TIAP tahun selalu ada sebuah puasa panjang, dan kemudian sebuah ritual memaafkan. Saya pernah bersua dengan seorang alim yang mengatakan, sebagaimana halnya puasa 30 hari pada bulan Ramadan, memaafkan juga dapat diungkapkan dalam idiom "mengosongkan diri". Sekaligus "penyucian". Ada jalin-menjalin beberapa kata dan makna di sini. "Kosong" (dalam "mengosongkan") berarti tanpa isi: sesuatu yang sepenuhnya negatif. Mungkin sebab itu ada seorang penyair Jawa abad ke-19 yang memilih memakai kata suwung, yang lebih berasosiasi dengan "hampa" dan "lengang", dan juga dekat dengan kata sawung, sebuah sinonim dari kata "jawab" (disawung, dalam Baoesastra Jawa yang disusun W.J.S. Poerwadarminta pada tahun 1939, sama dengan "dijawab"). Tak mengherankan bila Ranggawarsita, penyair itu, mengungkapkannya dalam sebuah paradoks: suwung nanging sakjatining isi, "kosong tapi pada hakikatnya berisi". Ia menggambarkan suatu sikap meditatif. Dalam pada itu, "penyucian" dalam bahasa Indonesia mengandung dua patah kata Melayu, "cuci" dan "suci". Dua patah kata yang berdekatan bunyi itu mengingatkan kita bahwa yang bersih dan yang kudus terkait karib, bahwa yang sakral ada hubungannya dengan yang tak cemar. Ketika kita membayangkan berpuasa dan memaafkan sebagai "penyucian diri", kita memandangnya sebagai sebuah pembebasan dari subyek yang bergelimang lemak dan Lumpur dunia, dan dalam proses itu, ia pun "penuh", "mapan", dan "kenyang". Sebuah subyek yang menggelembung, mapan, dan penuh adalah sebuah subyek yang tak hendak menerima lagi apa yang datang dari luar dirinya. Ia tak akan lagi menyambut yang lain. Ia bukan aku yang suwung yang menghendaki dan merindukan sawung. Ia tak menghendaki respons. Ia merasa sudah padat-jawab. Jika ia memberikan maaf kepada orang lain, baginya itu sama artinya dengan memberikan derma, dan bukan justru karena ia merasa menerima kemurahan hati dari Hidup. Ia tak menyadari bahwa Hidup menghadirkan sesuatu yang lebih kaya ketimbang sebuah Aku yang soliter, lebih beragam ketimbang satu subyek yang dipenuhi diri sendiri dan memandang dunia sebagai koloni yang bisa ia taklukkan dan ia bentuk sesuai dengan desainnya. Untuk melepaskan diri dari Aku yang seperti itu, kita bisa melihat ke satu konsep yang jauh dari cogito ergo sum, yakni konsep dalam sebuah bahasa Afrika Selatan: ubantu. Seorang yang mempunyai ubantu adalah seorang yang terbuka dan dapat dijelang oleh yang lain, meneguhkan yang lain, tak merasa terancam oleh yang lain; ia merasa jadi bagian dari sebuah dunia yang asyik, ramai, dan banyak memberi. Dengan gambaran manusia yang ber-ubantu itulah Desmond Tutu, rohaniwan arif yang muncul dari kekejaman apartheid itu, berbicara tentang permaafandan memang cerita yang mengagumkan tentang puasa dan permaafan pada kurun waktu ini adalah cerita Afrika Selatan, cerita Nelson Mandela. Mandela dipenjarakan selama 27 tahun oleh pemerintah kulit putih di Afrika Selatan, ketika kaum kulit hitam dipaksa hidup di bawah represi dan penghinaan serta dibungkam dengan teror, penyiksaan, pembunuhan. Selama itu, selama dalam tahanan yang praktis tak pernah diketahui dunia itu, Mandela dipaksa bekerja rodi hingga matanya rusak. Dalam arti tertentu ia berpuasa. Tapi agaknya puasanya yang lebih besar datang berangsur-angsuryakni ketika pelan-pelan ia mengosongkan diri, mengempiskan ego, dari keangkuhan yang mengatakan, "akulah sang korban; aku berhak membalas dendam". Ketika pada tahun 1963 ia ditangkap, ia seorang pemimpin gerakan pembebasan yang percaya bahwa perlawanan bersenjata itu sesuatu yang niscaya. Agaknya tak ada yang bisa menyalahkan dia sepenuhnya jika ia berpikir demikian; dendam bisa memberikan kekuatan, dan dendam juga bisa berbicara tentang keadilan. Tapi ketika pada tahun 1990 Mandela dilepas, ia sudah berubah oleh sebuah puasa (mungkin juga bisa dilihat sebagai "jihad") yang lebih besar. "Aku tahu bahwa orang mengharapkan aku menyimpan amarah kepada orang kulit putih," katanya. "Tapi aku tak punya rasa itu sedikit pun." Dalam otobiografinya, Long Walk to Freedom, ia menyebut bahwa salah satu yang sangat disesalinya ialah bahwa ketika ia dibebaskan, ia tak sempat mengucapkan selamat tinggal secara sepatutnya kepada para petugas penjara. Tak aneh. Sebab, baginya mereka juga bagian dari sistem yang membuat orang jadi "tawanan kebencian" yang "dikunci di balik jeruji prasangka dan pikiran sempit". Saat ia jadi bebas, dan bersyukur, ia juga ingin agar mereka, dan siapa pun, lepas dari penjara yang seperti itu. "Aku ingin Afrika Selatan melihat bahwa aku mencintai musuh-musuhku, sementara aku membenci sistem yang menyebabkan kita bermusuhan." Pada Mandela tampak ada kaitan antara puasa dan maaf, antara mensyukuri kebebasan dan keinginan untuk menyebarkan keadaan bersyukur itu kepada siapa saja. Tentu, ia seorang pemimpin politik yang berniat dan bertugas membangun Afrika Selatan, negeri yang dengan jerih dan sakit diperjuangkannya itu; sebab itu sikapnya memaafkan juga lahir dari sebuah pertimbangan pragmatis. Seandainya ia memutuskan untuk membakar nafsu menuntut balas, seandainya ia tak mencoba jadi lambang usaha "kebenaran dan rekonsiliasi", Afrika Selatan akan jadi gurun api dan sungai darah. Bersikap pragmatis tak selamanya tanpa nilai. Gandhi juga pernah mengatakan, jika tiap orang menjalankan prinsip "satu mata harus dibalas dengan satu mata", maka "seluruh dunia akan buta". Ada perhitungan untung rugi di sini, meskipun harus dicacat bahwa "buta" tak dengan sendirinya punya arti harfiah. Buta bisa berarti juga sebuah kemalangan, ketika hanya kegelapan yang datang kepada kita. Kegelapan itu tak ada hubungannya dengan misteri, melainkan dengan satu warna dan satu corak di jalan buntu: bahwa manusia seutuhnya adalah makhluk yang satu dimensi: hanya bisa menaklukkan dan ditaklukkan.
Goenawan Mohamad