosa?
Pertanyaan macam itu tak selalu bisa dihalau, bahkan dari masjid sekalipun. Siapa yang mencegahnya akan mirip seorang juru mudi yang ngeri ketika biduknya terguncang topan, tapi memilih tidur. Tidur, mungkin mimpi.
Sampai kapan? Ketika kepada orang dianjurkan "carilah ilmu bahkan sampai ke Negeri Cina," ketika itu pula ada asumsi bahwa ada yang "baik" di sebuah negeri yang begitu jauh dan begitu berbeda. Tapi kenapa "baik"? Apa arti "baik"? Menolak untuk memasuki renungan tentang itu sama halnya dengan menampik untuk mencari ilmu. Sebab ilmu dimulai dari pertanyaan dan berlanjut dalam petualangan. Sampai ke Negeri Cina sekalipun.
Tapi di Sevilla, buku Ibn Rushd dibakar, filsafat ditakuti. Sampai sekarang pun pembakaran itu belum usai agaknya. Sayyid Qutb, yang menghasratkan Islam kembali berkibar di bidang ilmu, mencegah orang memasuki filsafatdan tentu saja lupa bahwa di Cordoba dulu orang akan mengabaikan sikap yang demikian.
Tapi Cordoba tak selamanya bersinar. Pada tahun 1236, Ferdinand III merebutnya dan menjadikannya bagian dari Spanyol yang Katolik. Sebuah benteng diubah jadi kantor Inkuisisi Gereja yang ganas: dari sinilah diputuskan orang dihukum bakar bila imannya dicurigai "cemar". Yang tak murni, yang "asing", dibasmi.
Pernah saya berkunjung ke bangunan-bangunan tua di tepi Sungai Guadalquivir itu. Seperti laiknya turis, saya masuk ke la mezquita, masjid besar yang mulai didirikan pada abad ke-8 itu. Sejak 1236, ia tentu saja sudah berubah jadi katedral. Kuno tapi kekar (100 tahun lebih tua ketimbang Borobudur), impresif tapi murung, di dalamnya ratusan tiang berjajar bagaikan pohon hutan, menyangga lengkung merah pualam. Tapi agak ke tengah, barisan itu tiba-tiba terhenti. Ada ruang yang dibangun untuk ambulatori dengan atap kubah.
Sedikit tergetar saya melihat itu. Sesuatu telah dipatahkan. Di sebuah sisi masih tampak bekas mihrab, dengan tepi yang bertatahkan kaligrafi Arab: barisan renik kalimat syahadat. Lebih separuhnya telah dibusak, lenyap. Tak jauh dari sana: patung Kristus.
Kekerasan telah terjadi di sini, pasti: keindahan dan iman yang lama dihapus oleh keyakinan baru. Tapi bukankah yang dilakukan Ferdinand III terhadap masjid Cordoba tak berbeda dengan yang dilakukan Amir al-Mansur yang membakar karya filsafat di Sevilla?
Hanya kuasa dan iman yang tegar yang tega berbuat demikian: yang tak sama dengan dirinya, biarpun indah dan berarti, harus ditiadakan. Yang renik dan kompleks, biarpun memukau, bisa mengganggu kesalihan yang lurus. Mereka harus dibabat.
Sejak itu Cordoba senyap. Dan kita yang datang dari jauh tahu: tak akan sampai kita ke Cordoba yang dahulu.
Goenawan Mohamad