Seno Gumira Ajidarma,
Wartawan panajournal.com
Seminggu lalu, Senin, 8 Desember 2014, saya berada di Omah Munir, di Kota Batu, Malang, Jawa Timur. Itulah tanggal kelahiran Munir Said Thalib, yang jika tidak meninggal akibat konsentrasi Arsenik 3 sebanyak 0,460 miligram per liter yang menyebabkan blokade reaksi detoksifikasi, Selasa 7 September 2004 di udara, dalam pesawat Garuda, 40 ribu kaki di atas tanah Rumania, tentu kini berusia 49 tahun.
Tertera pada poster pameran instalasi fotografi Fanny Octavianus dan Yaya Sung yang dibuka siang itu tulisan, "49-39 = 10 th Menolak Lupa". Sementara "jalan 39" merupakan usianya pada akhir hayat, sudah 10 tahun orang tidak lupa bahwa Munir dibunuh. Jadi bukan hanya meninggalnya Munir yang tak hilang dari ingatan, tapi juga kecenderungan untuk melupakannya sebagai trauma yang tidak ingin diingat ataupun sebagai sikap menghindari tanggung jawab.
Sebagai kurator pameran, mengapa saya memilih kata "menolak", bukan "melawan" yang nyaris menjadi baku dalam seruan "melawan lupa"? Sebab, meski "melawan" mungkin lebih heroik, dalam cara berpikir dialektik kata itu merupakan antitesis yang belum ketahuan sintesisnya, sedangkan "menolak" adalah sintesis definitif sebagai kelanjutan tindak melawan itu.
Sementara dengan kata "melawan" penyandangnya terposisikan sebagai kelompok marginal, yang melawan proyek pembiaran (baca: kesengajaan untuk melupakan) dari kelompok dominan, kata "menolak" merupakan sintesis definitif yang penyandangnya boleh dianggap terposisikan sebagai kelompok dominan, sehingga siapa pun yang berpura-pura melupakannya bolehlah diandaikan sebagai "yang lain"-yang tentu saja tidak perlu berkonotasi tertindas, kasihan, eksotik, atau heroik, melainkan apa pun yang berkonotasi negatif, sebagai makhluk yang tidak layak mendapat simpati karena kesengajaannya yang tidak termaafkan.
"Menolak lupa" menjadi ukuran, standar, patokan, dan akal sehat, wacana dominan dan absah dalam klaim atas normalitas-yang normal adalah yang menolak lupa, yang abnormal adalah yang lupa-ketika menganggap terbunuhnya Munir, jika bukan "baik dan benar" (menurut para pelakunya), setidaknya "bukan urusan saya" (menurut publik apatis produk Orde Baru).
Namun catatan ini belum menjadi laporan jika tidak saya sampaikan bahwa pada hari itu secara formal dan resmi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memberi penghargaan kepada almarhum Munir. Mengingat pada 29 November sebelumnya Pollycarpus Budihari Prijanto, yang telah dinyatakan bersalah, dibebaskan bersyarat dan menimbulkan gelombang reaksi pernyataan "melukai rasa keadilan", penghargaan Komnas HAM dapat terbaca sebagai manuver pada saat yang tepat.
Sebetulnya, istri almarhum Munir, Suciwati diminta datang ke Yogya untuk menerima penghargaan tersebut pada Hari Hak Asasi Manusia Sedunia pada 10 Desember, yang juga diberikan kepada almarhumah Maria Ulfah Soebadio, sebagai orang pertama yang memasukkan "ayat-ayat HAM" dalam perundang-undangan, tapi Suciwati tidak bersedia.
"Udah sebel ya?" Tanya saya ketika cari jajanan sore-sore sebelum kembali ke Jakarta.
"Wah, udah enggak sebel lagi Mas, saya udah sampai pada tahap, tahap…. apa ya…."
Saya tidak ingat apakah kemudian Suciwati menemukan suatu kata yang bisa menerjemahkan pendapat ataupun suasana hatinya. Tapi menurut saya sangat penting untuk menggarisbawahi: tidak terlalu mudah dalam posisi Suciwati untuk menerima, bukan sekadar terdakwa kasus pembunuhan Munir yang bisa dibebaskan bersyarat "sesuai dengan prosedur", tapi juga bahwa otak pembunuhan Munir belum terungkap. Tepatnya, belum terungkap secara hukum.
"Apakah Mbak Uci itu tidak terlalu keras ya, Mas?" seorang aktivis bertanya tentang sikap Suciwati, bukan kepada Komnas HAM, melainkan sikapnya secara umum atas keterbunuhan Munir yang telah menjadi komoditas politik.
"Mbak Uci itu istrinya Munir," kata saya, "apalagi yang bisa diharapkan dari seorang istri yang suaminya dibunuh?"
Hari itu adalah kali pertama saya berada di Omah Munir karena proses kurasi kami lakukan di Jakarta. Setelah cukup berjarak, dapatlah saya tangkap, di balik kekerasan sikapnya (bertemu dengan presiden pun tidak mau jika tidak ada langkah yang berarti) sebetulnya Suciwati melakukan aktivisme dengan apa yang disebut soft power.
Sebagai museum yang sangat kecil, Omah Munir ternyata amat sangat penting karena merupakan satu-satunya museum di Indonesia yang mengabdi kepada penyadaran hak asasi manusia. Bukan otak pembunuhan Munir lagi, entah siapa dia, yang menjadi "musuh" Suciwati, melainkan anasir-anasir kejahatan sebagai potensi manusia yang membutuhkan tidak sembarang konsistensi untuk melawannya.
Berita terkait
Didesak Tetapkan Kasus Munir Jadi Pelanggaran HAM Berat, Komnas HAM: Tunggu Penyelidikan
44 hari lalu
Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum) mendesak Komnas HAM menetapkan kasus pembunuhan Munir Said Thalib sebagai pelanggaran HAM berat
Baca SelengkapnyaKasum Desak Komnas HAM Segera Tetapkan Kasus Kematian Munir Sebagai Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia
51 hari lalu
Komisi Aksi Solidaritas untuk Munir desak Komnas HAM segera tuntaskan kasus pembunuhan Munir Said Salib pada 7 September 2004.
Baca SelengkapnyaKelompok Sipil Tagih Komnas HAM soal Penyelesaian Kasus Pembunuhan Munir
27 Desember 2023
Komnas HAM didesak menetapkan kasus pembunuhan Munir jadi pelanggaran HAM berat.
Baca SelengkapnyaKASUM Desak Presiden Jokowi Buka Laporan TPF Munir ke Publik
8 September 2023
KASUM mendesak Presiden Joko Widodo atau Jokowi segera membuka dokumen laporan Tim Pencari Fakta atau TPF Munir.
Baca SelengkapnyaKomnas HAM Targetkan Penyelidikan Kasus Munir Rampung Tahun Ini
12 Mei 2023
Komnas HAM mengatakan tim ad hoc penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat Munir saat ini masih bekerja.
Baca SelengkapnyaKomnas HAM Sebut Perkembangan Tim Adhoc Munir Baru Selesai di Internal
28 Desember 2022
Komnas HAM mengatakan perkembangan pembentukan ulang tim ad hoc kasus Munir saat ini baru rampung di internal.
Baca SelengkapnyaTak Bisa Umumkan Hasil Penyelidikan, Eks TPF Munir Sebut Terbelenggu Keppres Era SBY
27 Desember 2022
Eks anggota TPF Munir, Usman Hamid, menyebut tidak bisa membuka isi laporan terbentur Keppres No. 111 Tahun 2004 yang dikeluarkan era Presiden SBY
Baca SelengkapnyaKASUM Masih Mendiskusikan Nama untuk Diajukan ke Tim Ad hoc Kasus Munir
24 Desember 2022
Komite Aksi Untuk Munir (KASUM) masih mendiskusikan nama untuk diajukan ke tim ad hoc Komnas HAM menyelidiki kasus Munir.
Baca SelengkapnyaKomnas HAM akan Bentuk Tim Adhoc Penyelidikan Kasus Munir
23 Desember 2022
Tim adhoc penyelidikan kasus Munir akan diumumkan pada 10 Januari 2023.
Baca SelengkapnyaSuciwati Gugat Kebungkaman Jokowi dan Partai Politik dalam Kasus Munir dan Pelanggaran HAM
22 September 2022
Mengapa Suciwati kecewa cara penyelesaikan kasus pembunuhan Munir dan pelanggaran HAM berat lain di era Jokowi?
Baca Selengkapnya