Habibie

Penulis

Senin, 25 Oktober 1999 00:00 WIB

Habibie tetap di sana. Mukanya tetap meriah dan matanya bundar berpendar, senyumnya lebar. Ia duduk di samping presiden yang baru. Wajah itu wajah orang yang tak kehilangan apa-apa. Terlalu sulit untuk menduga apa yang ada di lubuk hati orang, tapi sikap ceria presiden yang dikalahkan itu_di antara kursi-kursi di Senayan itu—merupakan cerita baru tentang politik Indonesia.

Saya ingat, ia pernah berkata (waktu saya berjumpa singkat dengan dia, pertama dan terakhir kali sebagai kepala negara) bahwa pendahulunya_ia tak menyebut nama Soeharto—tak pernah mempersiapkannya untuk jadi pemimpin Republik. Bahkan juga ketika teknokrat itu masih jadi wakil presiden. Soeharto memang tak ingin dia, atau siapa pun, menggantikannya pada tahun menjelang 1998 itu. Tetapi insiden sejarah menyebabkan Habibie naik ke kokpit. Ia jadi kapten. Ketika ia turun, ketika ia menerima kekalahan dengan muka tetap meriah dan mata berpendar dan senyum lebar, ia telah membuktikan: ia tak kalah dari Soeharto. Sebuah proses yang sulit telah mempersiapkannya untuk jadi sebuah bagian penting politik baru di Indonesia—politik dengan sepercik "peradaban".

"Peradaban" di sini berarti sederhana, dekat dengan akar katanya, "adab". Dalam hal yang menyangkut hidup-mati manusia, tak ada ukuran tentang menang dan kalah, kecuali pengertian "adab" itu. Ada sebuah peristiwa yang lebih dramatis. Pada tahun 1962 dunia hampir hancur oleh perang termonuklir. Amerika, di bawah Presiden Kennedy, mengancam Uni Soviet agar membongkar-copot semua peluru kendali nuklir yang dipasang Kremlin di Kuba. Pada detik-detik itu maut telah mengaum. Jika Soviet menampik, Amerika pasti akan menggempur lokasi itu. Kremlin tak akan tinggal diam. Eskalasi akan terjadi. Bom nuklir akan berjatuhan dan bumi meledak.

Tapi manusia harus bersyukur karena seorang komunis, pemimpin Soviet waktu itu, Nikita Khrushchev, bersedia kehilangan muka. Peluru kendali itu diangkat dari Kuba. Kalahkah Kremlin? Khrushchev memberi jawaban yang selayaknya dikenang sebagai salah satu mutiara pada milenium ini: "Orang bicara tentang siapa kalah dan siapa yang menang. Akal sehat yang menang. Umat manusia yang menang."

Kalah, menang—akhirnya tak selamanya ditentukan oleh siapa yang kehilangan. Di sinilah Habibie, justru dalam kekalahannya, meneguhkan respublica, "kemaslahatan publik". Tak lama Habibie menjadi presiden. Hanya 512 hari. Tetapi, selama 512 hari itu politik di Indonesia mengalami transfromasi dari arche-politik ke para-politik: perubahan dari suatu era ketika hidup bermasyarakat dianggap tak punya konflik dan tak perlu kompetisi, memasuki suatu era ketika sengketa dan persaingan dilangsungkan dalam lembaga yang beraturan, bukan di barikade.

Arche-politik di Indonesia adalah sebuah dalih. Di sini berlaku mantra "kesatuan, persatuan, keselarasan" dan sejenisnya. Semuanya dibungkus seakan-akan ilmu sakti dari Jawa. Sebuah sandiwara yang pintar. Sebab, di balik panggung itu, yang berlangsung adalah, untuk meminjam istilah Slavoj Zizek, "ultra-politik". Dengan kata lain: politik yang dianggap sebagai perang. Militerisasi politik berlangsung. Di seberang sana bukan Lawan, melainkan Musuh. Bukit "sana" harus direbut. Wilayah "mereka" harus diduduki. "Rembuk" hanya berlangsung di bawah kemungkinan "gebuk".

Dalam militerisasi politik, para pelaku melihat pertaruhan dalam konflik begitu besar, begitu kritis. Dalam ultra-politik itu, kalah berarti takluk, sementara dalam para-politik" kalah hanya berarti menunda kemenangan—seperti dalam pertandingan bola. Ketika politik diperlakukan sebagai perang, rasa cemas dan rasa takut pun meluas. Intel dikirim ke mana-mana. Bisik-bisik tentang ada Hantu A di belakang X dan Gerombolan C mendalangi Z pun bercemuk. Juga dalam ultra-politik, kekuasaan jadi angker, bukan karena selera "feodal", tapi karena kekerasan tidak hanya tersirat di dalamnya, melainkan tersurat. Seperti di markas tentara.

Soeharto, komandan tertinggi Indonesia-sebagai-markas-tentara, berhenti pada bulan Mei 1998. Habibie jadi presiden. Cukup cepat, meskipun tak cukup gampang, mengubah politik di Indonesia dari militerisasi itu. Para mahasiswa dan semua gerakan prodemokrasi telah menetak satu simpul yang mengukuhkan ultra-politik itu: rasa takut. Khususnya rasa takut pada tentara. Habibie tak memulai pembebasan dari rasa takut itu, tapi ia memberikan sumbangannya sendiri.

Ia jadi presiden dan para-politik pun dimulai. Pemilihan yang bebas untuk membentuk parlemen yang bebas berlangsung. Kekuasaan presiden tak lagi angker. "Saya ingin membuat presiden sebagai seorang tetangga," katanya. Tapi sumbangannya yang terbesar ialah ketika orang ramai merayakan kekalahannya, ia hadir di Senayan, duduk di antara orang-orang yang mengalahkannya. Mukanya tetap meriah dan senyumnya lebar. Ah, akal sehat menang. Demokrasi menang. Dan dalam arti tertentu, Habibie pun menang—dalam "perang yang lebih besar" di dalam dirinya sendiri. Dia eksit dengan bagus. Kita perlu bertepuk tangan.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Babak Baru Konflik KPK

3 menit lalu

Babak Baru Konflik KPK

Dewan Pengawas KPK menduga Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron melanggar etik karena membantu mutasi kerabatnya di Kementerian Pertanian.

Baca Selengkapnya

Pelatih Legendaris Argentina Cesar Luis Menotti Berpulang, Lionel Messi Ikut Ucapkan Belasungkawa

6 menit lalu

Pelatih Legendaris Argentina Cesar Luis Menotti Berpulang, Lionel Messi Ikut Ucapkan Belasungkawa

Pelatih legendaris Cesar Luis Menotti yang membawa Argentina juara Piala Dunia 1978 meninggal dunia. Lionel Messi ucapkan duka cita.

Baca Selengkapnya

Bagi-bagi Jatah Menteri di Kabinet Prabowo

11 menit lalu

Bagi-bagi Jatah Menteri di Kabinet Prabowo

Ia punya waktu hingga Oktober untuk menimbang dan menyusun kabinet Prabowo dalam pemerintahannya.

Baca Selengkapnya

Hakim MK Saldi Isra Cecar Bawaslu Soal Tanda Tangan Pemilih di Bangkalan yang Mirip

16 menit lalu

Hakim MK Saldi Isra Cecar Bawaslu Soal Tanda Tangan Pemilih di Bangkalan yang Mirip

Hakim MK Saldi Isra menyoroti tanda tangan pemilih pada daftar hadir TPS di Desa Durin Timur, Kecamatan Konang, Bangkalan yang memiliki kemiripan bentuk.

Baca Selengkapnya

5 Negara Pendiri ASEAN dan Tokohnya, Indonesia Termasuk

16 menit lalu

5 Negara Pendiri ASEAN dan Tokohnya, Indonesia Termasuk

ASEAN didirikan oleh lima negara di kawasan Asia Tenggara pada 1967. Ini lima negara pendiri ASEAN serta tokohnya yang perlu Anda ketahui.

Baca Selengkapnya

Fakta Miris Indonesia Kekurangan Dokter Spesialis, Menkes: Jadi Masalah Hampir 80 tahun

17 menit lalu

Fakta Miris Indonesia Kekurangan Dokter Spesialis, Menkes: Jadi Masalah Hampir 80 tahun

Jokowi menyebut pemerintah baru mampu mencetak 2.700 dokter spesialis per tahun. Sementara pemerintah membutuhkan 29 ribu dokter spesialis.

Baca Selengkapnya

Ketua Umum PSSI Erick Thohir: Generasi Emas Sepak Bola Indonesia Telah Lahir

17 menit lalu

Ketua Umum PSSI Erick Thohir: Generasi Emas Sepak Bola Indonesia Telah Lahir

Ketua Umum PSSI Erick Thohir mengatakan generasi emas sepak bola Indonesia telah lahir tercermin dari prestasi timnas Indonesia U-23.

Baca Selengkapnya

Peneliti BRIN Identifikasi Indikator Potensi Gempa Bumi di Sumatera Paling Selatan

21 menit lalu

Peneliti BRIN Identifikasi Indikator Potensi Gempa Bumi di Sumatera Paling Selatan

Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN melakukan penelitian untuk mengidentifikasi indikator potensi gempa bumi di Sumatera bagian paling selatan.

Baca Selengkapnya

Benjamin Netanyahu: Kami Akan Lanjutkan Pertempuran

21 menit lalu

Benjamin Netanyahu: Kami Akan Lanjutkan Pertempuran

Bagi Benjamin Netanyahu, memenuhi tuntutan Hamas sama dengan menyerah. Pihaknya memilih untuk melanjutkan pertempuran

Baca Selengkapnya

Wamenkeu Suahasil Nazara Soroti 3 Faktor Penting dalam Ekonomi RI, Suku Bunga hingga Kurs Rupiah

22 menit lalu

Wamenkeu Suahasil Nazara Soroti 3 Faktor Penting dalam Ekonomi RI, Suku Bunga hingga Kurs Rupiah

Wamenkeu Suahasil Nazara menyoroti tiga faktor yang menjadi perhatian dalam perekonomian Indonesia saat ini. Mulai dari suku bunga yang tinggi, harga komoditas, hingga nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Baca Selengkapnya