Tuhan dan TV, iman dan Internet, khotbah yang tak henti-henti melintasi tempat yang beragam, barangkali itulah yang membuat agama kini menjangkau ke pelbagai penjuru, mengatasi ruang dan waktu. Barangkali itu juga yang membuat agama tak menemukan bumi. Tempat telah jadi sesuatu yang virtual.
Rasanya ada yang hilang di sini. Tempat bertaut dengan tubuh. "Tubuh" berarti tubuh yang dilahirkan dan melahirkan, jasmani yang berbahasa dan yang bersanggama, badan yang dewasa dan mati. Dalam riwayat tubuh itulah ritus perjalanan hidup dilembagakan dan dirayakan, dan dengan demikian tersusunlah tradisi. Sejarah pun mendapatkan unsurnya yang khas. Tapi yang khas itu bisa diabaikan, ketika TV dan Internet membuat dorongan komunikatif begitu penting untuk melintasi perbatasan, menjangkau segala pelosok. Tempat pun dengan mudah diabaikan, dan tubuh tak mendapatkan peran.
Pada saat itu fundamentalisme pun tersiar.
Ada yang berpendapat bahwa fundamentalisme adalah keinginan untuk kembali menemukan tempat asal, ke fundamen, untuk tak melupakan tradisi dan sejarah. Derrida, misalnya, menganggap kekerasan fundamentalis sebagai reaksi terhadap sejenis globalisasi yang disebutnya sebagai "mondialatinisation", proses pe-Latin-an dunia. Dalam proses ini, yang lain, yang bukan-Latin, yang tak bertaut dengan sejarah yang "Latin", terdesak. "Latin" di sini mungkin juga berarti sesuatu yang berhubungan dengan dunia Kristen di Eropa. Tapi "Latin" bisa juga bentuk pemahaman tentang dunia yang menyamakan "mengetahui" dengan "menguasai".
Maka reaksi pun bangkit. Yang "bukan-Latin" tak hendak ditelan oleh "latinisasi", yang-"sini" tak hendak dicengkeram dalam kuasa yang-"sana". Bila darah tumpah, pembantaian dan pencincangan terjadi, dan tubuh dipotong dan dirusak (seperti konon dalam kekerasan di Aljazair antara kaum "Islamis" dan musuh mereka), itu semua menurut Derrida adalah "pembalasan" terhadap tendensi ilmu-teknologi untuk membuat orang lain sekadar sebagai hal ihwal yang diletakkan di layar kaca dalam bentuk yang kering dan gepeng, tanpa tubuh, seperti makhluk virtual dalam mainan komputer. Fundamentalisme, yang sering dikatakan sebagai anti-modernitas, menampik itu.
Tapi saya kira dalam hal ini Derrida keliru. Saya kira fundamentalisme justru punya kesejajaran dengan teknologi digital: seperti segala hal yang berlalu lintas dalam alam virtual, sikap keagamaan ini tidak berbicara kepada orang lain sebagai sosok-dalam-tempat-dan-tubuh. Fundamentalisme menganggap dirinya paling murni, dan itu berarti tak tersentuh tanah, tak bertaut dengan geografi dan sejarah apa pun, tak terbentuk oleh bumi dan jasmani yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari masa ke masa. Ia bahkan memandang bahasa, yang dipakai kitab suci, seakan-akan bukan sesuatu yang dibentuk oleh tubuh tertentu dan hubungan sosial tertentu pula. Ia melihat dirinya pembawa kata yang kekal dan universal, dan dengan keyakinan itu ia bergegas.
Beragama seperti itu—apalagi bila ia ikut berlalu lintas dalam teknologi komunikasi yang menjangkau tanpa garis perbatasan—adalah beragama yang akhirnya tak punya lagi keinginan dan kesempatan untuk berdiam.
"Berdiam" berarti menemukan tempat, tapi "berdiam" juga berarti tak gaduh dan tak resah. Dalam menemukan tempat, dalam tiada gaduh dan tiada resah itu, beragama akan menemukan kembali rasa bersyukur. Sebab dalam berdiam, berpikir adalah tafakur dan tafakur adalah berterima kasih. Das Denken dankt, kata Heidegger.
Dalam berterima kasih yang diam itulah, dalam keadaan yang oleh sebuah puisi mistik Jawa abad ke-10 disebut "sepi, sepah, samun," sebuah sikap pasif adalah sebuah sikap yang justru terbuka kepada keakraban dengan yang lain, dengan pesona dan misteri dari yang lain—apalagi Yang Maha-Lain.
Sebab itu agaknya tema berdiam merupakan sebuah tema yang terdapat di mana-mana, ketika iman belum kehilangan tafakur dan belum sibuk ke luar, ketika kesalihan belum memamerkan diri, ketika agama belum didera oleh hasrat komunikatif, dan tentu saja ketika teknologi digital belum berkecamuk. Pada abad ke-14, Meister Eckhart, mistikus yang wafat di Cologne pada tahun 1327, pernah mengatakan bahwa bersikap pasif "lebih sempurna" ketimbang bersikap aktif. Sikap pasif adalah ketika kita tak berambisi dan tak menjadi agresif menjangkau, merengkuh, mengambil alih Yang Maha-Lain. Sikap pasif adalah ketika "mengetahui" dalam artinya yang terdalam adalah "tidak-mengetahui".
Jauh sebelum Eckhart, pada abad ke-4 sebelum Masehi, Zhuangzi, pemikir Cina dari aliran Daoisme yang termasyhur, juga telah berbicara tentang berdiam dan "mengetahui". Tingkat tertinggi pengetahuan, katanya, adalah diam tak bergerak di dalam apa yang secara mutlak tak dapat diketahui dengan akal. Di dalam diam itu, yang bekerja adalah sikap intuitif, dalam posisi tso wang.
Tso wang berarti, kurang-lebih, "duduk-lupa". Seseorang "duduk-lupa" ketika semua anggota tubuhnya diluruhkan, ketika kegiatan kuping dan matanya ditiadakan, ketika ia membebaskan diri dari ego yang mengeras dalam identitas, dan bersatu dengan Yang Ada Di Mana-Mana. "Pandanglah ke dalam kamar yang tertutup itu," ujar sang Guru kepada Yen Hui, "dan lihat bahwa interior yang kosong itu membawa warna putih yang terang."
"Semua berkah dari dunia," kata sang Guru pula, "datang untuk berdiam dalam keheningan itu."
Tapi zaman tampaknya tak memberi tempat bagi keheningan lagi. Kini agama cenderung bergerak, bergegas, sering gaduh dan meluas. Khotbah di TV, sandek atau SMS, Internet, dan pamflet telah membentuk bahasa baru: bukan bahasa yang mengucapkan pedihnya kegagalan di hadapan misteri, melainkan bahasa yang menjanjikan hal yang serba jelas untuk semua orang. Dan bersama bahasa baru, datang sebuah keyakinan baru—sebuah keyakinan yang tak peduli bahwa "mengetahui" sebenarnya adalah "tak mengetahui".
Goenawan Mohamad