Tokoh

Penulis

Selasa, 26 Januari 1999 00:00 WIB

Kita mencari tokoh. Tapi tokoh bisa menjadi berhala. Kita mencari seseorang dengan visi yang menjangkau jauh ke zaman nanti. Tapi masa depan setiap kali mendadak mencegat kita. Di masa yang goyah dan tanpa bentuk, ketika sebuah tatanan rontok, ketika seorang kuat pergi, ketika sejumlah badut tinggal, orang mencoba mencuri keajaiban dari sejarah. Justru ketika sejarah tampak berjalan seperti mabuk. Keajaiban, atau sebuah momen ketika, Insya Allah, tiba-tiba muncul sebuah sosok besar yang punya daftar panjang kebajikan. Entah dari langit keempat atau dasar lautan Hindia, ia seorang yang kuat yang juga jujur, yang menggugah yang juga mengayomi, seorang yang pandai memberikan nubuat tapi juga mudah-mudahan mau diingatkan. Besar, tapi merendah. Sejarah memang bisa menikung ke arah yang tak kita perhitungkan. Ada selalu belokan yang memperdayakan di koridor panjang yang ditempuh. Tetapi sejarah adalah proses. Keajaiban dengan sendirinya antiproses. Saya tak tahu bagaimana keduanya bisa bersamaan, kecuali bagian akhir yang khas dalam drama Yunani kuno: seorang dewa tiba-tiba muncul dari sebuah mesin di sudut panggung. Ialah yang akan membereskan perkara pelik yang sedang dihadapi para aktor lain. Tapi ini akhir abad ke-20. Deus ex machina seperti itu jadi rentan terhadap sebuah serbuan yang tak pernah ada sebelumnya dalam milenium lain yang mana pun: serbuan informasi. Karena serbuan itulah sang deus tak bisa lagi jadi seorang dewa yang berdiri kukuh jadi pusat segala hal ihwal. Dewa Yunani kuno itu telah mati. Sang mesin kehilangan kejutannya. Saya tak tahu sejak kapan sang deus sudah tidak bekerja lagi. Pernah ada masanya ketika orang percaya bahwa sejarah adalah biografi orang-orang besar. Dalam pandangan ala Carlyle ini, sejarah dibentuk oleh para pemimpin politik, maharaja, penjelajah bumi, para pemikir yang seperti nabi, jenderal yang sukses atau gagal, para penemu yang menghebohkan, dan teroris yang ditakuti umum. Dengan kata lain, satu riwayat bakat besar yang berpengaruh. Bakat yang pas-pasan, mediocrities, tak punya peran; mereka tak punya sesuatu yang layak dipaparkan. Tetapi di abad ke-19 itu pun Carlyle—ia seorang yang mencemooh demokrasi parlementer—telah masygul, bahwa dunia sebetulnya sebuah republik dari mereka yang berbakat pas-pasan. "The world is a republic of mediocrities, as it always was…." Ada melankoli di sini. Seperti kini. Kita merasa seakan-akan sejarah sedang mampir ke Indonesia dan mengetuk pintu, memanggili para tokoh untuk tampil, untuk naik ke pundaknya yang menjulang, untuk memberi bentuk kepada arus perubahan yang hilang bentuk, dan jadi orang besar. Tapi siapa yang menyahut? Mungkin ada. Tapi kita tak yakin lagi bagaimana di zaman ini seseorang masih bisa naik ke pundak sejarah dan menjulang tinggi. Akhir milenium ini menyaksikan arus informasi yang dengan cepat menyebabkan tokoh apa pun esok hari akan tampak seperti berhala. Besar, mengesankan, tetapi sebenarnya hanya sebuah hasil konstruksi. Tidak jarang orang menyesali itu. Ketika tokoh hanya berhala yang kehilangan mitos, hidup memang jadi datar. Tak ada aktor yang menonjol, drama tak memikat. Memang ada demokratisasi. Karisma para pemimpin menjadi hal yang rutin, dalam bentuk "administrasi", dan hidup lebih terencana. Tapi tidak selamanya itu menggugah dan orang memang layak bertanya: kenapa orang besar harus tidak ada? Pushkin pernah mengeluhkan kegemaran "orang ramai" memburu informasi, dengan membaca catatan yang memalukan dan pengakuan yang tak sedap dari orang-orang termasyhur. Bagi Pushkin, mereka, yang "berwatak rendah" itu suka bila menyaksikan orang yang luhur dihinakan dan orang yang kuat tampak lemah. Dalam pandangan Pushkin, ketika "orang ramai" itu menemukan tiap detail yang menjijikkan pada catatan hidup seorang besar, mereka pun bertepuk, "Dia kecil seperti kita semua! Dia keji seperti kita juga!" Tapi Pushkin hidup di Rusia di abad ke-19; ia pelopor pembaruan puisi Rus dan sastrawan tenar dengan darah biru; ia jiwa yang berani melawan sensor Tsar dan laki-laki yang berani mati dalam duel. Ia bukan bagian dari "orang ramai" yang umumnya tidak mengejutkan dalam berperilaku. Pushkin tentu mudah meremehkan "orang ramai" itu. Namun ada yang tak dilihatnya: ketika sang berhala tampak mengeluarkan lendir dan liur, yang terjadi tidak selamanya berupa pemerataan kekejian. Yang terjadi adalah lakon lain, sebuah lakon yang tidak lagi sepenuhnya membutuhkan tenaga dari keyakinan bahwa sang penggerak adalah sebuah subyek yang layak jadi pusat dunia. Pernah ada masanya humanisme meletakkan manusia sebagai subyek yang utuh dan solid sebagai pusat hal ihwal—dan tauladannya adalah tokoh besar sejarah. Namun yang berlangsung sekarang justru sebuah pertanyaan (yang disukai kaum post-strukturalis dalam filsafat): di mana ada subyek yang kukuh dan solid, ketika tubuh dan jiwa ternyata tidak bisa menentukan dirinya sendiri? Tidak bisa, karena hubungannya dengan dunia ternyata terpaut dalam bahasa—yang tersusun dari ruang, waktu, dan orang lain, dan langsung jadi bagian dari kesadarannya. Tidak bisa, karena tafsir manusia tentang dunia di luar diri erat berpautan dengan kekuasaan yang kait-berkait secara sosial. Tidak bisa, karena "kesadaran" tidak pernah terpisah dari yang bukan-kesadaran. Sang tokoh memang masih ada. Media memerlukan fokus, dan itu tokoh, dan sekarang adalah masa ketika "dunia" berarti sebuah ruang dan waktu yang di-media-kan. Tetapi dalam posisi itu, sang tokoh hanya akan sebentar-sebentar saja memberikan makna. Makna—yakni alasan yang menenteramkan, atau inspirasi yang menggerakkan, sehingga orang hidup dan berbuat sesuatu dalam sebuah masyarakat yang sedang retak. Kultus, yang mengabadikan tokoh, akan memenjarakan dan memperdayakan semua pihak. Sebab tokoh, atau aktor, didefinisikan oleh "act", atau laku. Laku itu selalu ada dalam konteks, selalu sebuah teks yang ruwet. Tapi itulah yang—meskipun tanpa tujuan yang jelas, visi yang agung—akan bisa memerikan makna dalam sebuah perbincangan sosial bila ia membuka pintu untuk pembebasan, penjelajahan. Drama tak cuma berlangsung karena tokoh, tapi karena ketegangan tindakan, juga di hadapan akhir yang tak kita ketahui. Dewa mati dan jagoan mungkin telah lama cacat. Tetapi lakon akan terus dengan pertanyaan, kerendahan-hati, keberanian, dan hal-hal lain yang kita bisa berbagi. Goenawan Mohamad

Berita terkait

Bamsoet Apresiasi IKA Jayabaya, Tetap Eksis Selenggarakan Kegiatan Positif

3 menit lalu

Bamsoet Apresiasi IKA Jayabaya, Tetap Eksis Selenggarakan Kegiatan Positif

Dari kampus Jayabaya telah lahir tokoh-tokoh nasional dan sumberdaya-sumberdaya manusia

Baca Selengkapnya

Warga Ungkap Rumah Tempat Brigadir RA Tewas dengan Luka Tembak Milik Pengusaha Batu Bara

3 menit lalu

Warga Ungkap Rumah Tempat Brigadir RA Tewas dengan Luka Tembak Milik Pengusaha Batu Bara

Brigadir RA ditemukan tewas dengan luka tembak di kepala di dalam mobil Alphard di sebuah rumah di Mampang.

Baca Selengkapnya

Hamas Kesal Diminta Bebaskan Sandera, tapi Genosida pada Warga Sipil Gaza Diabaikan

8 menit lalu

Hamas Kesal Diminta Bebaskan Sandera, tapi Genosida pada Warga Sipil Gaza Diabaikan

Hamas bingung ditekan untuk membebaskan sandera warga negara Israel, namun dunia tampak tutup mata pada genosidan di Gaza.

Baca Selengkapnya

Rapor Pemain Timnas Indonesia Bersama Klubnya: Jay Idzes dan Shayne Pattynama

18 menit lalu

Rapor Pemain Timnas Indonesia Bersama Klubnya: Jay Idzes dan Shayne Pattynama

Simak rapor penampilan dua pemain timnas Indonesia, yakni Jay Idzes berama Venezia dan Shayne Pattynama dengan KAS Eupen.

Baca Selengkapnya

Selain soal Sikap Politik, Hasto Sebut Rakernas PDIP Akan Bahas Strategi Hadapi Pilkada 2024

20 menit lalu

Selain soal Sikap Politik, Hasto Sebut Rakernas PDIP Akan Bahas Strategi Hadapi Pilkada 2024

Rakernas PDIP yang berlangsung pada 24 sampai 26 April itu akan memutuskan target di Pilkada 2024.

Baca Selengkapnya

Gempa Bermagnitudo 4,8 Guncang Banten, BMKG: Belum Ada Laporan Kerusakan

32 menit lalu

Gempa Bermagnitudo 4,8 Guncang Banten, BMKG: Belum Ada Laporan Kerusakan

Gempa tektonik bermagnitudo 4,8 mengguncang wilayah Banten dan sekitarnya. BMKG mencatat waktu kejadiannya pada Sabtu, 27 April 2024 pukul 15.27 WIB.

Baca Selengkapnya

Marak Judi Online, Menteri Komunikasi: Susah, Seperti Menghadapi Hantu

32 menit lalu

Marak Judi Online, Menteri Komunikasi: Susah, Seperti Menghadapi Hantu

Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Budi Arie Setiadi mengatakan akan terus mempersempit ruang gerak bagi pelaku judi online.

Baca Selengkapnya

Lagu Zico SPOT! (feat. Jennie) Duduki Posisi Teratas Tangga Lagu Korea dan Global

32 menit lalu

Lagu Zico SPOT! (feat. Jennie) Duduki Posisi Teratas Tangga Lagu Korea dan Global

Lagu Zico SPOT! (feat. Jennie) membuktikan kekuatan pengaruh musik Zico dan Jennie

Baca Selengkapnya

Gempa M4,8 di Laut Guncang Banten dan Sekitarnya, Disusul Gempa M3,3

32 menit lalu

Gempa M4,8 di Laut Guncang Banten dan Sekitarnya, Disusul Gempa M3,3

Gempa bumi yang terjadi merupakan jenis gempa bumi dangkal akibat aktivitas sesar bawah laut.

Baca Selengkapnya

WSJ: Putin Mungkin Tak Perintahkan Pembunuhan Navalny

33 menit lalu

WSJ: Putin Mungkin Tak Perintahkan Pembunuhan Navalny

Badan-badan intelijen AS sepakat bahwa presiden Rusia mungkin tidak memerintahkan pembunuhan Navalny "pada saat itu," menurut laporan.

Baca Selengkapnya