Purnawan Andra, anggota staf Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya Kemdikbud
Seragam tidak hanya menjadi penanda identitas dalam hal status sosial, agama, hingga profesi. Dalam politik, seragam menjadi alat komunikasi semiotis yang dimainkan dalam kontestasi kepemimpinan, karena kekuasaan memerlukan seperangkat pakaian yang berwibawa. Sukarno memiliki seragam kebesaran sebagai "Presiden, Panglima, dan Pemimpin Besar Revolusi" yang dandy, modis, dan trendi pada masanya.
Logika ini dipahami betul oleh negara yang menjadikan seragam sebagai representasi atas segala aspek kehidupan manusia Indonesia, dari sebagai material perekonomian, presentasi budaya, dan sekaligus sebagai penanda keberhasilan politik pemerintahan. Seragam tidak hanya merupakan simbolisme identitas dan komunalitas, tapi juga menegaskan kuasa negara atas nama nasionalisme yang ideologis. Negara menghendaki kepatuhan rakyat terhadap kuasa politik. Oleh karenanya, seragam dihadirkan untuk mencipta ketertiban dan kontrol. Seragam diartikan sebagai sebuah kesatuan, kesamaan yang mengesankan suatu kebersamaan dan kekuatan sekaligus. Seragam menjadi sarana penting untuk mengurangi individualitas, membentuk dan mereproduksi identitas kolektif dan solidaritas kelompok sehingga terlihat jelas dan sulit ditembus.
Sekimoto (2005) mencatat bahwa pada masa Orde Baru seragam mempunyai arti penting dalam konteks (re)presentasi sebuah identitas kelompok yang menjadi bagian atau, bahkan, melampaui pertunjukan arak-arakan kebesaran dan upacara. Seragam terlihat jelas, baik secara fisik maupun maknanya, terutama dalam peristiwa seremonial publik, seperti saat upacara hari nasional. Seragam pada upacara bukan hanya produk suatu pola induk mengenai tata cara berpakaian. Seragam berfungsi sebagai tanda kedekatan si pemakai dengan negara.
Hal ini terjadi karena upacara pada dasarnya merupakan suatu kumpulan orang di dalam dan di sekeliling perlengkapan negara. Pemakaian seragam merupakan cara yang tepat bagi orang-orang yang merupakan alat negara untuk membedakan diri dari massa tanpa nama (rakyat), yang tidak memiliki seragam dan dianggap tidak memiliki peran dalam cara berpikir negara dan bangsa. Agar dapat mengenakan suatu seragam pada masa Orde Baru, seseorang harus menjadi anggota organisasi yang diakui resmi, yang secara langsung atau tidak langsung menyatakan otorisasi pemerintah.
Seragam menjadi penanda makna sekaligus tafsir atas dominasi ideologi maupun kampanye. Seragam tidak hanya membentuk barisan atau serdadu untuk berkontestasi, tapi juga mempertegas jarak antara aku, kami, dan Anda. Seragam menciptakan imajinasi untuk membentuk kekuatan solidaritas maupun perlawanan terhadap sebuah rezim (Munawir Aziz, 2012). Seperti halnya seragam kampanye Jokowi berupa baju kotak-kotak warna merah, biru, dan putih yang menggambarkan pluralitas masyarakat secara suku, etnis, maupun agama, tanda kompleksitas kebinnekaan yang harus mampu dihadapi seorang (calon) pemimpin.
Seragam adalah penanda politisasi tubuh massa (rakyat). Melalui seragam, politik berbaur dengan imaji estetis sebuah konstruksi identitas yang dibangun atas nama kekuasaan. Tunjukkan seragam yang Anda gunakan, akan saya jelaskan siapa Anda dan berada di pihak mana.*
Berita terkait
Taliban Segera Umumkan Pemerintahan Baru di Afghanistan, Siapa Saja?
2 September 2021
Taliban sedang bersiap mengumumkan pemerintahan baru Afghanistan. Siapa saja yang akan menjadi pejabat?
Baca SelengkapnyaWagub Uu Ajak ICMI Bangun Jabar
30 November 2019
Prioritas pembangunan Pemprov Jabar saat ini adalah mengurangi kesenjangan di masyarakat.
Baca SelengkapnyaIngin Selamat dari Perang Dunia III? Pindahlah ke Negara Ini
11 Oktober 2017
Konflik Amerika Serikat dan Korea Utara dalam beberapa bulan terakhir ini memicu kekhawatiran terjadinya Perang Dunia III.
Baca SelengkapnyaDin Syamsuddin Sebut Konsep Khilafah Digaungkan HTI Salah Kaprah
23 Agustus 2017
Sebab, kata Din Syamsuddin, Indonesia telah menjalankan konsep khilafah dengan mengamalkan nilai-nilai keislaman.
Menteri Penerima Opini Disclaimer dari BPK Bakal Kena Sanksi
24 Mei 2017
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, pengelolaan anggaran kementerian atau lembaga pemerintahan dari BPK harus baik di tahun depan.
Baca Selengkapnya2,5 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK, Publik Merasa Puas 64,4 Persen
22 Maret 2017
Lembaga Indo Barometer merilis hasil survei menyangkut evaluasi publik terhadap 2,5 tahun pemerintahan Jokowi-JK, tingkat kepuasan publik 64,4 persen.
Baca SelengkapnyaAgus Pambagio: Komunikasi Pemerintah ke Publik Masih Buruk
2 Februari 2017
Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, mengungkapkan masih belum berjalannya komunikasi publik yang baik dari pemerintah Presiden Joko Widodo.
Baca SelengkapnyaJokowi dan Pimpinan MPR Bahas UU MD3 Hingga Haluan Negara
24 Januari 2017
Jokowi dan Pimpinan MPR menggelar rapat konsultasi yang membahas UU MD3, Haluan Negara, 2 peringatan hari besar, dan Lembaga Pemantapan Pancasila.
Baca SelengkapnyaRayakan Dua Tahun Jokowi-Kalla, Fadli Zon Bikin Puisi
22 Oktober 2016
Fadli Zon mengatakan ini puisi dua tahun Jokowi-JK ini spontan dibuat di ponselnya.
Baca SelengkapnyaWiranto Panggil Sejumlah Menteri ke Kantornya, untuk Apa?
13 September 2016
Yang hadir dalam rapat koordinasi itu adalah anggota Tim Crisis Center pemerintah RI. Anggota tim yang belum tampak adalah Kepala BIN Budi Gunawan.
Baca Selengkapnya