Said

Penulis

Senin, 29 September 2003 00:00 WIB

Kabar tentang Edward Said meninggal saya baca di sebaris sandek. Kalimat itu muncul di layar telepon genggam ketika saya tengah duduk di depan sebuah lampu meja yang penyungginya terbuat dari batu berukirkan dua sosok penari: sebuah nukilan Borbudur.

Kabar datang, pergi, informasi melintas cepat-cepat. Mungkin sebab itulah orang membangun monumen. Memahat adalah mengingat. Atau sebaliknya: sejarah ingin dipahat, dituliskan dengan huruf kapital "S", tapi segala yang datang dan pergi tak bisa disusun dalam kronologi dan tema besar. Mereka terus mengerumuni kita, merasuki kita. Dan Sejarah pun seakan-akan mengunjal napas, capek dan gaek, di hadapan kini. Kini itu tak kunjung berhenti. Yang terpeluk oleh Sejarah hanya segala yang telah lewat, reruntuhan.

"The sigh of History rises over ruins…."

Edward Said meninggal, dan aneh bahwa saya teringat potongan kalimat Derek Walcott itu. Sang penyair Karibia tengah melukiskan sebuah sore di sebuah dusun Trinidad ketika orang-orang keturunan India mempertunjukkan satu versi Ramayana di lapangan desa. Bendera warna-warni berkibar, bocah-bocah berpakaian merah dan hitam mengarahkan panah mereka ke cahaya setelah siang, dan di arah sana tampak dua bangunan bambu, bagian dari patung dewa yang nanti akan dibakar. Para penabuh tabla telah menyalakan api. Langit mulai gelap. Burung-burung ibis yang kemerahan terbang pulang.

Di lapangan itu, para aktor Ramayana di dusun Trinidad itu bukan hendak menegakkan kembali masa lampau. Mereka hanya ingin bermain, menjalankan ritus. Lanskap itu sebuah lapangan yang hidup dan hiruk. Kejadian itu bukan wakil sebuah "periode". Ia bukan secuil contoh dari satu "zaman". Di sini, di mana-mana, suara Sejarah luruh. The sigh of History dissolves….

Advertising
Advertising

Tapi bila Sejarah sebenarnya tak mampu menyusun peta waktu, sebagaimana geografi tak bisa menyusun peta bumi dan penghuni—karena hal-hal itu selalu berubah, karena variasi mereka tak tepermanai—dengan cara apakah kita mampu membaca garis hidup dan memahami dunia? Yang pasti, kita tak akan bisa membacanya utuh. Mengetahui adalah menguasai, tapi itu ikhtiar yang tak kunjung sampai. Sebab itulah cerita pengetahuan adalah cerita mobilisasi sehimpun lembaga, teknologi, dan modal. Pengetahuan pun berbaur dengan kekuasaan. Pengetahuan menjadi kekuasaan.

Bertahun-tahun Edward Said dikenal dengan premis á la Foucault itu, dan dengan itulah karya besarnya, Orientalism, selalu diperbincangkan. Mungkin karena ia sebuah polemik yang ditembakkan ketika imperialisme dibongkar: sebuah serangan ke sejumlah besar karya para ilmuwan, pemikir, dan penulis di Eropa. Mereka ini bagian dari usaha kolonialisme, kata Said. Mereka menghadapi lanskap yang hidup dan hiruk di luar lingkup mereka, dan mereka meringkas dan meringkus; mereka membentuk sebuah Sejarah. Di bungkusnya mereka capkan label "Timur" dan "Barat". Walhasil, "Timur" adalah sebuah sistem pelukisan tentang sebuah dunia "lain" yang oleh kekuatan politik diberi rangka tertentu untuk disajikan untuk disiasati orang di "Barat".

Dengan semangat polemis yang sama Said juga menunjukkan bahwa "Eropa" memang butuh satu sosok yang berbeda agar ia bisa memperjelas identitasnya sendiri. Maka "Eropa" pun membentuk sebuah Sejarah dan Peta yang secara esensial lain, bahkan berlawanan. Tentu saja bagi Said, "esensialisme" ini sewenang-wenang. Dalam edisi 1995 dari buku terkenalnya itu ia mengutuk tiap "usaha untuk memaksa kebudayaan dan orang-orang ke dalam jenis dan esensi yang terpisah dan beda." Sebab, katanya, "posisi palsu ini menyembunyikan perubahan sejarah."

"Palsu"—dengan hasil yang salah. "Pertimbangkan, besarnya Asia yang direduksi jadi fragmen-fragmen ini…," tulis Derek Walcott, yang juga tak percaya bahwa Sejarah bisa ditulis bahkan tentang serpihan Ramayana di dusun Trinidad itu. Dari Said kita juga belajar bahwa semua gambaran tentang "Asia", sebagai discourse, selalu diwarnai oleh bahasa, budaya, institusi, dan suasana politik si orang yang membuat gambar. Semuanya bukan "kebenaran".

Begitulah, Said adalah sebuah kritik. Tapi sebagaimana lazimnya sebuah polemik, Orientalism kadang terlalu bersemangat menembak, dan meleset. Ia lupa bahwa hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan tak hanya terbatas dalam discourse yang topang-menopang dengan imperialisme ke dunia "Timur". Heidegger, sebelum Foucault, telah memaparkan bahwa sejak masa Sokrates dan Plato di Yunani, cara manusia (Eropa) berpikir telah mengarah ke meringkus dan meringkas dunia di luar dirinya—dan tendensi ini diperkeras oleh penerjemahan konsep Yunani lama oleh semangat imperial Romawi.

Cara berpikir itu tak ayal merasuki gambaran Said sendiri tentang para "Orientalis". Ia membangun satu Sejarah dari sebuah lapangan pemikiran yang hidup dan hiruk. Ia tak memberi kemungkinan sesuatu yang berbeda, bahwa di Eropa, "Timur" tak selamanya dilukiskan sebagai sesuatu yang harus dijajah agar beradab—misalnya ketika Voltaire di pertengahan abad ke-18 memuji Islam dan mengejek Gereja Katolik. Said begitu berapi-api mengecam pengetahuan "Barat" tentang "Timur" sehingga ia (dan juga para pengagumnya) sering tak hendak melihat kesalahan pengetahuan "Timur" tentang dirinya sendiri.

Tapi di situ pula Said menyiratkan kepedihan: menghadapi kekuasaan yang bertaut dengan pengetahuan, menghadapi senjata, harta, dan kata-kata yang begitu kuat dan menaklukkan, ia berangkat untuk membebaskan. Bukan kebetulan ia seorang Palestina.

Tapi kini ia meninggal, dan seorang teman mengirim sebaris sandek: "Kenapa saya sedih?" Kenapa kita sedih? Mungkin karena hati kita adalah Palestina, jawab saya, pernah merasakan bagaimana diringkas, diringkus, dan dibungkam di dunia.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Respons Jokowi hingga Luhut Soal Komposisi Kabinet Prabowo

38 detik lalu

Respons Jokowi hingga Luhut Soal Komposisi Kabinet Prabowo

Jokowi mengatakan dia dan pihak lain boleh ikut berpendapat jika dimintai saran soal susunan kabinet Prabowo-Gibran.

Baca Selengkapnya

Indonesia Kaji Penerapan Publisher Rights Australia

3 menit lalu

Indonesia Kaji Penerapan Publisher Rights Australia

Indonesia berencana mempelajari penerapan aturan Publisher Rights dari Australia yang telah lebih dulu melakukannya.

Baca Selengkapnya

Kuota Pupuk Bersubsidi Naik, Mentan: Segera Tebus

3 menit lalu

Kuota Pupuk Bersubsidi Naik, Mentan: Segera Tebus

Penambahan pupuk subsidi dari 4,7 juta ton menjadi 9,5 juta ton telah mendapat persetujuan dari presiden.

Baca Selengkapnya

Belgia Kecam Intimidasi Israel dan AS terhadap ICC

14 menit lalu

Belgia Kecam Intimidasi Israel dan AS terhadap ICC

Kementerian Luar Negeri Belgia mengatakan pihaknya "mengutuk segala ancaman dan tindakan intimidasi" terhadap Pengadilan Kriminal Internasional (ICC)

Baca Selengkapnya

Paritrana Award BPJS Ketenagakerjaan Masuk Tahap Wawancara Nasional

14 menit lalu

Paritrana Award BPJS Ketenagakerjaan Masuk Tahap Wawancara Nasional

Paritrana Award merupakan apresiasi untuk mendorong terwujudnya universal coverage perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan.

Baca Selengkapnya

Ratusan Mahasiswa Universitas Indonesia Gelar Aksi Simbolik UI Palestine Solidarity Camp

17 menit lalu

Ratusan Mahasiswa Universitas Indonesia Gelar Aksi Simbolik UI Palestine Solidarity Camp

Ratusan mahasiswa Universitas Indonesia menggelar aksi solidaritas bagi warga Palestina dan mahasiswa di Amerika yang diberangus aparat.

Baca Selengkapnya

Penanganan Polusi Udara, Peneliti BRIN Minta Indonesia Belajar dari Cina

18 menit lalu

Penanganan Polusi Udara, Peneliti BRIN Minta Indonesia Belajar dari Cina

Cina menjadi salah satu negara yang bisa mengurangi dampak polusi udaranya secara bertahap. Mengikis dampak era industrialisasi.

Baca Selengkapnya

UTBK di UNJ: Dua Peserta Pingsan, Diduga karena Stres

20 menit lalu

UTBK di UNJ: Dua Peserta Pingsan, Diduga karena Stres

Seluruh peserta UTBK UNJ sebanyak 30.364 orang yang terbagi atas 132 sesi dimana setiap hari dilakukan ujian sebanyak 2 sesi.

Baca Selengkapnya

Helldy: Aspal Plastik di Cilegon Bisa Jadi Percontohan

24 menit lalu

Helldy: Aspal Plastik di Cilegon Bisa Jadi Percontohan

Aliansi Kabupaten/Kota Peduli Sanitasi akan berkunjung ke Kota Cilegon. Penggunaan aspal plastik dapat menjadi contoh implementasi pengolahan sampah.

Baca Selengkapnya

Kata Apriyani / Fadia Usai Telan Kekalahan dari Lee So Hee / Baek Ha Na di Piala Uber 2024

26 menit lalu

Kata Apriyani / Fadia Usai Telan Kekalahan dari Lee So Hee / Baek Ha Na di Piala Uber 2024

Apriyani / Fadia harus mengakui keunggulan Lee So Hee / Baek Ha Na, pada babak semifinal Piala Uber 2024. Indonesia vs Korea Selatan imbang 1-1.

Baca Selengkapnya