Pernah saya bertanya, di masa macam apa kita hidup. Seseorang mengirimkan jawab dalam sebuah kalimat: "Di masa ketika sejarah membangunkan kita dan membentuk huruf koma." Setelah itu? "Setelah itu ia membentuk koma lagi dan koma lagi dan koma lagiseribu koma untuk dirinya, atau dari dirinya, dengan kematian." Ada sesuatu yang belum selesai dalam koma. Ada sesuatu yang telah habis dalam kematian. Katakan, apa yang akan menyusul setelah koma dan kematian? Kali ini tak ada jawab. Tak demikian jelas sebenarnya, apakah jawaban mungkin. Seribu koma itu berdiri menjadi puing. Kematian ada dan dilupakan, tetapi yang tak selesai, yang belum rampung, menghadang kita bukan sebagai janji, melainkan sebagai bekas, dalam hidup sehari-hari, dalam imajinasi. Bekas dari apa yang pernah dicapai. Di Indonesia sekarang kita tak melihat pesimisme. Yang kita lihat adalah beberapa harapan yang seperti kembang api, byar, marak, melintasi kepala kita, dan jatuh dari langit, atau, setelah pendar yang memikat itu, tak kelihatan lagi di dalam gelap. Dan kita tahu, tanpa gelap itu segala kembang api tak akan menjadi kembang. Optimisme? "Hanya demi untuk orang-orang yang tak punya harap maka kita diberi harapan." Itu kalimat dari Walter Benjamin. Saya kira, dalam masa yang tak jelas ini, kita bisa berbicara sedikit panjang tentang Benjamin dan harapan. Dari biografinya kita tahu ia mencoba melarikan diri dari Jerman Nazi, untuk pindah ke Amerika, dan bunuh diri di perbatasan Spanyol dan Prancis, 26 September 1940. Bukan kebetulan, tentu, bahwa ia menjadi salah satu tokoh yang menarik dalam kumpulan esai Men in Dark Times Hannah Arndt. Arndt menyebut satu episode: Walter kecil membaca sebuah sajak dalam buku anak-anak, tentang manusia cebol yang bongkok yang menghadang anak-anak kecil di gudang anggur atau di dapur dan merebut botol atau memecahkan poci. Si Cebol Bongkok itu menghantuinya seumur hidup, seakan-akan demit yang senantiasa menghadangnya agar ia sial dan celaka. Ibu-ibu Jerman suka mengatakan kepada anaknya yang kesandung kursi atau menjatuhkan gelas ke lantai: "Pak Kikuk kirim salam"Ungeschickt lsst grssen. Dan Pak Kikuk, atau Si Cebol Bongkok, atau Sang Sial, seakan-akan senantiasa mengamat-amatinya, mengiriminya salam, bahkan menjerembapkan Walter Benjamin sampai di harinya yang terakhir. Ia melarikan diri, sesuatu yang memang harus dilakukan seorang cendekiawan Yahudi yang dekat dengan Marxisme, terutama setelah Gestapo menggeledah kamarnya. Hanya beberapa jam lagi ia akan bebas, hanya beberapa kilometer: ia tinggal melewati bukit-bukit dari wilayah Spanyol itu ke Port Bau yang tak dijaga polisi perbatasan. Tapi ia tahu jantungnya tak akan kuat untuk berjalan kaki mendaki, dan sebab itu ia membunuh diri. "Hanya demi untuk orang-orang yang tak punya harap maka kita diberi harapan." Janggal memang bahwa orang yang menuliskan kalimat itu menyebut dirinya seorang Marxis. Marxisme adalah sebuah iman tentang perubahan dunia dan sejarah yang akan berakhir dengan kebebasan. Dalam iman ini, sejarah, kalaupun membentuk seribu koma, membentuknya dalam sebuah garis lurus. Garis lurus itu, dibangun oleh dialektika, akan berujung di sebuah surga di bumi. Tetapi bagi Benjamin, "malaikat sejarah" melihat sesuatu yang tak kita lihat: "Di mana satu mata rantai peristiwa tampil kepada kita, [sang malaikat sejarah] melihat sebuah malapetaka yang tak henti-hentinya menimbun runtuhan demi runtuhan, dan melontarkannya di depan kakinya." Sang malaikat sebenarnya ingin tinggal, membangunkan mereka yang mati, dan bergabung bersama dengan yang telah dihantam sampai hancur. Namun "sebuah badai bertiup dari Surga," tulis Benjamin pula, dan "tak tertahankan, mendorongnya ke masa depan." Tapi ia bergerak ke masa depan dengan menghadap ke belakang, "sementara unggunan puing tumbuh kian lama kian menjulang ke langit." Menurut Benjamin, "badai itulah yang kita sebut 'kemajuan'." Barangkali itukah sebabnya ada sebuah jawaban: bunuh diri? Kita bisa menjawab ya atau tidak, tapi dengan itu kita mengakui bahwa bunuh diri di sini bukan hanya persoalan psikologis ataupun sosial. Seorang pemikir lain menulis sebagai kalimat pembuka dari sebuah esai yang kemudian terkenal: "Hanya ada sebuah persoalan filsafat yang benar-benar serius, dan itu adalah bunuh diri." Albert Camus menulis Le Mythe de Sisyphe persis di tahun ketika Benjamin memilih untuk tak hidup terus dalam sebuah periode ketika optimisme guncang: demokrasi dan kemerdekaan manusia tampak melintas setelah Perang Dunia I, tapi segera diganti totalitarianisme dan pembantaian. Membaca kembali esai panjang yang memukau itu kita akan tahu apa yang menyamakan Camus dengan Benjamin. Bagi keduanya, filsafat, konsep, teori bisa mempunyai logika yang lurus, dan membentuk sesuatu yang padu, tetapi ada hal-hal yang mengatakan bahwa tak semuanya bisa tertangkap dengan itu. Ada momen-momen pemberontakan dari yang "karnal" dan yang tak terduga. Absurditas bukanlah kegilaan. Yang absurd adalah kepekatan dan keganjilan dunia. Pada suatu saat kita sadar bahwa selama ini sebenarnya alam semesta kita pahami sebagaimana kita meletakkannya dalam kerangka dan syarat kita. Rancangan, utopia, dan iman tentang kemajuan menjadi guyah ketika dunia ternyata senantiasa luput, menjadi tak tertembus lagi dan terasa asing, dan kecerdasan tak memuaskan lagi. Yang kemudian jadi persoalan ialah, jika arah ke depan itu tak bisa selesai diperikan, dan sebab itu bisa dikatakan tak ada, sejarah bisa tak punya arti apa-apa. Dan hidup? Dan harapan? Camus tak menyimpulkan bahwa logika ini harus ditarik sampai ke ujung yang pahit, dan itu artinya kematian yang dipilih. Ia mengambil ibarat, dan itulah mitos Sisiphusnya yang terkenal itu. Tokoh dongeng Yunani ini dihukum para dewa untuk mengangkat sebuah batu besar ke puncak gunung. Begitu ia sampai di sana, batu itu jatuh berguling kembali ke bawah, dan ia harus kembali mengangkatnya. Tanpa akhir. Tapi ia bertahan, dan dengan itu dewa dan batu ia nafikan. Alam semesta tanpa Tuan. Pergulatannya menjadi sesuatu yang memenuhi dirinya. "Orang harus membayangkan Sisiphus berbahagia." Jika harapan adalah sesuatu yang relevan, mungkin itu terjadi ketika, "byar", kita tahu: kita toh bisa melawan yang paling menindas, yaitu Nasib. Kita bisa menertawakan Pak Kikuk yang menguntit kita.
Goenawan Mohamad