Manusia di Punggung Dunia

Penulis

Jumat, 26 Desember 2014 02:00 WIB

Otto Syamsuddin Ishak

Bagaimana kondisi orang Aceh sepuluh tahun setelah tsunami? Dulu, Hasan Tiro menggunakan istilah "di punggung dunia" untuk menggambarkan kelebihan bangsa Aceh di antara bangsa-bangsa lainnya. Dulu hal ini sangat membanggakan, mengobarkan semangat hidup, sehingga mampu bertahan hingga tiga dasawarsa di dalam konflik bersenjata. Kini, melihat perilaku orang-orang pemerintahan Aceh, apa yang dikatakan Hasan Tiro itu menjadi bahan olok-olok di antara mereka.

Saya sendiri tak henti menerima pesan pendek dari orang Aceh sendiri: bagaimana kabarnya negeri Aceh saat ini? Lho, orang Aceh yang berada di Aceh, mengapa sampai bertanya demikian ke luar Aceh?

Sebelum tsunami, sebuah survei psikologi dari Universitas Harvard, yang bekerja sama dengan lembaga lain, menemukan bahwa akibat dari konflik yang berkepanjangan dan intensif, orang Aceh berada dalam kondisi kejiwaan sakit dalam berbagai level. Apalagi masyarakat ini lalu ditakdirkan untuk menerima bencana gempa tsunami terdahsyat pada awal abad ke-21 pula.

Pada bencana yang terakhir ini, dalam waktu singkat ratusan ribu manusia dan harta benda yang tak terperikan di pesisir Aceh menjadi korban dan musnah. Padahal konflik di daerah pesisir lebih panjang dan intensif daripada di daerah pedalaman.

Ada survei di desa-desa yang "berkonflik tinggi" yang dilakukan dalam dua periode waktu di seluruh Aceh. Tahap pertama (PNA1) pada 30 desa di tiga kabupaten pesisir Utara; dan tahap dua pada 65 desa di pesisir timur dan barat daya, serta dataran tinggi (pedalaman Aceh), dengan jumlah total 14 kabupaten dan responden sebanyak 1.972 orang dewasa.

Hasil survei menemukan kondisi pemukim di pesisir timur dan barat daya "menderita kekerasan dan peristiwa traumatik yang dahsyat pada tingkat yang sebanding dengan atau bahkan lebih besar dari yang dialami di pesisir Utara-yang menempati peringkat satu tingkat tertinggi untuk situasi pascakonflik di seluruh dunia." Mereka menderita kesehatan mental berupa gejala depresi, kecemasan, dan PTSD (post traumatic stress disorder) tingkat tinggi. Karena itu, salah satu rekomendasinya adalah meminta perhatian masyarakat internasional untuk segera memberi pelayanan kesehatan mental kepada "komunitas-komunitas yang paling terpengaruh oleh konflik."

Namun, proyeksi demikian itu tidak terjadi. Secara fisik, orang Aceh memiliki daya tahan yang tinggi, meski bencana itu datang ketika sebagian orang Aceh dalam kondisi kejiwaan yang sakit.

Daya tahan yang tinggi itu barangkali terwujud karena orang Aceh-jika kita jajarkan foto-foto Hasan Tiro, Zaini Abdullah, Husaini, dan Malik Mahmud-merupakan manusia hasil hibridisasi dari berbagai etnis dan ras. Hal ini diteguhkan oleh keberagaman sajian kuliner Aceh yang membawa nikmat bagi pendatang yang tumpah ruah di masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh.

Dunia pun kagum akan daya tahan manusia di punggung dunia ini. Apalagi mereka sangat cepat mengalami recovery. Mereka betul-betul diberi kelebihan di muka bumi ini oleh Yang Maha Kuasa.

Dunia pun bersimpati kepada rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Indonesia tak perlu berkorban banyak soal uang, karena mendapatkan moratorium utang. Apalagi, pekerjaan itu pun dianggap sukses. Ditambah dengan kesuksesan pencapaian perdamaian, Indonesia memperoleh dua modal politik yang sangat penting untuk turut membangun bangsa-bangsa secara beradab, yakni Indonesia menjadi negara yang dapat diandalkan dunia sebagai juru damai; dan Indonesia juga sebagai negara di mana terkumpul sumber daya manusia andal dalam mengatasi bencana terbesar abad ke-21 ini.

Ketika rehabilitasi dan rekonstruksi bencana tsunami berakhir, Aceh pun mendapatkan pemerintahan sendiri yang diproses secara demokratis. Orang Aceh memerintah orang Aceh. Para anggota GAM memegang kendali kekuasaan politik (eksekutif dan legislatif) setelah bermetamorfosis sebagai sebuah partai politik (lokal). Orang Aceh semakin ditantang, secara religius, apakah mereka mampu mengubah nasibnya sendiri, baik saat pascaperang maupun pascabencana? Apakah pemerintah Aceh, yang ditopang oleh individu-individu yang dulu berjuang untuk pembebasan Aceh, mampu merekonstruksi kehidupan di Aceh sehingga orang Aceh dapat kembali untuk berada di pungggung dunia?

Namun, seorang rekan pengelola warung kopi di ujung salah satu jembatan di Banda Aceh, yang meneruskan warisan orang tuanya, mengatakan, "Sekarang para tamunya relatif menurun. Mereka harus berpikir dua kali untuk mengambil potongan kue untuk kedua kalinya." Banyak warung nasi, kedai kopi dan pedagang makanan di sepanjang jalan besar tutup. Uang tak masuk ke kantong rakyat kecil, baik di desa maupun kota. Agaknya, hal ini mencerminkan kondisi ekonomi orang Aceh pasca-konflik tsunami yang memburuk.

Bagaimanakah orang Aceh selepas tsunami dan konflik? Kian terjauhkan dari ekonomi uang, kondisi mental yang belum diperbaiki, hidup dalam kondisi fragmentasi sosial dan diperintah oleh elite Aceh yang kondisinya, justru sebaliknya: orang kaya baru memonopoli kekuasaan politik dengan kecenderungan menggunakan kekerasan, dan tidak memiliki orientasi untuk peduli kepada basis sosial, yang pernah menjadi benteng sosial semasa mereka bergerilya.*


Berita terkait

Ustad Abdul Somad Isi Acara Peringatan 14 Tahun Tsunami Aceh

25 Desember 2018

Ustad Abdul Somad Isi Acara Peringatan 14 Tahun Tsunami Aceh

Peringatan 14 tahun tsunami Aceh dipusatkan di Peukan Bada, Aceh Besar.

Baca Selengkapnya

Ditolak di Hong Kong, Ustad Somad Zikir 13 Tahun Tsunami di Aceh

26 Desember 2017

Ditolak di Hong Kong, Ustad Somad Zikir 13 Tahun Tsunami di Aceh

Setelah ramai diberitakan ditolak masuk Hong Kong, penceramah Ustad Somad datang ke Banda Aceh untuk zikir peringatan 13 tahun tsunami.

Baca Selengkapnya

Peringati 13 Tahun Tsunami Aceh, Warga Padati Kuburan Massal

26 Desember 2017

Peringati 13 Tahun Tsunami Aceh, Warga Padati Kuburan Massal

Peristiwa tsunami 13 lalu adalah cobaan bagi masyarakat Aceh, khususnya Banda Aceh.

Baca Selengkapnya

Tema Peringatan 13 Tahun Tsunami Aceh: Melawan Lupa Siaga Bencana

26 Desember 2017

Tema Peringatan 13 Tahun Tsunami Aceh: Melawan Lupa Siaga Bencana

Pemilihan Kecamatan Leupung, Aceh Besar sebagai lokasi utama penyelenggaraan peringatan tsunami didasarkan kepada kejadian masa lalu.

Baca Selengkapnya

13 Tahun Tsunami, Pemerintah Aceh Gelar Zikir Internasional

25 Desember 2017

13 Tahun Tsunami, Pemerintah Aceh Gelar Zikir Internasional

Pemerintah Aceh menggelar zikir internasional dengan menghadirkan ulama dari lima negara dalam peringatan 13 tahun tsunami.

Baca Selengkapnya

Ini Jadwal Timnas Indonesia di Turnamen Aceh World Solidarity

23 November 2017

Ini Jadwal Timnas Indonesia di Turnamen Aceh World Solidarity

Timnas Indonesia akan tampil dalam kejuaraan sepak bola international yang berlebel Aceh World Solidarity di Aceh.

Baca Selengkapnya

Timnas Indonesia Hadapi 3 Negara di Aceh World Solidarity Cup

12 November 2017

Timnas Indonesia Hadapi 3 Negara di Aceh World Solidarity Cup

Pemerintah Aceh menggelar turnamen sepak bola Aceh World Solidarity Cup yang diikuti Timnas Indonesia dan 3 negara lain.

Baca Selengkapnya

Jangan Panik, Sirene Tsunami Berbunyi Besok  

25 April 2017

Jangan Panik, Sirene Tsunami Berbunyi Besok  

Sirene tsunami akan dibunyikan pada Rabu, 26 April 2017, untuk uji simulasi dalam memperingati Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional.

Baca Selengkapnya

Ekonomi Aceh Anjlok, Pengamat: Strategi Pemerintah Keliru

1 Maret 2017

Ekonomi Aceh Anjlok, Pengamat: Strategi Pemerintah Keliru

Pengamat Ekonomi dari Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Rustam Effendi, menduga Pemerintah Provinsi Aceh salah mengambil kebijakan.

Baca Selengkapnya

12 Tahun Tsunami, Plt Gubernur: Mari Belajar Mitigasi  

26 Desember 2016

12 Tahun Tsunami, Plt Gubernur: Mari Belajar Mitigasi  

Pengetahuan bidang kebencanaan harus ditingkatkan agar upaya mitigasi bencana dapat dilakukan secara cepat, efektif, dan masif.

Baca Selengkapnya