KEKUASAAN tak hanya membuat orang takut. Kekuasaan juga membuat orang lalai. Kita mungkin bisa bicara tentang teror yang sudah jadi rutin dan berubah jadi upacara. Mungkin dengan itulah kita bisa menjawab mengapa "Orde Baru" bisa bertahan 32 tahun. Siapa yang mengatakan bahwa kekuasaan Soeharto hanya bertopang pada 200 ribu bilah bayonet pastilah melebih-lebihkan. Sama halnya jika kita mengatakan bahwa ia lama bertakhta karena Soeharto punya senyum dan agenda pembangunan. Memang, kita bisa merasakan bahwa di ujung sana dari senyum dan jembatan-jembatan yang berdiri itu ada batalyon-batalyon yang setengah bersembunyi, ada sebuah rezim yang lahir dari pembunuhan dan berlanjut dengan pembunuhan, ada para pelawan yang diculik dan pembangkang yang dihilangkan, ada penjara dan ada penyiksaan. Tetapi di sisi lain orang juga tahu: kekuasaan ini tak mutlak mencengkeram. Ada negosiasi dengan yang dikuasai. Bahkan ada kesepakatan. Tak hanya bayonet yang terhunus. "Kesepakatan" itu kini mungkin tampak sebagai sebuah konsensus palsu. Dalam keadaan tertekan, rakyat menyambung hidup dengan berpura-pura. Tetapi benarkah? Sejauh mana kita bisa menentukan yang "palsu" dan "tulen"? Tidakkah keduanya bertemu lantaran "Orde Baru" memang dianggap telah memberikan sesuatu yang menyenangkan—sehingga meskipun ada perlawanan di sana-sini, sebenarnya ia sebuah "orde", atau "tata", atau "tertib", yang umumnya bisa diterima? Soalnya kemudian: kenapa umumnya bisa diterima. Ada memang jembatan yang bagus dan batalyon yang ganas, tapi "Orde Baru" menambahkan satu elemen lain dalam mengukuhkan legitimasinya: ia membuat teror jadi upacara. Teror jadi upacara di tiap tanggal 17. Para pegawai dan anak-anak sekolah berbaris dalam baju seragam dan mengulang hafalan "Pancasila". Teror jadi upacara ketika filsafat yang bagus dijadikan doktrin yang cemas. Teror menjadi upacara tak hanya setiap bulan, tapi juga setiap lima tahun: dalam sebuah pemilihan umum yang hasilnya sudah disiapkan. Pemerintah menyebutnya "pesta demokrasi"—dan "pesta" di sini lebih mirip kenduri dan perhelatan ketimbang sebuah kegembiraan yang meriah lepas. Upacara, atau ritual, memang tak mencoba menampilkan sesuatu yang lepas, atau baru dan mengejutkan. Ritual mengandung disiplin dalam sifatnya yang ajek dan membosankan. Ritual juga mengandung ancaman—seperti ketika para pemeluk sebuah agama menjalankan ibadah dengan rasa takut bahwa Tuhan atau dewa akan murka. Dan teror jadi semakin persis upacara ketika proses itu berdandankan simbol kebudayaan tradisi. Tradisi adalah penerusan. Dengan cara itulah ditegaskan perlunya penghormatan pada "kesinambungan" dan "jati diri"—seakan-akan yang paling utama dalam kehidupan sosial adalah apa yang tak berubah. Seakan-akan perubahan adalah kekurangajaran, seolah-olah perubahan adalah awal bencana. John Pemberton mencoba menelaah fenomen "upacara" itu dengan perseptif dan menarik dalam bukunya yang terkenal itu, On the Subject of "Java". Orang bisa salah duga oleh judul dan bahan yang dipilih untuk telaah yang terbit di tahun 1994 ini: seakan-akan Pemberton telah menampilkan pemerintahan "Orde Baru" sebagai ekspresi kebudayaan Jawa. Tidak. Sebab justru persoalannya adalah apakah itu "Jawa". Maka Pemberton bukan hanya meletakkan tanda kutip dalam kata Java di bukunya. Ia juga melihat "Jawa" bukan sebagai sumber, melainkan sebagai apa yang disebutnya sebagai culture effect. Istilah ini sulit diterjemahkan. Dalam tafsir saya, istilah itu—ada gema dari Michel Foucault di sini—menyiratkan bahwa "Jawa" adalah sebuah hasil dari pengetahuan, yang punya kekuasaan, yang merasa pasti tentang asumsi-asumsinya sendiri dan bersungguh-sungguh bekerja untuk mencakup kembali cakrawala kekuasaannya, seraya mengungkung tak bergerak apa yang dianggap sepadan dan tak cocok. Jawa memang harus selalu dengan tanda kutip. Jawa yang sebenarnya tidak pernah ada. Yang ada paling-paling Sala yang berbeda dari Yogya, Yogya Kauman yang berbeda dengan Yogya Keraton, lain pula dari Banyumas, dan Banyumas Kulon yang lain dengan Tegal Wetan.... Tetapi betapa banyak salah paham terjadi, sebab manusia terjerat dalam bahasa dan bahasa memerlukan subyek untuk kalimat-kalimatnya. "Jawa" pun dibentuk untuk itu. Tiga dasawarsa yang lalu Benedict Anderson menulis sebuah karya yang pengaruhnya kemudian ternyata besar dalam pembicaraan tentang "Orde Baru". Jauh sebelum Soeharto muncul, Anderson membahas apa yang dianggapnya sebagai "ide kekuasaan Jawa". Kini para pakar dan mahasiswa pun ramai-ramai melihat pemerintahan Soeharto, yang gemar memakai blangkon itu, sebagai pencerminan "ide kekuasaan Jawa"—seakan-akan tak peduli apakah si kuasa adalah seorang akuwu di abad ke-10 yang mudah dibunuh dengan keris setengah jadi atau seorang jenderal abad ke-20 yang punya Korpri dan Kopassus. Kesalahan, seperti takhayul, memang tak mudah dikoreksi. Kini di Aceh dan di Irian orang menyatakan ingin bebas dari "kolonialisme Jawa". Dan para komentator kilat dari Barat pun (yang masih kaget oleh kata "pembersihan etnis" di Yugoslavia) tak punya kata lain lagi. September yang lalu Jim Hoagland, seorang kolumnis terkenal, menulis dalam
The Washington Post dan menyebut para pemimpin Indonesia yang ada di Jakarta (termasuk Habibie, tentu) sebagai
"Javanese politicians". Ah, Jawa, Jawa.
Goenawan Mohamad