Intoleransi pada Era Jokowi

Penulis

Jumat, 2 Januari 2015 01:44 WIB

Alamsyah M. Dja'far, Peneliti the Wahid Institute

Dalam dua bulan masa kepemimpinannya, mungkin terlalu cepat meminta Presiden Jokowi membuktikan janji kampanyenya untuk mengatasi kasus-kasus intoleransi. Selain kasus-kasus yang tak selesai pada masa pemerintahan sebelumnya, Jokowi menghadapi kasus-kasus baru pada awal era kekuasaannya. Ini pekerjaan rumah yang pelik sekaligus membutuhkan keberanian.

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan the Wahid Institute Tahun 2014, yang dirilis baru-baru ini, mencatat dalam dua bulan (November-Desember) masa pemerintahan Jokowi, terdapat 14 peristiwa pelanggaran yang melibatkan aktor negara, dan 10 peristiwa melibatkan aktor non-negara. Contohnya, intimidasi massa intoleran dan larangan Satpol PP terhadap jemaat GKI Yasmin Bogor untuk beribadah. Di Ibu Kota, pelantikan Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama ditolak dan menjadi korban penyebaran kebencian (hate speech).

Intoleransi diartikan sebagai setiap perbedaan, pengecualian, pembatasan, atau preferensi berdasarkan agama atau kepercayaan dan yang mempunyai tujuan atau membawa akibat hilang atau rusaknya pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak asasi dan kebebasan atas dasar yang setara. Bentuk tindakan intoleransi beraneka ragam, dari kekerasan dalam bahasa dan perkataan seperti bullying, penyesatan, diskriminasi lewat regulasi, pengusiran (expulsion), hingga destruksi.

Intoleransi jelas melanggar kebebasan sebagai hak dasar. Dalam soal hak dasar ini, negara punya tiga kewajiban utama yang mesti ditunaikan agar kebebasan tersebut tetap terjaga: menghormati (to respect), memenuhi (to fulfill), dan melindungi (to protect). Inilah tiga alat ukur melihat pro-tidaknya sebuah pemerintah terhadap prinsip kebebasan beragama.

Jika membaca "Visi Misi, dan Program Aksi Jokowi-Jusuf Kalla 2014", sebagian besar publik menaruh harapan besar bahwa kepemimpinan baru ini bakal melunasi-meminjam judul laporan the Wahid Institute-"utang" warisan pemerintah sebelumnya dalam kasus-kasus intoleransi. Hanya, harapan ini tentu masih harus dibuktikan. Setidaknya, kita mencatat, sejauh ini belum kita dengar Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan langsung, setidaknya untuk nasib pengungsi Ahmadiyah, pengungsi Syiah Sampang, atau jemaat gereja-geraja yang disegel pemerintah.

Ada banyak langkah ideal dalam visi-misi yang populer disebut Nawacita ini. Misalnya menempatkan intoleransi sebagai masalah pokok bangsa ketiga setelah merosotnya kewibawaan negara dan melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional. Intoleransi ditulis dalam alinea keenam dari 41 halaman visi-misi ini. Penempatan redaksional semacam itu jelas hendak menunjukkan bobot pesan. "Jati diri bangsa terkoyak oleh merebaknya konflik sektarian dan berbagai bentuk intoleransi. Negara abai dalam menghormati dan mengelola keragaman dan perbedaan yang menjadi karakter Indonesia sebagai bangsa yang majemuk." Begitu bunyi salah satu kutipan dalam alenia keenam ini.

Untuk mengatasi kasus-kasus intoleransi, ada sejumlah langkah yang menjadi janji Jokowi-JK. Salah satunya adalah "menghapus regulasi yang berpotensi melanggar HAM kelompok rentan, termasuk perempuan, anak, masyarakat adat, dan penyandang disabilitas." Meski tak menyatakan langsung kelompok minoritas, istilah ini jelas merujuk pula pada kelompok minoritas agama/keyakinan seperti agama-agama di luar yang enam dan sekte minoritas. Minoritas ini dipahami bukan semata-mata merujuk jumlah-seperti banyak disalahpahami. Minoritas juga sangat berkaitan dengan "relasi kekuasaan" yang dimiliki. Bisa jadi jumlahnya kecil, namun punya kekuasaan besar atau sebaliknya. Jadi, tidak mengherankan muslim minoritas-yang di level nasional merupakan mayoritas-di sejumlah daerah justru menjadi korban intoleransi. Misalnya kasus siswa muslimah salah satu sekolah di Bali yang dilarang mengenakan jilbab dan panitia masjid di Batuplat NTT yang sulit mendapat izin. Jadi, intoleransi bukan masalah agama tertentu, tapi semua agama.

Di tingkat nasional masih ada peraturan perundang-undangan yang diskriminatif. Korban pada umumnya kelompok minoritas. UU PNPS 1965, UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan masih menggunakan istilah "agama yang belum diakui". Peraturan Bersama No 9 Tahun 2006 yang mengatur Pendirian Rumah Ibadah juga menjadi contohnya.

Sementara itu, di tingkat lokal, ratusan perda diskriminatif dan peraturan kepala daerah yang diskriminatif hingga saat ini juga belum dicabut atau direvisi. Kajian Komnas Perempuan, misalnya, mencatat 342 kebijakan diskriminatif lahir sepanjang 2013. Hasil kajian Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat terdapat 15 peraturan kepala daerah yang melarang aktivitas jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI).

Meski akan mendapat tentangan, langkah Jokowi-JK yang jika sesegera mungkin "menghapus regulasi yang berpotensi melanggar HAM kelompok rentan" itu pasti akan menjadi langkah terobosan di tengah kebekuan yang ada. Hal ini akan membedakannya dengan pemerintah sebelumnya. *


Berita terkait

Taliban Segera Umumkan Pemerintahan Baru di Afghanistan, Siapa Saja?

2 September 2021

Taliban Segera Umumkan Pemerintahan Baru di Afghanistan, Siapa Saja?

Taliban sedang bersiap mengumumkan pemerintahan baru Afghanistan. Siapa saja yang akan menjadi pejabat?

Baca Selengkapnya

Wagub Uu Ajak ICMI Bangun Jabar

30 November 2019

Wagub Uu Ajak ICMI Bangun Jabar

Prioritas pembangunan Pemprov Jabar saat ini adalah mengurangi kesenjangan di masyarakat.

Baca Selengkapnya

Ingin Selamat dari Perang Dunia III? Pindahlah ke Negara Ini

11 Oktober 2017

Ingin Selamat dari Perang Dunia III? Pindahlah ke Negara Ini

Konflik Amerika Serikat dan Korea Utara dalam beberapa bulan terakhir ini memicu kekhawatiran terjadinya Perang Dunia III.

Baca Selengkapnya

Din Syamsuddin Sebut Konsep Khilafah Digaungkan HTI Salah Kaprah

23 Agustus 2017

Din Syamsuddin Sebut Konsep Khilafah Digaungkan HTI Salah Kaprah

Sebab, kata Din Syamsuddin, Indonesia telah menjalankan konsep khilafah dengan mengamalkan nilai-nilai keislaman.

Baca Selengkapnya

Menteri Penerima Opini Disclaimer dari BPK Bakal Kena Sanksi

24 Mei 2017

Menteri Penerima Opini Disclaimer dari BPK Bakal Kena Sanksi

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, pengelolaan anggaran kementerian atau lembaga pemerintahan dari BPK harus baik di tahun depan.

Baca Selengkapnya

2,5 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK, Publik Merasa Puas 64,4 Persen

22 Maret 2017

2,5 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK, Publik Merasa Puas 64,4 Persen

Lembaga Indo Barometer merilis hasil survei menyangkut evaluasi publik terhadap 2,5 tahun pemerintahan Jokowi-JK, tingkat kepuasan publik 64,4 persen.

Baca Selengkapnya

Agus Pambagio: Komunikasi Pemerintah ke Publik Masih Buruk  

2 Februari 2017

Agus Pambagio: Komunikasi Pemerintah ke Publik Masih Buruk  

Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, mengungkapkan masih belum berjalannya komunikasi publik yang baik dari pemerintah Presiden Joko Widodo.

Baca Selengkapnya

Jokowi dan Pimpinan MPR Bahas UU MD3 Hingga Haluan Negara

24 Januari 2017

Jokowi dan Pimpinan MPR Bahas UU MD3 Hingga Haluan Negara

Jokowi dan Pimpinan MPR menggelar rapat konsultasi yang membahas UU MD3, Haluan Negara, 2 peringatan hari besar, dan Lembaga Pemantapan Pancasila.

Baca Selengkapnya

Rayakan Dua Tahun Jokowi-Kalla, Fadli Zon Bikin Puisi

22 Oktober 2016

Rayakan Dua Tahun Jokowi-Kalla, Fadli Zon Bikin Puisi

Fadli Zon mengatakan ini puisi dua tahun Jokowi-JK ini spontan dibuat di ponselnya.

Baca Selengkapnya

Wiranto Panggil Sejumlah Menteri ke Kantornya, untuk Apa?  

13 September 2016

Wiranto Panggil Sejumlah Menteri ke Kantornya, untuk Apa?  

Yang hadir dalam rapat koordinasi itu adalah anggota Tim Crisis Center pemerintah RI. Anggota tim yang belum tampak adalah Kepala BIN Budi Gunawan.

Baca Selengkapnya