Tuan, yang bukan Nabi Ibrahim. Coba bayangkan: pada suatu malam tuan dengar suara Tuhan di ruang yang sepi di mana tuan duduk dengan tenteram. Tuhan memerintahkan tuan untuk menyembelih anak tuan yang paling tuan sayangi. Tuan akan terkejut dengan lutut yang melemah. Tuan akan grogi. Tuan akan bertanya: mungkinkah itu suara Tuhan? Bagaimana Ia bisa menyuruh bunuh seorang anak yang tak bersalah hanya untuk membuktikan kepatuhan saya kepada-Nya? Nabi Ibrahim, lebih dari kita, menempuh apa yang disebut sebagai detachment? buah dari iman dan kedahsyatan. Pisau tajam itu melekat di leher si anak, tapi aku bukan lagi subyek yang bertindak. Tak ada rasa sakit, sedih, cinta, harapan, ketakutan, tak ada aku. Semuanya adalah titah-Mu. Sejenis bunuh diri yang sublim. Berkorban adalah peniadaan ganda. Meniadakan aku dan meniadakan apa yang bagian dari diri aku. Apa yang luar biasa dari cerita termasyhur ini bukanlah keajaiban Tuhan mengganti si anak, pada saat terakhir, dengan seekor domba. Apa yang luar biasa adalah bahwa kita jarang mengingat si bapak yang menangis, walau akhirnya berdiri dalam puncak detachment. -- proses bunuh diri yang sublim itu. Tiap agama mengagungkan proses yang seperti itu. Siti Masyitoh yang mati direndam dalam air yang mendidih, Santo Agustinus yang terbelenggu dengan tubuh dirajang anak panah, Urinara yang menanggungkan daging tubuhnya dipotong-potong untuk dimakan elang yang ganas, karena ia melindungi seekor burung yang lemah. Tak setiap orang dicatat sebagai syuhada, tentu, tapi semuanya membangun sejarah. Sejarah tumbuh dari pengorbanan yang paling bersahaja (misalnya menahan diri untuk tak mengonsumsikan seluruh harta) sampai dengan tindakan yang paling mengerikan: pendeta Aztec menyajikan nyawa seorang perawan di altar para dewa, Amerika mengerahkan dana dan tenaga untuk membangun bom atom dan memenangkan Perang Pasifik. Melakukan korban?menurut agama atau tidak?adalah hasil pemutusan sebuah bagian dari diri untuk mengikatkan diri menjadi bagian dari yang lain, yang lebih berarti. Maka setiap korban adalah sebuah pertukaran. Sama dengan uang kertas, korban (dalam bentuknya yang sangat sederhana bisa berupa sesaji) tak dihitung berdasarkan nilai bahannya?seekor kambing, setandan pisang, sekerat cerutu, serangkaian kembang setaman. Tetapi berbeda dengan uang di zaman modern, sesaji itu tak ditentukan oleh dua pihak yang melakukan transaksi. Pihak yang sana (yang Suci, yang Kuasa, yang Misterius) tak menawar. Mungkin tak ada pula pesaing. Juga tak ada kepastian bahwa pertukaran akan benar terjadi. Hari ini para nelayan nyadran ke laut, mempersembahkan sepotong kepala kerbau kepada dhayang di antara ombak. Tetapi esok ikan-ikan mungkin tetap tak tampak, taufan dan kematian bisa saja tetap datang. Pada awalnya adalah teror. Sesaji kepada yang mahagaib, pemberian kepada yang mahamendalangi, korban pencegah bencana di sawah dan sungai Bali, dewa-dewa yang bersemayam di ladang-ladang India, roh yang tak diberi nama serta luput di laut?sesaji kepada mereka itu semuanya berawal dari hidup yang selalu di tubir keguncangan. Itulah sebabnya berkorban jadi kehilangan sifat sakralnya ketika ketidakpastian digantikan dengan kepastian. Apa yang dialami Nabi Ibrahim memang tak mungkin terulang. Berabad-abad manusia mencoba menirukan momen pengorbanan yang mengerikan itu, tapi dalam banyak hal berkorban akhirnya sebuah siasat untuk menjinakkan apa yang gaib. Manusia ingin terlepas dari chaos, menang atas ketakutan dan kekacauan. Yang dilihat sebagai model pada peristiwa Nabi Ibrahim adalah sebuah kisah manusia yang unggul -- manusia penakluk diri, manusia yang lulus ujian -- dan bukan manusia yang menanggungkan nasib yang dahsyat. "Mengadakan korban", tulis Roberto Calasso, yang banyak berbicara tentang berkorban dalam La Ravina di Kasch (versi Inggrisnya: The Ruin of Kasch), adalah "sebuah strategi jangka-panjang untuk menghalau yang suci." Kesimpulan Calasso meragukan, tapi di hari ini strategi itu tampak berhasil. Kita hidup dalam tarikh burjuis, dengan korban, tapi korban itu tidak dipersembahkan kepada yang gaib dan suci. Korban itu dipersembahkan kepada kekuatan manusia sendiri. Hutan jadi pucat, bengawan dibendung, dan langit terjangkau. Yang gaib dan suci seperti mati, setidaknya dalam hipotesis. Terornya terkadang masih muncul, tapi tanpa tuah. Berkorban tak lagi disertai krisis yang akut, melainkan menawarkan sebuah substitusi dan sebuah "perdagangan". Yang kita berikan sebagai korban tak lagi punya sifat yang unik, lengkap dan tak tergantikan. Ia sudah diperlakukan sebagai sekadar alat penukar, menggantikan sebuah nilai yang bukan lagi nilainya sendiri. Ia seperti lembar uang kertas yang diberikan seorang penderma di sudut jalan kepada seorang pengemis. Hidup di dunia yang kehilangan pesona?dan disebut "modern"?adalah juga hidup yang kehilangan dalihnya untuk menjadi grogi. Modernitas mengasumsikan hidup bisa berkembang lurus, melintasi tepi, mengatasi kedahsyatan. Keselamatan tak didapat melalui persembahan korban, melainkan melalui ketaatan pada hukum, kepada fikih. Hukum adalah sebilah garis yang dingin, sebuah oposisi terhadap krisis. Dalam pandangan ini, korban adalah sesuatu yang bisa dianggap sama satu dengan yang lain. Yang penting dicatat ialah bahwa ada "korban" (sacrifice), dalam arti seperti domba-domba Idul Adha yang dipotong. Ada "korban" (victim), dalam arti akibat dari tindak yang destruktif. Kini kita membedakan kedua pengertian itu. Tapi pada awal dan akhirnya adalah kekerasan. Di zaman ketika yang suci, yang gaib dan yang menakutkan telah terhalau, hanya kekerasan itulah yang dianggap memenangkan manusia. Dalam kemenangan itu kita pun lupa bahwa setiap korban punya wajah, dan setiap wajah punya jejak lamat-lamat dari Yang Mahasuci yang menghilang.
Goenawan Mohamad