Ketika berpuluh ribu orang tewas dan beratus ribu kehilangan, ketika gempa dan gelombang pasang menghancurkan mendadak kehidupan, kita pun bertanya: kenapa?
Ada berpuluh-puluh "kenapa", sebab kata itu mempunyai bermacam-macam endapan, berasal dari bermacam-macam zaman, dan tiap kali bergeser. Ketika yang terjadi adalah sebuah kecelakaan kapal terbang, di balik "kenapa" itu tersimpan ingatan tentang malapetaka yang mirip yang pernah dijelaskan dengan mengulas kesalahan teknis atau kekeliruan manusia di belakang mesin. Maka "kenapa" akan mengarah ke sebuah kotak hitam yang merekam keadaan terakhir dalam kokpit pilot. Para pakar akan menganalisisnya atau menghitung berat kapal, gerak sayap, kencangnya angin, dan hal-hal lain yang tak berkaitan dengan kegaiban.
Tapi ketika berpuluh ribu orang tewas, ketika gempa dan gelombang pasang menghancurkan dusun, pantai, dan kota, ada "kotak hitam" yang lebih hitam yang dicari. Sebab endapan di balik "kenapa" yang terucapkan saat itu terdiri dari lapisan-lapisan zaman dahulu, tatkala nenek moyang kita masih hidup dengan rasa ngeri, terkesima, dan bingung mendengar petir yang menyambar pohon tinggi, membakar hutan, dan membinasakan manusia. Syahdan, mereka lari bersembunyi ke gua-gua. Tapi mereka tetap gentar.
Mereka, yang hidup berabad-abad sebelum Benjamin Franklin menemukan penangkal petir di tahun 1752, tak tahu bagaimana menghindarkan sergapan dari langit itu. Lalu penjelasan pun mulai dicari, dan "kenapa" mulai dijawab: dengan mithologi. Suku Yeruba dari Afrika kemudian menyebut Shango dalam mithologi mereka sebagai dewa guntur, dan orang Yunani menyebut Zeus. Mungkin sebab itu Vico, pemikir Italia di abad ke-18 itu, menggambarkan sejarah peradaban bermula ketika jeri menjadi puisi, ketika ketakutan manusia purba akan alam yang ganas dan tak terduga melahirkan para penyair theologi pertama.
Mungkin theologi pertama itulah "penaklukan" alam yang paling awal, sebelum ilmu-ilmu alam dijadikan pegangan. Mungkin dewa-dewa itu sejenis teknologi penenang. Satu-satunya cara manusia di masa itu untuk memahami apa yang tersembunyi dan tak mampu diketahuinya, satu-satunya cara untuk divinari (dari mana kata divinity berasal), hanyalah dengan membayangkan sebuah kehidupan yang seperti mereka kenal: kehidupan mereka sendiri.
Diakui atau tidak, di balik kata "kenapa", setelah tsunami besar melabrak Aceh di akhir 2004, bersembunyi endapan "kenapa" yang purba, dan ketika seseorang mengatakan bahwa bencana alam itu hukuman Tuhan, ia sebenarnya mengulang tema "penyair theologi pertama". Tapi dengan sebuah perbedaan penting.
Agama-agama politheis tak punya persoalan yang pelik dengan menjawab "kenapa", sebab Zeus dan Shango tak sendirian di langit. Betapapun besar kuasa Zeus, ia menjadi nisbi dengan hadir dan berperannya dewa-dewa lain. Di Olympus, Dewa Guntur yang membuat jeri itu ada bersama Dewa Cinta, Dewa Anggur, Dewa Perdagangan, dan entah apa lagi, dan mereka tak selamanya tunduk kepadanya. Mithologi Yunani bahkan memungkinkan Promotheus, yang bukan dewa, memperdaya Zeus dan mencuri api dari Langit untuk diberikan kepada manusia
Juga dewa-dewa dalam wayang kulit tak jauh posisinya dari sana. Batara Guru ada di Kahyangan bersama Wishnu, Narada, Kamajaya, Bayu, Durga, dan lain-lain. Berdiri dengan anggun dan tampan di atas tubuh lembu Nandi, Batara yang paling terhormat itu diceluk sebagai "Adik" oleh Narada. Ia juga punya kemampuan untuk berahi dan tak peduli, salah dan kalah. Raksasa Niwatakawaca dapat menyerbu tempat dewa-dewa itu bertakhta, bahkan wayang memungkinkan sebuah komedi dalam lakon Taliputra, ketika Petruk, hamba yang buruk dan hina itu, mengambil alih kerajaan langit.
Politheisme itu tak memerlukan theodise. Ketika di awal abad ke-18 Leibniz memperkenalkan kata ini melalui bahasa Prancis (the odice e secara harfiah berarti "keadilan Tuhan"), saya kira karena ia harus menjelaskan satu Tuhan yang sempurna dalam segala haltapi telah menciptakan sebuah dunia yang malang dan berantakan dan hidup manusia tak putus-putusnya dirundung durjana dan kekejian. Begitu banyak "kenapa" yang harus dijawab. Begitu banyak kehendak Tuhan yang butuh dijelaskan dan perlu pembelaan.
Tapi di sini sebuah paradoks tak dapat dielakkan. Theodise pada dasarnya mirip dengan "teknologi penenteram" manusia purba: kita membayangkan sesuatu berdasarkan pengalaman diri sendiri. Maka Tuhan dalam pengertian Leibniz adalah Tuhan yang seperti makhluknya. Ketika ia mendasarkan theodisenya dengan sebuah aksioma yang disebutnya "Asas tentang Alasan yang Cukup", ia membuat Tuhan sebagai sebuah kekuatan yang tunduk kepada raison (kata ini bisa berarti "alasan" dan juga "nalar" atau "akal"). Tapi bagi saya tak jelas, kenapa Tuhan harus juga tunduk seperti itu? Kita tahu bahwa nalar adalah makhluk tapi kita tak tahu kenapa Tuhan harus terikat oleh makhluk-Nya ini.
Persoalannya, tanpa Tuhan yang berdasarkan raison, manusia akan hidup tanpa perasaan tenang. Jika Tuhan tak adil, kita tak akan terhibur dari dunia yang tak adil ini. Kita harus selalu menemukan kotak hitam itu, penjelasan kenapa manusia harus menderita sampai Kiamat, saat keadilan sejati dimaklumkan.
Tapi bagaimana kalau kotak hitam itu tak pernah ditemukan? Tentang tsunami itu, mungkin kita akan cukup puas dengan penjelasan sejumlah pakar geologi. Tapi tentang kenapa anak-anak itu yang harus cacat dan mati, dan bukan para jenderal yang membangun istana dengan perang dan kejahatan, bukan pula para pengkhotbah yang mengutuk "Azab!" di atas mereka yang sengsara, kita mungkin tak bisa lain: kita harus lebih adil dan lebih pengasih ketimbang Tuhan yang mereka bela.
Goenawan Mohamad