Sepasang sosok pemimpin. Sebuah lagu nasional. Latar yang molek, anak-anak yang sehat, bendera yang berkibar . Iklan, apalagi iklan untuk kampanye presiden, adalah cerita yang tahu bahwa yang tampil hanya impian, dan sebab itu tak usah dipercayatapi sebenarnya juga sebuah mesin pembuat kepercayaan.
Paradoks iklan mirip slinder doa dari Tibet. Benda ini bisa berputar seperti gasing di atas tangkai, dan dengan itu kita bisa berdoa.
Begini caranya. Mula-mula tuliskan doa Anda pada secarik kertas. Gulung kertas itu, lalu letakkanlah di dalam slinder itu, kemudian putar dia. Anda kemudian boleh melamun tentang apa saja, misalnya tentang Richard Gere, tapi pada saat itu Anda berdoa, karena di slinder itu doa Anda telah berjalan .
Tentu saja Anda tahu, putaran kertas itu bukan menuju ke arah Sang Pengabul. Pikiran Anda tak mempercayai bahwa doa bisa dijalankan oleh sebuah alat. Tapi laku Anda mempercayainya. Bukan, Anda bukan bingung atau terbelah. Tak ada yang ganjil di sini.
Sebab kita melakukannya sehari-hari: dari membeli sampo sampai dengan mengirim anak ke sekolah, dari naik haji sampai dengan menggunakan jasa bank, dari membuat pesta perkawinan sampai dengan memilih wakil rakyat di DPR. Siapa bilang akal kita, juga hati kita, yakin bahwa pesta kawin menyenangkan orang, sekolah akan membuat anak bertambah pintar, dan di DPR keinginan rakyat sama dengan keinginan wakilnya?
Kita hidup dalam zaman yang dikuasai oleh "Akal Yang Sinis" (der Zynischen Vernunft), kata Peter Sloterdijk, dengan agak dramatik. Pemikir Jerman mutakhir ini mencoba menunjukkan bahwa ungkapan Marx atas ideologi kini sudah tak berlaku lagi. Ideologi, menurut Marx, ialah ketika "orang tak tahu itu, tapi orang toh melakukan itu." Ideologi adalah "kesadaran palsu". Tapi itu pada abad ke-19. Pada zaman kini, dengan iklan dan retorika, sebuah kesadaran palsu yang berbeda pun beredar: orang datang ke kantor polisi melapor bahwa ia kecurian, sementara tahu betul itu tak akan menyebabkan si pencuri tertangkap dan barang yang hilang didapatkan kembali. Dengan singkat, "mereka tahu betul akan hal itu, tapi mereka mengerjakannya juga". Dan itulah "sinisme".
Maka bagi Sloterdijk, kritik kaum Marxis terhadap ideologi tak mempan lagi. Kritik Marxis bermaksud membuka kedok, misalnya bahwa kepercayaan agama atau cita-cita demokrasi politik sebetulnya hanyalah hasil kepentingan sebuah kelas. Tapi pada masa pasca-Marxis, topeng itu sudah diketahui sebagai topeng. Mau diapakan? Akal yang sinis adalah sebuah "kesadaran palsu" tapi yang "tercerahkan" (aufgeklärt). Dengan kata lain, kepalsuan itu kita akui. Kita tahu yang disebut "keadilan" dan "kebenaran" itu sebenarnya sesuatu yang menyembunyikan kepentingan mereka yang beruang atau berkuasatapi seakan-akan secara otomatis orang tetap menghadap bapak hakim, menyewa pengacara, dan mau menanti berhari-hari.
Analisa Sloterdijk dapat mengena untuk menggambarkan proses peradilan di Indonesia kini, tapi ia sebetulnya berbicara tentang mereka yang hidup di negeri yang rapi dan mapan. Yang menarik: kerapian dan kemapanan itu terkait dengan rasa lelah, ennui. Sebab masyarakat tak kaget lagi dengan politik, ketika niat dan janji akan perbaikan sudah jadi rutin, dan kekecewaan telah jadi akrab.
Dengan kata lain ketika demokrasi liberal sudah mirip, dalam kiasan Baudrillard, "menopause". Di masyarakat yang masih lapar akan harap seperti Indonesia, yang masih hangat dengan kepercayaan bahwa zaman baru akan datang dan lembaga yang mandek akan disegarkan, tersirat sebuah sikap yang naif tapi membuat gelora hidup. Lama-kelamaan bisakah kenaifan itu bertahan?
Jika kita saksikan ennui yang digambarkan Sloterdijk, jawabnya adalah "tidak". Kesadaran palsu, tapi yang tercerahkan, akan datang melalui informasi dan pendidikansebuah "pendidikan dalam disilusi". Orang tahu bahwa akhirnya, seperti disebut dalam Opera Tiga Gobang Bertolt Brecht, tak banyak bedanya antara "merampok bank" dan "membuka usaha bank". Orang akan tahu bagaimana sebenarnya hidup diputar-putar, tapi tak tahu bagaimana menampiknya.
Hanya hasrat untuk hidup terus yang mendorong orang buat menerima hubungan dan lembaga yang sudah ada, hal-hal yang sebetulnya nilainya meragukan. Dengan kata lain, ilusi diperlukan, dan "kebenaran" mungkin hanya kesepakatan sosial dalam berkhayal. Lihatlah mata uang. Kita tahu kertas itu dengan gampang dapat kita robek dan bakar, tapi kita menerimanya sebagai sesuatu yang senilai dengan jerih payah kita. Jerih payah kita pun sudah disunglap, menjadi sesuatu yang bukan lagi pikiran dan keringat, melainkan sesuatu yang nyaris abstrak, dapat diukur dan dipertukarkanmisalnya dengan sekotak cokelat.
Tentu saja, ilusi tak dapat selama-lamanya mencengkeram, betapapun kita membutuhkannya. Tak jarang orang akan melawannya dan mengetawakannya. Dalam perlawanan itu, dalam ketawa, dan dalam sikap menampik, kitakata Sloterdijkmemilih Kynismus, bukan Zynismus. Dengan "kynisme", yang tecermin dalam cemooh di tepi-tepi jalan atau satire di pentas kabaret dan dagelan, orang seakan-akan mencubit dirinya sendiri, untuk mengingatkan bahwa ada yang tertindas sebenarnya dalam "pendidikan dalam disilusi" selama ini.
Namun, saya ragu "kynisme" akan membebaskan kita. Mungkin ia hanya candu bagi rakyat. Ketawa itu sehat, tapi juga bisa congkak. Bukankah dengan mengatakan, seraya ketawa mengejek, misalnya bahwa "elite hanya mengibuli rakyat", kita sebenarnya cuma mau kelihatan lebih pintar dari rakyat?
Maka agaknya diperlukan sesuatu yang lain, mungkin pengorbanan diri, agar manusia bisa menemukan keluhuran kembali. Dengan itu orang akan menyaksikan sesuatu yang mengatasi yang rutin, buntu, dan tak sinis. Kita ingat, sebelum momen yang agung itu digantikan mesin kepercayaan, itulah yang terjadi, bukan?
Goenawan Mohamad