Jakarta memerlukan duet gubernur dan wakil gubernur seperti Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama. Dengan karakter yang bertolak belakang, mereka tetap saling respek. Maka, setelah Joko Widodo alias Jokowi terpilih menjadi presiden, dan Basuki akan menjabat gubernur, wakilnya sebaiknya memiliki karakter yang pas.
Jokowi dan Basuki selama ini saling melengkapi. Jokowi kalem tapi keras kepala dalam membuat kebijakan. Basuki atau Ahok meledak-ledak jika bicara, lugas, ahli keuangan, dan ia pengawal jalannya birokrasi. Banyak hal yang bisa mereka hasilkan. Waduk Pluit yang kumuh jadi hijau dan asri, taman-taman kecil tumbuh di banyak tempat, dan pembangunan transportasi massal mulai jalan setelah 25 tahun terkatung-katung.
Keduanya bekerja secara efektif dan efisien. Efektif karena kebijakan pelik bisa diputuskan segera, cepat, tanpa gejolak. Efisien karena keduanya bisa menghemat anggaran hingga Rp 10 triliun dari biaya tak penting. Uang itu bisa dipakai untuk banyak hal yang bermanfaat bagi publik: dari biaya pendidikan dan kesehatan gratis, penataan pasar, hingga pencegahan banjir.
Mereka juga sama-sama tak tunduk kepada keinginan partai penyokongnya atau koleganya di partai asal. Orang-orang di sekitar Jokowi, yang memberi nasihat dan melobi, adalah tim kecil yang anggotanya tak satu pun merupakan politikus PDI Perjuangan. Begitu pula dengan Ahok. Para pembantu utamanya adalah profesional, dosen, serta peneliti, bukan kader Partai Gerakan Indonesia Raya.
Penataan Pasar Tanah Abang membuktikan bahwa Jokowi tidak takluk kepada pemodal. Saat mencalonkan diri menjadi Gubernur Jakarta, Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz adalah orang yang membantu pembiayaannya. Ia menghibahkan rumah bagi tim sukses, mengongkosi logistik, hingga berkampanye untuknya. Namun, ketika menjadi gubernur, Jokowi menyelesaikan sengketa pengelolaan Blok A antara perusahaan Djan dan PD Pasar Jaya dengan cara mengambil alih blok itu.
Sengketa itu sempat berlarut-larut dengan saling gugat ke pengadilan. Belakangan gugatan dibatalkan dan pemerintah Jakarta kembali bisa memiliki pasar itu dan terhindar dari kerugian Rp 176 miliar karena kios dikuasai perusahaan Menteri Djan. Fakta ini menjadi tolok ukur yang nyata bagi siapa pun yang nanti akan menggantikannya dan mendampingi Ahok memimpin Ibu Kota.
Nama-nama calon wakil gubernur kini sudah beredar, seperti Ketua DPD PDI Perjuangan DKI Jakarta, Boy Sadikin; mantan Wali Kota Surabaya, Bambang D.H.; dan mantan Wali Kota Blitar, Djarot Sjaiful Hidajat. Para kandidat ini memiliki sejumlah kekurangan dan kelebihan. Tapi Djarot mungkin termasuk yang layak dipertimbangkan. Ia merupakan salah satu Ketua PDI Perjuangan. Sebagai pejabat publik, Djarot juga dikenal berhasil sewaktu dua periode memimpin kota di Jawa Timur itu. Bedanya dengan Jokowi, ia semula dosen yang kemudian aktif berpolitik praktis di partainya.
Demi Jakarta, penting sekali menempatkan sosok wakil gubernur yang bisa bekerja sama dengan Ahok.