Kalangan partai politik terlihat kedodoran membangun koalisi dan menyiapkan calon presiden. Hingga kini, belum muncul calon tangguh untuk menandingi Joko Widodo alias Jokowi--calon presiden yang didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Nasional Demokrat. Keadaan ini tak akan terjadi andaikata partai-partai mendengarkan keinginan publik dan pintar melahirkan pemimpin.
Prabowo Subianto merupakan satu-satunya pesaing Jokowi yang paling siap. Hanya, Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya ini belum bisa memastikan partai lain yang ikut mengusungnya. Ia telah menjajaki koalisi dengan sejumlah partai, seperti Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, dan Partai Golongan Karya. Tapi sejauh ini belum ada partai yang resmi bergandengan dengan Gerindra buat menyokong pencalonan Prabowo.
PDIP tampak hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengumumkan pasangan Jokowi. Tapi tidak demikian halnya dengan partai lain. Energi mereka banyak terkuras untuk mencari kawan berkoalisi. Kasak-kusuk ini kerap mengundang perpecahan seperti yang terjadi di Partai Persatuan Pembangunan. Ketua Umum PPP Suryadharma Ali ingin menyokong Prabowo, tapi para petinggi partai yang lain tidak sepakat.
Di Golkar, posisi Aburizal Bakrie malah serba salah. Bila ngotot maju sebagai calon presiden, ia diprediksi akan sulit menang. Tapi beralih menjadi calon wakil presiden, lalu berpasangan dengan calon presiden dari partai lain, juga bukan pilihan yang mudah. Kalangan internal partai akan mempersoalkan langkah mundur ini.
Partai Demokrat pun serba repot. Suara partai ini yang merosot tajam sebetulnya bukan halangan buat menyiapkan calon presiden. Masalah muncul karena calon presiden yang bertarung lewat konvensi Demokrat memiliki elektabilitas yang rendah. Ini berarti ada yang salah dalam menentukan mekanisme konvensi. Demokrat juga gagal membaca keinginan pemilih ihwal figur ideal untuk presiden 2014-2019. Padahal partai ini memiliki banyak tokoh andal di pemerintahan yang semestinya bisa ditawarkan kepada publik.
Jauh hari, partai politik biasanya langsung menempatkan ketua umumnya menjadi calon presiden. PDIP pun melakukan hal yang sama, sebelum akhirnya Megawati memberi kesempatan kepada Jokowi. Inilah yang menimbulkan problem ketika elektabilitas calon presiden yang juga ketua umum partai itu tak cukup untuk menandingi calon lain. Aburizal mengalami kebingungan ini. Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat, Wiranto, pun bernasib sama.
Kelemahan partai politik dalam melahirkan pemimpin yang andal jelas merugikan rakyat. Kini publik baru disodori dua calon presiden yang benar-benar siap: Jokowi dan Prabowo. Padahal orang tahu, di luar mereka, sebetulnya banyak tokoh yang berpotensi besar menjadi presiden. Partai-partai tidak mengorbitkannya sehingga rakyat menghadapi pilihan yang terbatas.