Nasionalisme

Penulis

Senin, 4 Oktober 1999 00:00 WIB

SEBUAH pesawat Dakota jatuh di dekat Maguwo, Yogya. Tiga perwira Angkatan Udara Republik Indonesia yang ada di dalamnya tewas. Hari itu 29 Juli 1949. Pesawat ini, yang terbang dari New Delhi, membawa obat-obatan, sumbangan Republik India untuk Republik Indonesia. Sebuah pesawat sipil. Ada huruf dicat di tubuhnya yang telah patah: "VT-CLA". Menurut laporan, angkatan udara Belanda yang menguasai bagian utara Jawa mengejar dan menembaknya. Seorang pemuda berumur 17 tahun datang ke lokasi kematian itu. Ia ingin mengabadikan apa yang terjadi. Ia bukan seorang fotograf. Ia seorang pelukis, dan ia membuat sketsa puing-puing itu, dengan harapan bahwa ia bisa jadi saksi: sebuah pesawat sipil telah ditembak begitu saja oleh tentara Belanda, yang dengan kekuatan militer yang besar ingin menguasai Indonesia kembali. Kini, tahun 1999, anak muda itu dikenal sebagai salah satu pelukis Indonesia terkemuka, Srihadi Sudarsono. Tak banyak yang tahu, sampai 50 tahun lamanya, sampai ia berpameran buat pertama kalinya di Galeri Lontar, Jakarta, sampai pekan lalu, bahwa Srihadi menyimpan sejumlah skesta yang tak ternilai harganya: rekaman kejadian selama revolusi, baik dalam keadaan perang maupun dalam perundingan. Tak semua karyanya selamat. Sebagian besar pernah ikut terbakar bersama sebuah gedung perjuangan. Tapi di galeri itu saya beruntung masih dapat melihat bukan saja sketsa puing pesawat Dakota itu, tapi juga sosok seorang prajurit gerilya di kereta api, sepasukan tentara Belanda yang menggeledah sebuah rumah penduduk di Sala, sepotong wajah Bung Karno, sepotong wajah Moh. Roem, juga para diplomat asing di Kaliurang, Yogya, yang—berkat jasa PBB—mencoba menyelesaikan persoalan yang timbul ketika kolonialisme dihentikan di Indonesia. Indonesia tahun 1949, Indonesia tahun 1999. Srihadi mungkin tak menyadari ini, tapi melihat sketsanya, orang dengan mudah akan bicara tentang perbedaan, tentang kontras yang sedih. Setengah abad yang lalu itu dunia luar—dengan PBB yang masih segar—membantu Indonesia, si lemah yang sedang menghadapi ancaman kekuatan yang lebih dahsyat. Kini yang terdengar hanya kecaman yang tajam di mana-mana, terhadap sebuah Indonesia yang besar dan brutal, yang hendak menenggelamkan Timor Leste yang kecil (dan gagal). Indonesia 1949, Indonesia 1999. Setengah abad yang lalu itu para pemimpin Republik mencantumkan dengan yakin dan hati bergetar, "bahwasanya kemerdekaan adalah hak semua bangsa...". Mereka teguh bahwa kemerdekaan adalah hak yang harus diakui oleh siapa pun, sebab ini satu ekspresi dari nilai yang universal. Kini kita hanya mendengar kalimat itu dibaca dengan malas. Dalam 40 tahun terakhir para pemimpin Indonesia mencoba meneriakkan bahwa nilai yang universal tak ada. Kita tak bisa dinilai dengan ukuran "Barat", seru mereka, kita punya demokrasi kita sendiri, kita ini unik, lo, Anda harus mengerti kebudayaan Jawa, nilai-nilai Asia.… Seakan-akan, bagi yang tertindas, ada beda hakiki antara kekejaman militer Indonesia dan, misalnya, kesewenang-wenangan orang Portugis. Sebuah pesawat Dakota jatuh. Kapal udara itu membawa obat-obatan dari dunia luar. Sejumlah wajah asing hadir di Kaliurang. Dalam sketsa-sketsa Srihadi dari tahun 1946, tak tersirat paras pendatang yang menakutkan, ganjil dan jauh. Di kertas gambarnya Srihadi bukan saja saksi sebuah peristiwa. Ia, yang juga seorang anggota tentara yang sadar tentang apa artinya perang kemerdekaan, juga jadi saksi sebuah sikap. Kita merasakan, dari goresan pensilnya, bahwa revolusi Indonesia—dan nasionalisme Indonesia—tak membersitkan rasa curiga dan sikap tertutup kepada apa yang "luar", apa yang "asing". Dari Srihadi kita tahu bahwa revolusi Indonesia bukanlah sebuah revolusi yang inward-looking, yang hanya menengok ke dalam—sebuah model revolusi yang, misalnya, bisa diambil dari ideologi dan tindakan Khmer Merah ketika mereka membangun sebuah republik di Kamboja. Rekaman Srihadi menunjukkan bahwa bahkan dalam perang kemerdekaan, Indonesia adalah sebuah buku yang terbuka. Dunia luar datang, melihat, dan Indonesia dengan gagah, meskipun kurus, berdiri. Di sebuah tembok jalanan Jakarta, sekitar November 1945, para pemuda pejuang menuliskan dengan huruf-huruf besar, "Give me liberty or give me death". Mereka tak bermaksud berbicara kepada orang Indonesia sendiri. Kalimat itu kata-kata orang Amerika Patrick Henry, diucapkan menghadapi penjajahan Inggris abad ke-18. Dengan mengutip itu, para pemuda Indonesia tampaknya ingin mengingatkan: suara seorang patriot Amerika abad ke-18 sama dengan suara para patriot Indonesia tahun 1945. Betapa fasih mereka itu, betapa tidak gagu seperti orang yang bersenjata dan berbaju safari yang ada sekarang. Dunia luar harus diyakinkan, karena kita benar. Tak ada yang harus ditutupi, karena kita tak usah malu. Seperti halnya keyakinan tentara perjuangan tahun 1940-an itu, yang dengan sadar mengerahkan para pelukis seperti Srihadi: mereka ingin merekam peristiwa, biarpun hanya dengan lukisan, ketika kamera belum dimiliki. Mereka tak ingin menghapus jejak. Mereka bukan maling. Mereka sedang membuat sebuah sejarah yang punya arti, juga bila diutarakan kepada manusia di ruang lain, di waktu yang lain, di milenium yang berbeda. Goenawan Mohamad

Berita terkait

Selain Mepamit, Rizky Febian dan Mahalini Jalani Upacara Adat Ini Sebelum Menikah

8 menit lalu

Selain Mepamit, Rizky Febian dan Mahalini Jalani Upacara Adat Ini Sebelum Menikah

Rizky Febian dan Mahalini menjalani beberapa rangkaian prosesi adat menjelang pernikahannya. Begini penjelasan dari pihak label musiknya.

Baca Selengkapnya

Mengenal Guinea, Lawan Timnas Indonesia U-23 di Playoff Olimpiade Paris 2024

9 menit lalu

Mengenal Guinea, Lawan Timnas Indonesia U-23 di Playoff Olimpiade Paris 2024

Timnas Indonesia U-23 harus menang melawan Timnas Guinea U-23 jika ingin lolos Olimpiade Paris 2024.

Baca Selengkapnya

Pramugari Sarankan Tidak Memilih Koper Hard Case untuk Bagasi dan Lima Tips Packing Lainnya

26 menit lalu

Pramugari Sarankan Tidak Memilih Koper Hard Case untuk Bagasi dan Lima Tips Packing Lainnya

Wisatawan banyak yang lebih suka packing dengan koper hard case karena dikira lebih kuat, nyatanya tidak.

Baca Selengkapnya

Hujan Meteor Masuk Atmosfer Bumi Malam Ini, Bisa Dilihat Tanpa Alat Khusus

27 menit lalu

Hujan Meteor Masuk Atmosfer Bumi Malam Ini, Bisa Dilihat Tanpa Alat Khusus

Keunikan malam puncak hujan meteor ini adalah meteornya bersumber dari butir debu yang dilepaskan komet Halley.

Baca Selengkapnya

Jadwal Championship Series Liga 1: Bali United vs Persib Bandung pada 14 Mei, Alberto Rodriguez Tak Sabar Mau Main

27 menit lalu

Jadwal Championship Series Liga 1: Bali United vs Persib Bandung pada 14 Mei, Alberto Rodriguez Tak Sabar Mau Main

Dalam pertandingan semifinal Championship Series Liga 1 ini, Bali United lebih dulu main di kandang sebelum bertandang ke Persib Bandung.

Baca Selengkapnya

Koalisi Desak Perbankan Setop Investasi ke Energi Kotor dan Segera Beralih ke EBT

28 menit lalu

Koalisi Desak Perbankan Setop Investasi ke Energi Kotor dan Segera Beralih ke EBT

Koalisi organisasi masyarakat sipil mendesak agar kalangan perbankan berhenti memberikan dukungan pendanaan energi kotor seperti batu bara.

Baca Selengkapnya

Penjelasan Hari Akar Kuadrat, Fenomena Matematika yang Langka dan Unik

31 menit lalu

Penjelasan Hari Akar Kuadrat, Fenomena Matematika yang Langka dan Unik

Anda pernah mendengar hari libur matematika tak resmi Hari Akar Kuadrat? Hari yang hanya terjadi 9 kali se-abad ini lebih dari sekadar angka.

Baca Selengkapnya

5 Fakta Haji 2024, Kuota Terbesar Sepanjang Sejarah hingga Gunakan Kartu Pintar

33 menit lalu

5 Fakta Haji 2024, Kuota Terbesar Sepanjang Sejarah hingga Gunakan Kartu Pintar

Gelombang pertama jamaah haji Indonesia akan berangkat pada Minggu 12 Mei 2024. Berikut fakta-fakta menarik haji 2024.

Baca Selengkapnya

Luhut Diminta Klarifikasi Soal Orang Toksik di Pemerintahan Prabowo: Agar Tak Ada Tuduhan

35 menit lalu

Luhut Diminta Klarifikasi Soal Orang Toksik di Pemerintahan Prabowo: Agar Tak Ada Tuduhan

Menurut pengamat politik Universitas Al-Azhar, Ujang Komarudin, ada kemungkinan Luhut merujuk kepada figur atau kelompok tertentu melalui pernyataan tersebut.

Baca Selengkapnya

Prakiraan Cuaca Sepekan Jawa Barat, BMKG: Potensi Hujan Sedang Hingga Lebat Hanya 4 Hari

42 menit lalu

Prakiraan Cuaca Sepekan Jawa Barat, BMKG: Potensi Hujan Sedang Hingga Lebat Hanya 4 Hari

Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan awan atau terjadinya hujan di sebagian wilayah Jawa Barat.

Baca Selengkapnya