DEMOKRASI bisa dimulai dengan sejumlah balon. Bila Revolusi Prancis adalah satu perubahan yang radikal, ada yang lebih sederhana: di musim gugur lima tahun sebelum Juli 1789, ada sebuah cerita tentang balon dan manusia.
Memang diketahui bahwa pada 14 Juli 1789 rakyat Prancis menghancurkan Bui Bastille, dan sebulan kemudian lahir "Deklarasi Hak Manusia dan Warga Negara". Namun, Bui Bastille adalah sekadar lambang penindasan atas hak-hak, dan pengertian "manusia" dan "warga negara"-yang empunya hak-hak itu-tak datang begitu saja, dari langit atau dari tanah. Lewat proses yang panjang, kedua pengertian itu menemukan artinya dalam wacana dan pergulatan politik.
Kata "manusia", misalnya. Pengertian "manusia" dalam sejarah pemikiran Prancis-sebagai subyek yang punya otonomi-umumnya diperkirakan baru berawal dari abad ke-17. Pada suatu hari di abad itu, setelah meragukan segala-galanya tentang Tuhan dan dunia, setelah berbulan-bulan risau oleh kehidupan yang dirundung perang antarkelompok Katolik dan Protestan, sehingga mana yang benar dan tak benar menjadi kabur, Rene Descartes pun menemukan bahwa satu-satunya kepastian tentang hal ihwal adalah cogito: di dunia ini yang pasti ada adalah aku-sebagai-subyek-yang-merenungkan. "Aku berpikir, maka aku ada," kata Descartes. Tak dipersoalkan adakah "aku" budak atau majikan, dari negeri dan kelas mana pula "aku" datang. Sejak itu manusia pun dibicarakan sebagai sesuatu yang otonom. Juga universal. Manusia, dalam arti itu, adalah sebuah penemuan baru.
Seperti halnya balon. Pada 21 November 1783 buat pertama kalinya sebuah balon dengan penumpang manusia diterbangkan di Prancis. Pelopornya adalah Piltre de Rozier. Ia dokter yang baru berumur 26 tahun. Tapi ia bukan hanya ilmiawan. Ia juga seorang yang memperkenalkan ilmu ke publik yang luas. Ia mendirikan sebuah museum di Rue Sainte-Avoie pada 1781, yang memamerkan perlengkapan untuk eksperimen dan buku ilmiah. Ada 700 orang mendaftar jadi anggota tetap museum itu, dan sekali-sekali Piltre de Rozier membacakan dari bukunya yang berjudul Listrik dan Cinta. Tak cuma itu. Piltre seorang pemberani. Ia beberapa kali mengudara dengan balon, dengan segala risikonya. Ribuan orang menyaksikan peristiwa baru itu. Pada suatu hari balonnya terbakar di dekat Lyon, dan ketika Piltre dan tujuh orang lain di dalam pesawat itu ternyata selamat, khalayak ramai pun menyambutnya, menyungginya, dan menyanjungnya sebagai pahlawan yang menang. Juga ketika ia tewas. Juni 1785, ketika ia mengudara dari pantai Boulogne untuk menyeberangi Selat Inggris, balonnya meledak. Api yang ungu menelannya. Tubuh Piltre terbanting, dari ketinggian ratusan meter, ke batu karang di luar bandar. Badan itu hancur, tungkai kakinya copot, dan sang ilmuwan berenang dalam darahnya sendiri. Duka cita menyelubungi Prancis. Upacara penguburan besar dilakukan di Boulgane dan di Kota Metz, kota kelahiran Piltre de Rozier.
Balon, dalam hal ini, bukan saja sebuah penemuan teknologi dan bukti pandai dan unggulnya manusia. Ia adalah tontonan orang ramai; ia sebuah pertunjukan yang menakjubkan. Seperti digambarkan dengan bagus oleh Simon Schama dalam bukunya tentang Revolusi Prancis, Citizens, khalayak yang menyaksikan balon itu berbeda sikapnya dengan khalayak yang hadir dalam prosesi umum pada zaman itu-yang biasanya diatur menurut jenjang sosial. Penonton balon yang terbang itu lebih spontan: mereka menyaksikan suatu peristiwa yang membebaskan-sebuah janji masa depan yang merdeka dari batas di bumi. Mereka langsung kenal apa yang luhur: bukan derajat sosial, tapi tindakan keberanian dalam kebebasan itu.
Langsung atau tak langsung, pengertian "warga", atau citoyen, berkembang dari setiakawan semacam itu. Rakyat bukanlah "abdi" Raja. Dalam menyaksikan keberanian Piltre, ketiga kategori derajat sosial yang ditentukan kerajaan pun luruh: kaum bangsawan, kaum padri, dan kalangan "ketiga" berdiri sama tinggi. Berangsur-angsur, sang raja bukan lagi pusat. Pusat itu Prancis, Sang Tanah Air. Demokratisasi dan perasaan nasional sering datang bersamaan. Benar, "nasionalisme adalah pembaptisan politik kelas bawah".
Yang terkadang menyedihkan ialah bila setiakawan nasional itu menenggelamkan suara yang tak sesuai dengan kesetiakawanan. Yang terkadang merisaukan ialah bila politik terus-menerus jadi kelanjutan dari pertunjukan yang disambut orang ramai, seperti waktu mereka menonton balon. Di pawai besar Partai Nazi di Nuremberg: yang kita saksikan adalah pesona kepada yang utuh, kepada yang kolektif dan yang jagoan. Demokrasi? Tidak. Demokrasi hanya bisa berarti jika "manusia" tak dilihat sebagai yang pasti dan yang serba ulung, tetapi sebagai kemungkinan menjadi seorang korban.
Goenawan Mohamad