Karnaval

Penulis

Senin, 19 Juli 2004 00:00 WIB

Ada negeri yang berubah dari karnaval jadi pentas, dan ada yang dari pentas jadi karnaval. Saya cemas untuk hidup di salah satu di antaranya.

Karnaval kini telah jadi sebuah konsep, yang tiap kali diucapkan akan menyebabkan kita menengok ke gambaran yang disajikan Mikhail Bakhtin. Pemikir dan teoretikus kebudayaan dari Rusia ini selalu membersitkan antusiasme jika ia berbicara tentang hal yang jadi pokok tesisnya ini.

"Karnaval," tulis Bakhtin, "tak mengenal lampu sorot." Dengan kata lain, ia tak membedakan mana yang aktor dan mana yang penonton. Ia bukan pentas. Ia bukan pertunjukan. Sebab dalam karnaval, tiap orang ikut serta. Karnaval merangkum semuanya. Selama ia berlangsung, tak ada kehidupan di luarnya. "Selama masa karnaval, hidup tunduk kepada hukum karnaval itu," kata Bakhtin, dan itu adalah "dalil kemerdekaannya sendiri." Ada semangat "universal", yang berlaku untuk siapa saja, di mana berlangsung "kehidupan kembali dan pembaruan kembali dunia, yang diikuti semua."

Sangat memikat, kedengarannya—juga bila imajinasi tentang karnaval diterapkan ke dunia politik. Di sana kita bisa menemukan yang mirip dengan "rame-rame patah cengke", sebuah ekspresi yang bagus yang diambil dari sebuah nyanyian Maluku yang telah agak dilupakan.

Tapi lebih dari sekadar "rame-rame", ada sesuatu yang lebih berarti dalam karnaval sebagai paradigma: dalam proses itu, yang lumer bukan saja batas yang biasa memisahkan pentas dari penonton, tapi juga batas yang final tentang apa pun. Pangkat, privilese, norma, larangan, semua diabaikan. Karnaval "tak bersahabat dengan semua yang dikekalkan dan dilengkapkan," kata Bakhtin.

Advertising
Advertising

Dengan itu bisa kita bayangkan euforia penuh dari rakyat, para demos yang berkeringat, dengan bau yang beragam dan gerak seenaknya berjingkrakan. Sama rata, sama rasa.

Sangat memikat, tapi bisakah kita hidup dalam sebuah negeri yang seperti itu? Tidak, saya akan menjawab. Tidak, hampir semua pemilih dalam Pemilu 2004 akan menjawab. Sebab bagi mereka, demokrasi justru sebuah usaha untuk menemukan yang stabil: sebuah pemerintah yang didukung luas dan yang menjaga hukum.

Tapi memang ada yang kurang bergairah bila kita bayangkan sebuah kehidupan politik yang bagaikan pentas—tentu saja dalam bentuk sebuah panggung di gedung teater gaya baroque di sebuah kota Eropa yang tua. Para aktor menjalankan peran yang sudah ditetapkan. Mereka mengucapkan kata-kata yang sudah ditulis. Kita pun tak bisa berteriak, sebelum layar turun, agar tokoh yang buruk turun saja. Dalam pelbagai bentuknya, kehidupan politik seperti itu pada akhirnya bertumpu pada bentuk, pada prosedur formal—nun di seberang prosenium, tempat lampu sorot menentukan mana yang sedang jadi fokus dan mana yang berdiri di latar belakang.

Bakhtin, yang lulus dari Universitas St. Petersburg pada tahun 1918, memulai kariernya sebagai teoretikus bahasa dan penelaah sastra dalam masa Stalin berkuasa. Dengan kata lain, ketika revolusi yang meletus pada tahun 1917 sudah digantikan elannya oleh sebuah birokrasi yang mantap dan langkah yang berderap dikendalikan Partai. Dalam kontrol itu, di bawah kaca sorot sensor, Bakhtin menulis tesis-tesisnya dengan nama lain. Itu pun tak menyelamatkannya, akhirnya. Pada tahun 1929 ia ditangkap dan dibuang ke wilayah Kazakh.

Dari sini agaknya kita tahu betapa karnaval—dan bukan parade—merupakan model yang dirindukannya. Tapi dari sini bukan hanya ketertiban Stalinis yang dinafikan. Di luar Soviet, terutama justru setelah Bakhtin meninggal pada tahun 1975, datang para pengagum, khususnya mereka yang mempertanyakan kembali pola kehidupan modern, dengan label "pasca-modernis" atau tidak. Hidup di bagian dunia di mana "negara" adalah tauladan kerapian tersendiri, di mana proses demokrasi hanya menghasilkan kompromi yang selalu memilih "jalan-tengah", politik sebagai buah modernitas seakan-akan membenarkan ramalan Max Weber yang termasyhur: sebuah "kandang besi".

Zygmunt Bauman menulis Modernity and Ambivalence dan menunjukkan betapa mengungkungnya kehidupan politik modern. "Perilaku yang menunjukkan ciri modern," tulis Bauman, "substansi politik modern, intelek modern, kehidupan modern, adalah ikhtiar untuk menghabisi ambivalensi: sebuah ikhtiar untuk memberikan definisi yang persis—dan menekan serta menghapus setiap hal yang tak dapat dan tak hendak didefinisikan secara persis. Perilaku modern bukanlah ditujukan untuk menaklukkan tanah asing, tapi mengisi titik-titik kosong dalam compleat mappa mundi.

Siapa yang sering mengikuti kritik kepada modernitas akan menganggap analisis Bauman mulai usang, dan seperti acap kali terjadi di kalangan "pasca-modernis", ia tergoda oleh hiperbol. Dalam arti yang sama, karnaval ala Bakhtin adalah juga sebuah hiperbol. Atau lebih tepat barangkali: sebuah utopia. Seperti layaknya setiap gambaran yang utopistis, perannya adalah sebagai penampikan. Juga, sebagai awal pencarian pilihan-pilihan lain yang baru.

Tapi memang di setiap periode, ada saat-saat di mana diperlukan sebuah karnaval. Politik, sementara tetap berada sebagai pentas, beberapa saat perlu berubah menjadi ketoprak humor—sebuah bentuk baru dari teater yang formal dan tak mengejutkan lagi. Dalam ketoprak humor, yang tampak menggelikan adalah justru mereka yang saat itu begitu bersungguh-sungguh dan tak henti-hentinya ingin "berarti".

Itulah yang terjadi dalam acuan Stalinis. Itu pula yang terjadi dalam acuan "Orde Baru". Maka demokrasi penting: ia bukan sebuah kisah para pahlawan dalam perang yang panjang, yang berlengan besar dan tak bisa menertawakan dunia dan diri sendiri. Mungkin sebab itu karnaval menawarkan ketawa—ketawa yang tak mencemooh orang lain agar bisa merasa diri lebih tinggi.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

LPDP Buka Beasiswa S2 di Northeastern University, Bisa Langsung Kerja dengan Gaji Kompetitif

7 menit lalu

LPDP Buka Beasiswa S2 di Northeastern University, Bisa Langsung Kerja dengan Gaji Kompetitif

Simak cara daftar beasiswa LPDP di Northeastern University.

Baca Selengkapnya

Dua Tersangka Tewasnya Remaja di Hotel Senopati Buka Jasa Open BO, Korban Diberi Inex dan Sabu

21 menit lalu

Dua Tersangka Tewasnya Remaja di Hotel Senopati Buka Jasa Open BO, Korban Diberi Inex dan Sabu

Polisi menangkap dua tersangka tewasnya seorang remaja di sebuah hotel di Senopati. Mereka membawa dua remaja ke hotel itu untuk open BO.

Baca Selengkapnya

Stagnan, Harga Emas Antam Hari Ini Rp 1.326.000 per Gram

23 menit lalu

Stagnan, Harga Emas Antam Hari Ini Rp 1.326.000 per Gram

Harga emas PT Aneka Tambang atau emas Antam stagnan di level Rp 1.326.000 per gram dalam perdagangan Ahad, 28 April 2024

Baca Selengkapnya

Rangkuman Pro Kontra Iuran Pariwisata, Anggota Komisi V DPR: Sebaiknya Tidak Diterapkan

23 menit lalu

Rangkuman Pro Kontra Iuran Pariwisata, Anggota Komisi V DPR: Sebaiknya Tidak Diterapkan

Iuran dana Pariwisata pada tiket pesawat yang direncanakan pemerintah menjadi kontroversi. Bagaimana tanggapan dari berbagai pihak?

Baca Selengkapnya

Spanyol Akan Kirim Rudal Patriot ke Ukraina

23 menit lalu

Spanyol Akan Kirim Rudal Patriot ke Ukraina

Kementerian Pertahanan Spanyol tidak mengungkap berapa banyak rudal patriot untuk Ukraina. Hanya menyebut rudal tiba beberapa hari ke depan.

Baca Selengkapnya

Gelombang Protes Dukung Palestina Menyebar hingga ke Kampus Elit Eropa

24 menit lalu

Gelombang Protes Dukung Palestina Menyebar hingga ke Kampus Elit Eropa

Unjuk rasa mendukung Palestina terus melebar dari AS hingga ke kampus-kampus di Eropa.

Baca Selengkapnya

Prabowo Tiba di Kantor PBNU, Karpet Merah Digelar

29 menit lalu

Prabowo Tiba di Kantor PBNU, Karpet Merah Digelar

Prabowo disambut oleh Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf dan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas.

Baca Selengkapnya

Berpulang Sehari Sebelum Hari Puisi Nasional, Berikut Perjalanan Kepenyairan Joko Pinurbo

31 menit lalu

Berpulang Sehari Sebelum Hari Puisi Nasional, Berikut Perjalanan Kepenyairan Joko Pinurbo

Nama Joko Pinurbo mulai dikenal luas saat menerbitkan buku antologi puisi Celana pada 1999.

Baca Selengkapnya

Rokok Elektrik dan Konvensional Miliki Bahaya yang Sama

32 menit lalu

Rokok Elektrik dan Konvensional Miliki Bahaya yang Sama

Tim IDI Medan mengatakan risiko penggunaan rokok elektrik serupa dengan rokok konvensional. Keduanya memiliki bahaya ketergantungan yang sama.

Baca Selengkapnya

Jenis Ikan yang Perlu Rutin Disantap, Sahabat Kesehatan dan Jantung

36 menit lalu

Jenis Ikan yang Perlu Rutin Disantap, Sahabat Kesehatan dan Jantung

Tak semua ikan punya kandungan nutrisi super yang sama sehingga disarankan untuk memilih yang tepat. Berikut saran ahli diet.

Baca Selengkapnya