Pada suatu malam di bulan Januari 1976, di Irlandia Utara, sebuah minibus disetop seregu orang bertopeng dan bersenjata. Para penumpangnya, buruh yang baru pulang dari pabrik, tahu bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Di negeri itu berlangsung saling bunuh antara milisi Katolik dan milisi Protestan, dan pembantaian pun akhirnya menghantam siapa sajajuga rombongan buruh itu.
Mereka dipaksa turun dari minibus. Di tepi jalan, satu demi satu mereka dideretkan berdiri berjajar. Para algojo sudah siap, senapan otomatis telah dikokang.
Salah seorang dari orang bertopeng itu pun berkata, "Siapa yang Katolik, maju ke depan."
Kebetulan para buruh itu semuanya Protestan, kecuali satu orang. Dengan ketakutan, orang ini mengikuti perintah. Tapi di malam gelap itu, sejenak, selintas, rekannya yang berdiri di sebelahnya memegang tangannya, seperti memberinya isyarat agar jangan, jangan ia menunjukkan diri, seakan-akan ia berkata, "Kami semua tak akan mengkhianatimu, tak akan ada yang tahu apa agamamu."
Tapi orang itu sudah telanjur melangkah. Semua sudah melihat. Langkah kecil itu, apa boleh buat, sudah sebuah proklamasi. Ia pun maju menjemput Maut.
Tembakan terdengar. Tapi ia terkejut. Tak ada peluru yang mengenainya. Ternyata yang jadi sasaran pembantaian adalah mereka yang di sana, yang tak melangkah ke depan, yang bukan Katolik, termasuk rekan yang tadi mencoba memberinya isyarat, "jangan, jangan kamu menunjukkan diri". Peluru menghajar, tubuh-tubuh itu roboh, tewas. Pembunuh bertopeng itu ternyata bukan milisi Protestan. Mereka gerilyawan Katolik.
Insiden ini, yang benar-benar terjadi, dikisahkan oleh Seamus Heaney, dalam pidatonya ketika sastrawan Irlandia itu menerima Hadiah Nobel pada tahun 1995. Agaknya Heaney hendak bertanya bagaimana ia, seorang penyair pada zaman ini, berhadapan dengan sejarah, yang bagi Heaney sama dengan "rumah jagal".
Tapi apa yang bisa dilakukan seorang penyair? Jawabannya pasti berhubungan dengan katapredikat, penanda, identifikasi. Dari pembantaian di musim dingin itu kita bisa bertanya, kenapa gerangan orang perlu memilih definisi diri.
Katakanlah orang dalam cerita ini bernama Samuel. Seandainya saat tak begitu genting, mungkin ia akan sejenak berpikir, apa sebenarnya arti proklamasi langkah kecil itu: apa arti predikat "Katolik" itu bagi dirinya? Imannya yang kadang-kadang tak jelas? Keterpautannya dengan satu kaum semata-mata karena ia dilahirkan di kancah kaum itu? Ataukah "Katolik" di situ hanya tanda seleksi, dan dengan demikian artinya "bukan Protestan", karena peluru menghendaki sasaran yang persis? Ataukah itu berarti Samuel seseorang yang serta-merta "tak bersalah"?
Tak seorang pun bisa tahu mengapa manusia tak pernah bisa bebas dari impuls untuk meringkas arti yang berbeda-beda itu jadi sebuah identitas yang satu dan kompak. Sebuah cerita misterius dalam Perjanjian Lama berkisah tentang dua sosok yang berkelahi habis-habisan sepanjang malam. Tak ada yang menang. Adegan pun berakhir dengan memberikan nama. "Kaulah Israel," kata yang satu kepada yang lain, lawannya. Seakan-akan, dengan memberikan nama, sebuah titik final dicapai, dan satu tahap baru mulai. Nama memang bisa menghentikan ketidakpastian dan kekaburan yang merundung terus-menerus. Seperti halnya KTP dan SIM, tanda resmi pencegah kekaburan.
Tapi setelah kekaburan hilang, belum tentu ada perdamaian. Sebuah kata memang lahir dari kebersamaan: ketika para pembunuh itu memakai kata "Katolik", mereka berasumsi bahwa yang dimaksudkan dengan predikat itu (dari kata praedicare, "menyatakan secara publik") sama artinya bagi orang ramai, termasuk para buruh yang dideretkan di tepi jalan itu. Di ambang pintu kebengisan sekalipun, tiap kata tetap mengundang kepercayaan bahwa ada makna yang bisa didukung bersama-sama.
Tapi kita tak mungkin lupa, ia juga mengandung kekerasan. Ada sebuah sajak Heaney yang dua barisnya mengingatkan hal itu:
Between my finger and my thumb
The squat pen rests; snug as a gun.
Pena yang pendek kekar itu bersandar santai antara telunjuk dan jempol, seperti pistol .
Ya, kata tak hanya dituliskan rupanya, tapi juga bisa ditembakkan. Tentu saja harus diingat bahwa sebuah pistol bisa membunuh tapi juga bisa memberikan aba-aba untuk berlomba. Kata dan makna seakan-akan berkaitan dengan luka dan lari. Sebuah kata yang memasangkan identitas adalah ibarat sebuah jerat. Ketika seseorang disebut atau menyebut diri "Katolik", atau "Muslim", atau "Yahudi", ia masuk ke dalam sebuah kategori. Ia seperti macan terperangkap. Mungkin ia masih bisa melepaskan diri. Tapi tiap predikat selalu punya bekas luka, meskipun ia terus berlari sampai hilang pedih perih. Di tepi jalan di Irlandia Utara itu, Samuel bergerak dari mati ke hidup. Ia selamat, tapi ia meninggalkan teman-temannya yang dibantai.
Tentu bisa dikatakan bahwa kata dipakai dengan hasrat untuk bicara "benar". Hari itu Samuel memang tak jadi bunglon untuk melindungi diri. Ia memilih jadi "benar": apa yang dikatakan tentang dirinya cocok dengan dirinya.
Tapi bagaimana menguji kecocokan jika "diri" itu hanya bisa dihadirkan dalam bahasa? Bahasa selalu berlebihan tapi juga terlalu sedikit "menangkap" pengalaman yang terus-menerus mengalir, berubah, ruwet, silih berganti. Meskipun demikian, bahasa tak lantas dibuang, sebab dengan itudengan nama, predikat, identitasmanusia bisa merapikan pengalaman, dan tak kalang-kabut.
Bisa kita bayangkan ketika kata "Katolik" terdengar pada malam yang dingin itu: seperti vonis. Tiap vonis menghentikan proses, memberi batas, tertutup seperti tembok. Pada saat yang sama, juga sebuah pemisah. "Siapa yang Katolik, maju ke depan!"dan dengan memaklumkan identitas, Samuel pun tak bersama lagi dengan rekan-rekannya, yang ingin melindunginya dan tak dapat dilindunginya.
Goenawan Mohamad