Sanksi ringan yang diberikan Kepolisian Daerah Metro Jaya kepada 34 anggotanya menjadi preseden buruk dalam peperangan melawan kejahatan narkotik. Keputusan itu tidak hanya ironis, tapi juga berpotensi melanggar undang-undang.
Ke-34 polisi dari beberapa kepolisian sektor di Jakarta Barat itu diketahui menjadi pengguna narkotik setelah digelar tes urine massal. Program tersebut merupakan tindak lanjut setelah para pengedar narkotik yang ditangkap di Kampung Ambon-kini Kampung Permata-"bernyanyi" dan menyatakan ada beberapa polisi menjadi konsumen mereka. Dari tes urine, para polisi tersebut diketahui mengkonsumsi pil Happy Five sampai sabu.
Keputusan kepolisian itu memberi kesan mereka sedang berupaya menutup-nutupi kasus ini. Publik patut bertanya, mengapa kepolisian mengklaim anggotanya menjadi korban penyalahgunaan narkoba meski penyelidikan belum selesai. Karena diposisikan sebagai korban itulah, mereka dihukum super-ringan. Mereka hanya diwajibkan mengikuti program rehabilitasi selama 30 hari. Dalam kurun itu, saban hari mereka hanya melakukan olahraga 4 sampai 5 jam dan mendengarkan wejangan. Menunya: berjemur di bawah sinar matahari, lari 7 kilometer per hari, serta latihan kecakapan memainkan borgol dan senjata api. Selepas kerja, mereka bebas seperti orang tak berkasus.
Memang, setiap korban penyalahgunaan narkotik harus direhabilitasi. Namun baru tahun depan Badan Narkotika Nasional memberlakukan reorientasi hukuman bagi pecandu narkotik yang membuat setiap pecandu akan masuk program rehabilitasi. Adapun saat ini, menurut Undang-Undang Narkotika, program rehabilitasi cuma bisa dilakukan atas perintah hakim. Itu pun setelah dibuktikan bahwa yang bersangkutan hanya merupakan korban penyalahgunaan narkotik. Bila menjalani program rehabilitasi ini, pecandu tak harus dihukum. Mereka hanya kudu melapor ke Institusi Penerima Wajib Lapor.
Semestinya kepolisian tak perlu menutup-nutupi kasus ini ataupun melindungi anggotanya dengan dalil yang lemah. Aturan soal korban penyalahgunaan narkotik itu sudah sangat jelas dan gamblang. Korban penyalahgunaan narkotik, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011, adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotik karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan zat terlarang itu. Sukar diterima akal sehat para penegak hukum tersebut mengkonsumsi narkoba karena alasan-alasan di atas.
Soalnya, sejumlah polisi itu sebelumnya diketahui turut serta dalam pembersihan narkotik dari Kampung Ambon, yang dikenal sebagai pusat sabu terbesar di Jakarta. Para polisi pemberantas narkotik itu lalu bermetamorfosis menjadi konsumen para bandar. Ketergantungan polisi itu pada narkotik bisa saja dimanfaatkan oleh para bandar untuk mendapatkan perlindungan sehingga jejaring mafia mereka makin berakar kuat.
Tanpa ketegasan untuk membersihkan institusi kepolisian dari narkotik, jangan harap bisnis terlarang ini bisa diberangus. Tanpa sanksi keras bagi 34 polisi itu, kepercayaan publik terhadap lembaga ini akan makin merosot. Butuh ketegasan sikap untuk memulihkan citra kepolisian.