Pulung

Penulis

Senin, 25 Oktober 2004 00:00 WIB

Di masa lalu orang sering melihat harapan. Bentuknya pulung: seberkas cahaya yang jatuh dari langit di malam hari, isyarat bahwa seseorang telah dipilih untuk punya kelebihan, dan dengan itu mengatasi dunia yang ruwet.

Dengan kata lain, harapan adalah sesuatu yang luar biasa. Itu juga yang sampai sekarang terjadi. Pulung memang tak tampak turun di Cikeas, di bubungan rumah presiden Indonesia yang baru. Tapi di Cikeas dan di luarnya, tiap kali kita "meng-harap" kita selalu "ber-harap". Kita melakukan sesuatu untuk mengadakan harap, tapi pada saat yang sama kita bersikap bahwa kita berada dalam keadaan sudah mempunyainya (tersirat dari awalan "ber"). Artinya, ada sebuah loncatan ajaib antara belum dan sudah ada. Harap seakan-akan tercipta dari ketiadaan, datang dari creatio ex nihilo.

Tapi "harap" disebut juga "harap-an". Dalam bahasa Indonesia, akhiran "an" (seperti dalam "temu-an", "minum-an", "pakai-an") menunjukkan sesuatu yang ada setelah sebuah laku. Pulung itu sebenarnya bukan datang dari ketiadaan. Cahaya yang luar biasa itu tak akan tampak seandainya orang tak menantikannya dengan cemas, dengan doa dan tirakat. Apa yang kelihatannya creatio ex nihilo pada hakikatnya sebuah hasil ikhtiar.

Dan itu tak hanya terjadi dalam pengalaman Indonesia. Di Rusia, Nadezhda Mandelstam menulis sebuah memoar tebal, yang kemudian dalam bahasa Inggris disebut Hope Against Hope. Ia melukiskan suasana putus asa setelah suaminya, penyair Osip Mandelstam, dibuang dan tak pernah kembali. Osip adalah korban yang dibabat karena puisinya tak mengikuti doktrin "realisme sosialis", juga karena ia dianggap menghina Stalin, setelah menulis sebuah epigram tentang seorang penguasa pembunuh yang berjari seperti cacing dan berkumis bak kecoak.

Selama tujuh tahun, sampai dikabarkan Osip mati di pembuangan, Nadezhda menunggu?seperti beribu-ribu orang lain yang sanak keluarganya ditangkap dan tak pulang.

Advertising
Advertising

Di tahun 1930-an itu Stalin memang memenjarakan siapa saja yang dituduh "kontrarevolusioner". Umum tahu dan berbisik-bisik bahwa orang-orang yang tak bersalah telah dibuang atau ditembak mati. Dalam ketakutan, ribuan orang melakukan semacam doa yang ganjil: mereka menulis surat. Alamatnya para pejabat yang umumnya jauh tak terjangkau. "Siapa di antara kami yang tak pernah menulis surat ke para penguasa luhur, yang dialamatkan ke nama yang kukuh berkilau bagai logam? Dan apa isi surat itu selain meminta mukjizat?"

Mukjizat hampir tak pernah datang. Tapi toh doa yang ganjil itu, tirakat yang menulis dengan tangan gemetar itu, cukup untuk menemani hidup yang kehilangan. Seakan-akan tiap orang berkata, "Aku berharap, maka aku ada."

Sejak zaman purba manusia memang tak gentar masuk ke rimba meskipun begitu banyak bencana menanti. Optimisme itulah yang diwariskan di dalam genos generasi selanjutnya. Dari itu agaknya kita tahu, seperti kata Lionel Tiger yang menulis sebuah buku tentang "biologi harapan", bahwa manusia adalah "sejenis hewan dengan bakat besar? untuk berharap", an animal with a gorgeous genius for hope.

Kita memang tak bisa lepas dari berharap. Percaya pada surga di langit dan surga di bumi adalah bagian kesadaran yang membuat sejarah berubah. Memang, abad ini datang dengan sikap ragu. Orang mulai melihat bahwa utopianisme adalah campuran amarah, angan-angan, dan sikap angkuh. Marxisme-Leninisme, sumber insipirasi yang begitu kuat, ternyata gagal di abad ke-20. Tapi optimisme baru muncul, dan kita dengar Francis Fukuyama memaklumkan rasa syukur bahwa kita telah tiba di akhir sejarah: ekonomi pasar ternyata tak bisa dikalahkan, demokrasi liberal ternyata menang di mana-mana.

Tapi bukankah itu juga ketakaburan? Di "akhir sejarah", manusia menghadapi soal yang timbul ketika kelak dua miliar lebih manusia di Cina dan India memasuki ekonomi pasar seperti disambut Fukuyama?dengan dinamika yang dilecut oleh hasrat berjuta-juta orang untuk makan, bermobil, bepergian sepuas-puasnya. Siapkah alam untuk itu? Seorang pengkritik Fukuyama, Perry Anderson, memperkirakan dengan muram, seperti nabi Al-Kitab memperingatkan tamaknya kota-kota: bila gelombang konsumsi itu terus, "separuh dari spesies manusia akan mesti punah". Yang lemah juga yang akhirnya harus tenggelam.

Kita yang tak sampai hati akan berkata, "Mari kita berikhtiar meminta pulung jatuh lagi!"

Jangan-jangan benar: dunia perlu bertirakat, berpuasa?tapi bukan puasa seperti yang diramaikan iklan sebagai sejumlah siang yang mempersiapkan jamuan besar. Juga, bukan puasa dalam pengertian ahli fikih yang hanya mengukur kesalihan dengan jarum jam. Puasa yang akan menyelamatkan kita adalah puasa yang terus-menerus, tak siang tak malam, untuk menghentikan hasrat sebelum kenyang, hingga "kenyang" sama artinya dengan hasrat yang berhenti. Pada saat yang sama, puasa itu bukan untuk surga yang disiapkan untuk diri sendiri.

Tapi kita juga mafhum: pesan macam itu tak akan memikat banyak orang. Banyak orang akan menampik surga yang tak bersungai susu dan dihuni bidadari berpuluh ribu.

Tapi bukankah manusia bisa mulia ketika ia bukan hanya hewan yang pintar berharap, tapi makhluk pembawa harapan, saat ia memberikan dirinya untuk yang lain yang butuh?

Saya ingat adegan penutup novel Grapes of Wrath John Steinbeck: Rose of Sharon, gadis sulung keluarga Joad yang miskin dan malang itu, melahirkan bayi ketika air bah menghantam. Sisa keluarga itu pun naik ke tanah yang lebih tinggi, dan masuk ke sebuah gubuk. Seorang anak tampak sendiri bersama ayah yang terhampar hampir mati kelaparan. Rose juga lapar, ia juga tak punya apa-apa. Tapi gadis yang dulu acuh tak acuh itu membungkuk bagi si sakit. Dengan air teteknya ia coba selamatkan orang yang tak dikenalnya itu, dan saya ingat kisah muram itu berakhir dengan senyum.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

4 hari lalu

Goenawan Mohamad Bicara Pentingnya Kepercayaan dan Etik dalam Profesi Jurnalistik

Goenawan Mohamad mengatakan etik bukanlah sesuatu yang diajarkan secara teoritis, melainkan harus dialami dan dipraktikkan sehari-hari.

Baca Selengkapnya

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

5 hari lalu

Dies Natalis ke-3 Politeknik Tempo: Utamakan Etika di Tengah Gempuran AI

Dies Natalis Politeknik Tempo kali ini mengambil tema "Kreativitas Cerdas Tanpa Batas" dihadiri segenap civitas akademika Politeknik Tempo.

Baca Selengkapnya

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

14 hari lalu

MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.

Baca Selengkapnya

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

55 hari lalu

Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

59 hari lalu

53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.

Baca Selengkapnya

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

6 Maret 2024

53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.

Baca Selengkapnya

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.

Baca Selengkapnya

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.

Baca Selengkapnya

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya