Keinginan Koalisi Merah Putih membentuk panitia khusus mengenai penyelenggaraan pemilihan presiden sebaiknya diurungkan. Panitia yang akan dibentuk di Dewan Perwakilan Rakyat ini mubazir. Soalnya, sengketa pemilihan presiden sudah diputus oleh Mahkamah Konstitusi.
Manuver yang sudah lama digulirkan itu masih dilanjutkan, kendati MK telah menolak semua gugatan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Majelis hakim konstitusi bahkan menjatuhkan putusan secara bulat, tanpa beda pendapat. Kubu pasangan itu berdalih pembentukan panitia khusus alias pansus tidak berkaitan dengan putusan MK, melainkan dengan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Alasan yang antara lain disampaikan oleh Hidayat Nur Wahid, anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera, itu mengada-ada. DKPP memang menemukan sejumlah pelanggaran etika dalam pemilihan presiden, tapi lembaga ini telah memberikan sanksi bagi penyelenggara pemilu yang nakal. Sebagian di antara mereka bahkan telah dipecat. Lalu, apa lagi yang akan ditelisik oleh politikus Senayan?
Kalau benar temuan DKPP yang menjadi dasar, anggota DPR seharusnya tidak hanya membentuk pansus untuk pemilihan presiden, tapi juga untuk pemilihan legislatif. Banyak pelanggaran dalam pemilu legislatif. Tak sedikit pula penyelenggara pemilu yang diberi sanksi-sebagian malah dipecat--oleh DKPP karena melakukan pelanggaran etika dalam pemilihan legislatif.
Sikap Koalisi Merah Putih sungguh memprihatinkan. Mereka terlihat belum bisa menerima kekalahan serta terus mencari celah hukum dan politik untuk mendelegitimasi presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla. Selain berancang-ancang membentuk pansus, mereka menggugat keputusan Komisi Pemilihan Umum ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Berbagai manuver itu akan sia-sia dan hanya membuat rakyat bingung. Majelis hakim konstitusi jelas menyatakan tak ada pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif dalam pemilihan presiden. Orang tahu putusan MK ini bersifat final dan mengikat. Tak ada lembaga lain, termasuk DPR dan PTUN, yang bisa mengoreksi putusan itu. Para anggota DPR juga tidak konsisten. Mereka tidak percaya kepada KPU dalam soal hasil pemilihan presiden, tapi para politikus itu tak mempersoalkan hasil pemilihan legislatif yang ditetapkan oleh lembaga yang sama.
Partai-partai pendukung Prabowo-Hatta, yang menguasai 60 persen lebih kursi di DPR, seharusnya bersikap bijak. Kekuasaan yang besar ini tidak bisa digunakan secara sewenang-wenang untuk merusak hasil pemilihan presiden dan putusan MK. Mereka bisa menggunakan kekuatan untuk mengontrol dan mengkritik kebijakan pemerintah, tapi bukan untuk mengingkari hasil demokrasi dan putusan MK.
Demokrasi bukanlah peperangan. Pihak yang kalah seharusnya berlapang dada. Kubu Prabowo-Hatta semestinya secara resmi memberikan ucapan selamat kepada sang pemenang, bukannya melakukan manuver politik dan hukum yang tiada berkesudahan.