Di depan saya terbentang beberapa halaman koran, dan di sana dibariskan 48 tanda gambar partai. Saya tak memperhatikan nama-nama, saya tidak memperhatikan asas, nama ketua, ataupun program. Yang lebih saya perhatikan adalah lambang-lambang. Bagi saya, inilah yang menarik: ada enam lambang banteng dengan warna merah hitam yang mirip. Ada empat gambar rembulan & bintang yang hampir tak dapat dibeda-bedakan. Ada tiga gambar bola dunia dan warna hijau. Ada dua kaligrafi kalimat syahadat yang sama-sama membentuk bulan sabit PSII. Salah satunya bertuliskan: "PSII-1905"?. Ini tahun 1999. Saya tidak tahu apa yang terjadi tahun 1905, tetapi saya ingat tahun 1955. Waktu itu pemilihan umum pertama dalam sejarah Indonesia diselenggarakan. Saya masih terlampau kecil untuk memilih. Tapi saya ingat tahun 1955 itu gambar-gambar yang sama, atau mirip, dengan yang kini saya lihat tahun 1999, muncul dalam kertas suara. Apa sebenarnya yang terjadi? "Persistensi ingatan," seorang teman menyimpulkan. Ingatan ternyata sesuatu yang gigih bertahan. Masa lalu tersusun tak putus-putusnya seperti lapisan karang dalam palung kesadaran?terutama kesadaran kolektif. Saya tidak tahu bagaimana prosesnya yang persis. Ada sesuatu yang agak ajaib di sini. Sejak 44 tahun yang lalu sejumlah besar orang telah meninggal dan mungkin lebih dari 100 juta manusia telah menggantikan yang meninggal itu. Peta penduduk Indonesia telah berubah. Tapi di antara 48 lambang di halaman koran itu ada simbul yang sejak 1960 diharamkan: gambar rembulan & bintang, simbul Partai Masyumi yang dilarang oleh Presiden Soekarno dan tidak diizinkan kembali oleh Presiden Soeharto. Ada pula yang sejak 20 tahun yang silam disingkirkan: lambang banteng dalam segi tiga, tanda gambar PNI yang dilebur dalam PDI. Mengapa semua ini? Jawabnya barangkali: sebuah kekuasaan yang berumur 32 tahun memang mencoba menindas sebuah ingatan tertentu dan mengajarkan kepada anak-anak sebuah sejarah Indonesia yang telah diubah, tetapi semua itu sia-sia. Tahun 1931 Salvador Dali melukis karyanya yang termasyhur itu, "Persistensi Ingatan": di sebelah kiri kanvas ada gambar dua arloji saku dalam ukuran besar. Keduanya tersampir, seperti kue serabi yang lembek dan basi, di tanah yang keras dan di sebuah dahan yang ranggas. Di kejauhan tampak sebuah tebing, mungkin tepi lautan di bawah langit yang kosong. Dua arloji yang lembek: waktu tidak selamanya punya efek. Juga kekuasaan dari luar kesadaran. Ingatan tak mudah kalah. Penindasan tak pernah selesai, dan Milan Kundera benar: "perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa". Ketika sebuah kekuasaan mencoba mengontrol waktu bagi hidup kita?mencoba menetapkan masa depan dan memaksakan sebuah masa lalu?perjuangan ingatan melawan lupa adalah perjuangan untuk membuat waktu seperti dalam lukisan Dali: ibarat arloji saku yang tergeletak seperti dua kue serabi yang basi. Tapi benarkah ada perjuangan itu? Teman saya mengatakan bahwa tahun 1958-1998 adalah sebuah periode yang amat panjang. Jika ada perjuangan melawan kekuasaan, itu pasti sesuatu yang tak terasa dan tak terlihat. Yang terjadi selama itu?terutama tahun 1966-1998, ketika Soeharto berkuasa?mungkin adalah sebuah pause dalam ingatan kolektif. Saya teringat adegan terakhir film Disney, The Sleeping Beauty. Pada suatu saat peri jahat itu telah menujum bahwa seluruh negeri akan tertidur 100 tahun, ketika sepucuk jarum melukai kulit sang putri. Saat itu terjadi, sihir pun bekerja, dan sang putri jatuh terbaring tak kunjung bangun. Orang yang sedang bermain musik meletakkan instrumennya dan terduduk lelap. Orang yang sedang minum meletakkan gelasnya dan jatuh mendengkur. Juga anjing dan kucing dan mungkin ikan di akuarium. Ketika sekian tahun kemudian seorang pangeran mencium bibir sang putri yang tertidur, semua pun kembali terjaga. Musik dimainkan lagi, meneruskan apa yang dulu terputus, juga minuman direguk dan bahkan bendera melanjutkan kibar?. Tapi kiasan "Putri Tidur" tidak sepenuhnya tepat. Kita tak mengalami tidur panjang 32 tahun, sebelum jutaan orang siuman lalu mengibarkan bendera lama yang selama itu seakan-akan tak diingat lagi. Kiasan "Putri Tidur" hanya tepat untuk menunjukkan bahwa sihir Orde Baru gagal mengubah lupa menjadi kematian. Siapa pun tahu bahwa 32 tahun itu bukan sekadar sebuah pause. Tiga puluh dua tahun itu adalah sebuah usaha transformasi kesadaran: yang lama hendak diganti dengan yang baru, kesetiaan kepada "aliran", misalnya, hendak diganti dengan sesuatu yang lain, dan orang ramai diharuskan mengikuti sesuatu yang "bukan-aliran" dengan memperoleh hidup yang lebih sejahtera. Cukup mengherankan bahwa transformasi itu gagal. Nostalgia terbukti bekerja sebagai sebuah kekuatan politik. Nostalgia?namun mungkin nostalgia itu sebenarnya tak pernah ada. Bisakah kita berbicara tentang kerinduan pada masa silam, sementara generasi yang menyebut dengan bangga angka tahun "1905" bukanlah generasi yang pernah mengalami masa silam itu sendiri? Kita tak bisa menjawab pertanyaan ini, sebab kita tak tahu bagaimana ingatan tersimpan. Ibu-bapak memang bisa bercerita kepada anak tentang masa lampau mereka. Tapi cerita itu saja tidak cukup untuk menjadi sebuah dasar buat "perjuangan ingatan melawan lupa". Di depan saya ada enam tanda gambar dengan banteng, ada empat tanda gambar dengan rembulan & bintang. Masa lalu adalah sebuah teks, dan ingatan adalah sebuah tafsir. Adakah di balik teks itu tersembunyi sebuah medan magnet, dan setiap tafsir tentang masa lalu itu bergerak tertarik ke arah sana? Saya perhatikan gambar-gambar itu sekali lagi. Yang saya saksikan bukan hanya sebuah "persistensi ingatan", melainkan juga sebuah fragmentasi ingatan?sebuah bayangan masa lampau yang terpecah menjadi sejumlah variasi. "Bung Karno" kamu berbeda dengan "Bung Karno" saya, tahun "1955" kamu berlainan dengan tahun "1955" saya?. Fragmentasi, sebab tafsir dan ingatan tidak pernah datang tiba-tiba secara utuh. Ia tumbuh dari negasi saya tapi juga afirmasi kamu, keluhan saya dan harapan kamu. Pada mulanya mungkin kemarahan. Kemudian cita-cita. Kadang-kadang keduanya jadi perbuatan. Tahun 1955 tak lain adalah penanda bahwa tahun 1999 akan dibuat sebagai akhir sebuah era, sebuah harapan untuk masa yang tak mencemaskan. Mungkinkah? Seseorang, saya kira Susan Sontag, pernah mengatakan: "At least the past is safe".
Goenawan Mohamad