Bekas calon presiden Prabowo Subianto telah memilih Mahkamah Konstitusi sebagai medan perangnya. Ia akan mengadukan kekalahannya dalam pemilihan presiden ke Mahkamah. Walaupun upaya tersebut merupakan opsi sah untuk Prabowo-Hatta Rajasa, langkah itu akan sia-sia dan tak berdampak signifikan terhadap perubahan jumlah suara. Mereka kalah telak, 8,4 juta suara, dari Joko Widodo-Jusuf Kalla. Karena itulah, semestinya kubu Prabowo legowo. Menggugat Komisi Pemilihan Umum dengan tuduhan yang mengada-ada hanya memperburuk citra mereka. Publik akan menertawai, Mahkamah Konstitusi juga bakal mementahkan.
Prabowo menyatakan menarik diri dari acara pemilihan presiden, menjelang KPU merampungkan rekapitulasi suara. Ia dan pasangannya, Hatta Rajasa, saat itu sudah kalah suara dari pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Pengumuman yang dihadiri sejumlah petinggi partai koalisi namun minus Hatta Rajasa itu berlanjut dengan aksi walk out saksi Prabowo-Hatta dari acara penghitungan suara di KPU. Langkah ini semula disangka sebagai pernyataan mundur Prabowo dari pemilihan presiden, yang memiliki konsekuensi hukum Prabowo tak bisa menggugat ke MK. Namun belakangan timnya menyatakan Prabowo hanya menarik dari penghitungan di KPU, bukan mundur dari pemilihan. Prabowo disebutkan akan membawa kasusnya ke MK.
Bila Prabowo jadi mengadu ke MK, ia harus membawa bukti-bukti yang meyakinkan. Sejauh ini, semua alasan yang sudah disampaikan Prabowo dan timnya telah dibantah KPU. Ada kesan bahwa kubu Prabowo cuma mencari-cari alasan. Ini karena semua kecurangan yang mereka klaim seharusnya bisa langsung diproses dalam setiap tahapan pemilu, dari tempat pemungutan suara (TPS), kelurahan/desa, kecamatan, hingga provinsi. Faktanya, sebagian besar keberatan itu tak pernah disampaikan dan yang sudah disampaikan pun telah diselesaikan KPU. Bahkan, beberapa hari setelah pemungutan suara, salah seorang anggota tim pemenangan Prabowo-Hatta masih memuji-muji keandalan sistem pemilu KPU.
Proses pemungutan dan penghitungan suara manual dalam pemilihan presiden memang nyaris muskil dicurangi, karena dilakukan berjenjang dari tingkat TPS, kecamatan, hingga provinsi. Kecurangan yang terjadi, sekecil apa pun, dapat dideteksi dan diantisipasi, baik oleh panitia pemilihan, para saksi, maupun masyarakat. Lagi pula, selain oleh KPU, formulir C dipegang oleh saksi dan Panwaslu. Peserta pemilihan pun hanya dua pasang kandidat, sehingga akurasi rekap suara lebih gampang dilakukan. Yang luar biasa, KPU pun mengunggah formulir perolehan suara di tingkat TPS yang jumlahnya hampir mencapai setengah juta ke Internet, sehingga publik bisa beramai-ramai mengawasi, memeriksa, dan bahkan ikut merekap hasilnya. Ini membuat tudingan bahwa telah terjadi kecurangan masif, terstruktur, dan sistematis berupa adanya 52 ribu formulir C1 invalid-yang setara dengan 25 juta suara-dengan segera diketahui sebagai tudingan yang mengada-ada.
Menimbang sistem rekapitulasi KPU yang sangat transparan itu, MK seharusnya dapat memproses aduan kubu Prabowo dengan cepat. Ini sungguh penting agar tidak terjadi kevakuman pemerintahan, karena pemerintahan Presiden Yudhoyono akan berakhir pada Oktober mendatang.
Bila saja Prabowo tak menggubris hasil sidang Mahkamah, publik pasti akan marah. Mereka bisa kembali turun dengan gerakan people's power seperti pada masa Soeharto. Partai-partai pendukung koalisi Prabowo sebaiknya juga mundur teratur bila mereka diajak melakukan gerakan inkonstitusional.