Aceh

Penulis

Senin, 2 Agustus 1999 00:00 WIB

Mereka membunuh lagi di Beutong Ateuh. Siapa yang menangis untuk Aceh adalah menangis untuk sesuatu yang lebih luhur. Tetapi di desa-desa itu orang tak cuma menangis. Mereka mencatat. Bukan cuma angka, tapi dengan saksama nama-nama. Daftar yang panjang sekali. Ada yang tahu siapa yang dibunuh dan siapa yang membunuh, ketika tentara datang menumpahkan darah dan menyebarkan teror. Tentara. Orang-orang bersenjata, berseragam. Aparat. Trauma itu akan membekas dengan kuat. Tapi trauma itu tidak sekadar sesuatu yang gelap dan payau. Di tengah-tengah rasa marah dan tak berdaya menghadapi kejahatan dan kekerasan itu, catatan itu ingin menyelamatkan ingatan dari waktu; waktu tidak bisa lagi menghapus atau mengacau-balau. Catatan itu juga sebuah perlawanan, seakan-akan menegaskan, ''Kami menolak kekejaman ini ditutupi." Catatan itu juga sebuah harapan tentang suatu hari ketika si lemah bisa menuntut yang kuat. Siapa yang menangis untuk Aceh adalah menangis untuk sesuatu yang lebih luhur. Catatan pembunuhan di dusun-dusun itu adalah jari yang menunjuk, yang tak mengacu ke siapa saja dan apa saja. Kesaksian itu berbicara secara spesifik. Kejahatan itu bukan tanpa wajah. Ia mempunyai sosok: korban tidak bisa dipertukarkan, juga si jahat tak bisa diganti. Tetapi mereka tentara, mereka aparat, mereka berseragam. Kejahatan siapakah ini? Kejahatan sebuah organisasi—yang bernama alat negara—atau bahkan negara itu sendiri? Kadang-kadang dendam bisa sesat. Terutama ketika yang jahat bukan sekadar nama-nama, tetapi nama-nama yang mengatasnamakan ''negara", dan dibiarkan terus-menerus oleh ''negara" itu. Dendam bisa sesat karena ada definisi yang kabur mengenai siapa yang harus dibalas dan siapa yang tidak, dan kita menghukum mereka yang tak bersalah. Catatan di dusun-dusun Aceh itu ingin berbicara tentang siapa yang secara persis bersalah, dan kepersisan itu adalah sebuah sikap yang adil. Tetapi bisakah kita persis ketika kita berhadapan dengan sejumlah orang yang akan bisa mengatakan bahwa pembunuhan itu adalah sebuah ''tugas" dan harus dijalani? Ada sebuah percakapan yang pernah direkam dari Cile ketika rezim militer menangkap, menyiksa, dan membantai orang-orang kiri. Ini adalah percakapan di sebuah sel, antara Giorgio, seorang tahanan yang disiksa, dan Solimano, seorang penyiksa. ''Jika kau temukan aku di luar, Giorgio, apa yang akan kau lakukan padaku?" ''Tidak kulakukan apa-apa. Aku seorang dokter, aku menolong orang." ''Kau lihat, kan? Aku melakukan ini karena profesi. Seperti kau juga." Tentara. Orang-orang berseragam. Aparat. Mereka, seperti Solimano, akan berbicara seakan-akan mereka bukan nama-nama, bukan wajah, yang tidak bisa digantikan—dan sebab itu sebenarnya punya otonomi. Otonomi itu berarti kebebasan untuk menentukan nilai. Mereka sudah memilih tatkala mereka membantai dengan sebuah dalih. Mereka anggap dalih itu sah. Di sini ada soal nilai dan penilaian. Tetapi orang seperti Solimano berbicara seakan-akan ''profesi", atau ''tugas", adalah sesuatu yang menyebabkan nilai tidak ada. Nama mereka tidak penting. Wajah, otonomi, dan tanggung jawab mereka tidak relevan dalam kekejaman. Tidak adil, kata mereka, jika Solimano sang penyiksa dan serdadu-serdadu itu disalahkan. Tapi ada perbedaan antara kesewenang-wenangan dan keadilan. Keadilan bukan sekadar menuntut balas, bukan sekadar ''sebiji mata dibalas dengan sebiji mata, sepotong gigi dibalas dengan sepotong gigi"—sebuah aritmatika yang mengerikan. Keadilan menjadi kesewenang-wenangan ketika orang membunuh dan ia menemukan damai. Sebab itu seorang yang melawan kezaliman dengan keras, seorang pemberontak, tidak pernah berhenti bertanya apakah dia adil. Sang pemberontak, seperti dikatakan Albert Camus, ''tak pernah menemukan damai." Ia tahu apa yang baik, namun di luar niat dan tujuannya, ia berbuat jahat. Problem ini menyebabkan ia menyadari bahwa nilai yang mendukungnya tak pernah datang (katakanlah ''diberikan") kepadanya sekaligus. Sang pemberontak "harus berjuang untuk menegakkannya, tanpa henti". Tanpa henti adalah kata kunci di sini. Sang pemberontak, yang terdorong oleh keadilan, tak berpretensi bahwa ia wakil Tuhan; pretensi itu adalah pretensi sang penindas. Ketika kekerasan tak lagi terusik oleh pertanyaan awal itu (''Sejauh mana tindakanku adil, sebetulnya?"), sang pelaku akan menjadi sejenis mesin represi Represi yang menindas dengan sasaran yang persis memang sesuatu yang brutal, tetapi ada yang lebih iblis: aparat yang membunuh secara acak, mungkin untuk membalas dendam, mungkin untuk mendapatkan uang operasi dan mendapatkan kenaikan pangkat. Seperti ketika daerah operasi militer diberlakukan tanpa alasan yang cukup, dan akhirnya seperti yang mereka lakukan di Beutong Ateuh itu: satu pasukan TNI memasuki wilayah itu, menembak Teungku Bantaqiyah dan sekitar 100 orang lain, mungkin murid-murid di pesantrennya. Setelah pembantaian selesai, pasukan itu menguburkan jasad para korban di sebuah jurang yang dalam. Seakan-akan semua selesai di sini. Seakan-akan perkara sudah bisa ditutup dengan efisien dan efektif. Yang mati (sebagaimana yang membunuh) seakan-akan telah berhenti menjadi wajah-wajah yang tak tergantikan. Tetapi di Aceh orang punya catatan. Goenawan Mohamad

Berita terkait

Rencana Anies Usai MK Tolak Gugatan: Istirahat Sejenak, Lalu Perjalanan Baru

59 detik lalu

Rencana Anies Usai MK Tolak Gugatan: Istirahat Sejenak, Lalu Perjalanan Baru

Anies Baswedan membeberkan rencananya setelah gugatan kubunya ditolak Mahkamah Konstitusi.

Baca Selengkapnya

Imbauan BNPB untuk Warga Terdampak Gempa Garut

7 menit lalu

Imbauan BNPB untuk Warga Terdampak Gempa Garut

Gempa dengan magnitudo 6,2 mengguncang wilayah Jawa Barat pada Sabtu malam, 27 April 2024 pada sekitar jam 23.29 WIB. Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB memberi imbauan kepada warga yang terdampak gempa tersebut.

Baca Selengkapnya

Rusia Akan Balas Jika Aset-asetnya Disita Amerika Serikat

10 menit lalu

Rusia Akan Balas Jika Aset-asetnya Disita Amerika Serikat

Kementerian Luar Negeri Rusia mengancam negara-negara Barat akan mendapat balasan tegas jika aset-aset Rusia yang dibekukan, disita

Baca Selengkapnya

Putusan Bermasalah Mahkamah Konstitusi di Sengketa Pilpres

10 menit lalu

Putusan Bermasalah Mahkamah Konstitusi di Sengketa Pilpres

Putusan Mahkamah Konstitusi menyebutkan gugatan kecurangan Pemilu di sengketa pilpres tidak terbukti.

Baca Selengkapnya

Desain Unik Skywalk Terpanjang di Dunia yang Baru Dibuka di Langkawi

13 menit lalu

Desain Unik Skywalk Terpanjang di Dunia yang Baru Dibuka di Langkawi

Langkawi menyuguhkan objek wisata baru berupa skywalk dengan desain untuk

Baca Selengkapnya

BI Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Naik 4,7-5,5 Persen Tahun Ini

22 menit lalu

BI Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Naik 4,7-5,5 Persen Tahun Ini

BI sedang mempersiapkan instrumen insentif agar mendorong pertumbuhan ekonomi.

Baca Selengkapnya

Prabowo Ungkap Restu Jokowi Jadi Alasan Dia Maju Pilpres 2024

30 menit lalu

Prabowo Ungkap Restu Jokowi Jadi Alasan Dia Maju Pilpres 2024

Prabowo menjelaskan alasan mengapa dia maju dalam Pilpres 2024.

Baca Selengkapnya

Rio Reifan Kembali Ditangkap atas Kasus Narkoba, Polisi Sita Sabu, Ekstasi hingga Obat Keras

33 menit lalu

Rio Reifan Kembali Ditangkap atas Kasus Narkoba, Polisi Sita Sabu, Ekstasi hingga Obat Keras

Polres Metro Jakarta Barat menangkap aktor Rio Reifan dalam kasus penyalagunaan narkotika di kediamannya di Jakarta Barat pada Jumat, 26 April 2024.

Baca Selengkapnya

Panglima Militer Ukraina Akui Terseok-seok Hadapi Serangan Rusia

40 menit lalu

Panglima Militer Ukraina Akui Terseok-seok Hadapi Serangan Rusia

Panglima Militer Ukraina mengakui pihaknya menghadapi kesulitan dalam memerangi Rusia.

Baca Selengkapnya

Anies Baswedan Soal Putusan MK: Perjuangan Tidak Sia-sia

45 menit lalu

Anies Baswedan Soal Putusan MK: Perjuangan Tidak Sia-sia

Anies Baswedan menyatakan langkah barisannya melakukan gugatan dugaan kecurangan Pilpres 2024 ke Mahkamah Konstitusi (MK) bukanlah hal sia-sia.

Baca Selengkapnya