Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin seharusnya mengkaji lagi pemberian remisi kepada narapidana kasus korupsi. Pemotongan hukuman tetap diberlakukan kendati pemerintah telah mengeluarkan kebijakan mengenai pengetatan pemberian remisi bagi koruptor.
Hadiah untuk memperingati Hari Kemerdekaan itu antara lain diberikan kepada 39 narapidana korupsi yang dibui di Penjara Sukamiskin, Bandung. Mereka memperoleh pemotongan hukuman 3 sampai 6 bulan. Mantan Gubernur Bengkulu Agusrin Najamudin, bekas pegawai pajak Gayus Halomoan Tambunan, mantan jaksa Urip Tri Gunawan, dan mantan Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad termasuk yang mendapat remisi.
Gayus termasuk beruntung. Terpidana korupsi perpajakan dengan total hukuman 30 tahun penjara ini sebelumnya sudah memperoleh remisi pada Lebaran. Pengurangan hukuman ini dipertanyakan, karena diberikan pada saat negara sedang repot memerangi korupsi. Narapidana kasus korupsi tidak menjalani hukuman yang setimpal dengan kejahatannya. Apalagi Gayus dan narapidana yang lain kelak juga akan mendapat keringanan lain, seperti pembebasan bersyarat.
Orang tentu heran karena obral remisi tetap terjadi kendati pemerintah telah memperketatnya. Kebijakan ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Khusus untuk narapidana kejahatan luar biasa, seperti korupsi, diperlakukan berbeda. Mereka tak bisa begitu saja diberi pemotongan hukuman pada hari besar nasional.
Narapidana korupsi hanya diberi remisi jika ia bersedia menjadi justice collaborator atau membantu penegak hukum dalam membongkar tindak pidana yang dilakukannya. Mereka harus sudah membayar denda yang diputuskan dalam vonis. Syarat ini cukup berat sehingga jarang narapidana yang bisa memenuhinya. Mereka umumnya berusaha menutup-nutupi korupsinya.
Gayus dan kawan-kawan pun tidak menempuh jalur sebagai justice collaborator. Menteri Hukum Amir Syamsuddin juga menegaskan bahwa belum ada narapidana kasus korupsi yang diberi remisi sesuai dengan prosedur PP terbaru. Kementerian Hukum memberikan remisi kepada Gayus dan rekan-rekannya dengan alasan terpidana divonis sebelum Peraturan Pemerintah tentang Pengetatan Remisi itu terbit. Artinya, Gayus dianggap tak terikat aturan itu.
Dalih itu sungguh janggal. Kalau begitu, apa dasar Gayus dan kawan-kawan mendapat remisi? Soalnya, dalam PP No. 99/2012 jelas dinyatakan bahwa aturan dalam peraturan pemerintah yang lama tidak berlaku bila bertentangan dengan PP terbaru ini. Dengan kata lain, aturan lama dalam PP lama, sepanjang menyangkut remisi bagi koruptor, tentu tak bisa jadi pegangan lagi.
Kementerian Hukum seharusnya tidak membuat kebijakan yang membingungkan sekaligus menimbulkan standar ganda dalam memperlakukan narapidana. Narapidana korupsi semestinya diperlakukan sama, tanpa memandang kapan ia divonis. Perbedaan ini membuat upaya memperketat remisi terasa kurang efektif. Nyatanya, banyak sekali koruptor yang terus-menerus dimanja dengan remisi.