Sang Aristokrat : Ia memang lain dari yang lain. Dan ia sadar betul akan hal itu. Ia muda, wajahnya menarik, tubuhnya memikat dalam baju Armani, bahasa Inggrisnya fasih dan Prancisnya bagus. Ia lulus dari sebuah universitas luar negeri, mempelajari politik dan membaca Foucault dan Derrida, dan di pelbagai forum diskusi ia berbicara bersemangat dan fasih tentang hancurnya lingkungan oleh industrialisasi, tentang hak perempuan yang disingkirkan oleh patriarki, tentang kaum subaltern yang dibuat tak bisa bicara, dan hal-hal lain yang layak dikemukakan dan bertubi-tubi dikemukakan. Tapi yang menyebabkan ia bergairah adalah teman-temannya yang memandangnya sebagai orang "berani". Lebih dari berani, ia juga dianggap "kiri". Ia suka akan anggapan ini. "Kiri" itu bukan kategori tentang sebuah paham, melainkan sebuah gaya. "Kiri" adalah sesuatu yang mengejutkan. "Kiri" itu sexy. "Saya memang seorang ekshibisionis," katanya mengakui, dan ia melihat bahwa ada hubungan antara sikapnya menjadi "radikal" dan sikap meminta-untuk-ditonton. Mungkin sebab itu ia justru menolak untuk aktif dalam kegiatan politik. Ia memandang dengan cibir teman-temannya—yang juga berbicara tentang lingkungan yang rusak dan hak perempuan yang ditindas—yang kini aktif dalam partai. Baginya, ikut dalam partai politik itu hanya akan menghidupkan terus proses parlementer, dan itu hanya memperluas ilusi—kasihan rakyat, katanya—karena toh tak akan ada perubahan radikal. Lagipula bagaimana orang macam dia mau dipersempit oleh ikatan pada sebuah partai? Ia lain dari yang lain. Sebab itu ia tidak mencoblos dalam pemilihan umum yang lalu. "Ah, buat apa!" ia akan menjawab dengan senyum cemooh jika orang menanyakannya kenapa. Yang tak ia katakan ialah bahwa dalam setiap pemilihan umum, orang macam dia—yang lain dari yang lain—akan tenggelam dan menjadi angka. Ia tidak mau hal itu terjadi pada dirinya. Ia menolak jadi orang ramai. Ia menolak jadi "mereka". Ia memang berbicara dengan fasih dan bersemangat tentang kaum yang papa, subaltern yang dibisukan, dan ia berseru bahwa nasib mereka harus diubah dan sebagainya dan sebagainya, tapi ia menganggap bahwa proses perubahan itu tidak bisa dilakukan dengan pemilihan umum yang sekarang. Dengan pemilihan yang mana? Yang kelak, yang ideal. Bagaimana untuk memperoleh itu? Ia jawab, dengan revolusi untuk membentuk sebuah pemerintahan yang diterima rakyat dan kemudian menyelenggarakan pemungutan suara. Kita mesti radikal, Bung. Tapi sementara ia mengakui bahwa revolusi memerlukan teori dan strategi dan organisasi dan penyusunan kekuatan, termasuk kekuatan bersenjata kalau perlu, ia tak hendak mengakui bahwa itu semua memerlukan keringat dan kesabaran. Ia tak membayangkan dirinya sebagai orang yang tepat untuk menjalankannya. Ia akan harus mendatangi buruh yang berkumpul di pabrik, menemui dan hidup dekat kaum miskin kota di bedeng-bedeng di bawah jalan layang, ia akan harus mengetuk dari pintu ke pintu. Ini memerlukan suatu kemampuan untuk berbicara seperti "mereka". Haruskah ia tidak menjadi dirinya sendiri? Sampai kapan? Revolusi, sebagaimana juga politik parlementer, adalah sebuah prosa. Tapi, baginya, semua politik adalah puisi. Ia merasa bahwa dirinya kenes, tapi ia tak bisa lain, katanya. Sang Resi: Ia seorang yang serius dalam berpikir dan serius dalam memilih sikap. Ia membaca Heidegger dan ia mengutip kalimat ini: Die Oeffentlichkeit verdunkelt alles. Ketika saya tanyakan apa maksudnya, ia menerjemahkan: "Apa yang publik menggelapkan segalanya". Ia memandang dengan syak segala apa yang "publik". Baginya, yang "publik" terdiri dari sebuah dunia yang berdasar pada keyakinan akan "kebenaran umum", yang bisa diterima oleh siapa saja. Bagaimana ini mungkin, katanya, karena setiap orang akan mati sendiri-sendiri, dan dengan itu sebuah dunia yang tak bisa dipersamakan berlangsung dalam diri kita? Politik adalah cara merampat-papan. Semua dibikin rata. Politik adalah pemencongan. Sebuah distorsi. Seperti sang aristokrat, sang resi merasa dirinya lain dari yang lain. Hanya, berbeda dengan sang aristokrat, ia tidak memandang orang ramai dengan cemooh, melainkan dengan rasa ngeri. Ia merasakan bahwa das Man, atau "mereka", atau orang ramai itu, di mana opini publik menjadi semacam kebenaran, pada dasarnya menutupi apa yang sejati. Sebab itu sang resi masuk ke dalam sebuah gua, mungkin juga menara, dan dari sana bergulat untuk mendapatkan kebenaran. Ia tak hendak diganggu. Ia memerlukan bukan saja konsentrasi, tetapi juga kesempatan untuk mendapatkan apa yang secara otentik ia dapatkan sebagai sesuatu yang benar. Ia tak hendak menyerah kepada kebenaran umum yang menganggap diri langgeng. Anggapan kelanggengan itu hanya karena orang melupakan keterbatasan dan kematiannya. Justru dengan kebenaran umum itu, orang lari dari kesadaran bahwa dirinya tidak kekal, dengan anggapan bahwa kebenaran umum itu lebih bertahan ketimbang jangka hidup orang per orang. Sang resi, seorang Heideggerrian tulen, tentu tak melihat ada sudut pandang yang lain. Ketika orang mencoba memelihara kebenaran umum itu di dalam proses waktu, sebenarnya yang hendak dijaga adalah keinginan untuk mengingat secara bersama. Bukan untuk melupakan kefanaan, justru menyadari kefanaan. Sejarah ditulis karena itu. Dan di dalam setiap usaha mengingat—menafsirkan tentang sebuah masa lalu—ada usaha mempersoalkan apa yang benar dan tidak. Dunia publik di sini bukanlah sebuah permufakatan yang menjerat siapa saja ke dalam kebenaran umum. Dunia publik di sini adalah apa yang disebut Hannah Arendt sebagai interspace. Di sini, kebersamaan bukanlah sebuah blok besar konsensus, melainkan sebuah proses yang saling mengoreksi kesalahan. Menjaga kebersamaan yang seperti itulah politik dilahirkan untuk bergerak. Tanpa kebersamaan itu, di mana kebenaran akan dicapai, juga ketika kita menyendiri di dalam gua? Sang populis: Ia seorang yang antusias dengan orang ramai. Suara rakyat adalah suara Tuhan, ujarnya. Bukan karena tidak pernah salah, tetapi karena harus ditaati. Tapi taat adalah sebuah pengertian kekuasaan, bukan kebenaran. Tuhan tidak hanya sebuah Titah, melainkan sebuah misteri. Apa yang kita ketahui sebenarnya? Juga tentang rakyat?
Goenawan Mohamad