Etika Melucu

Penulis

Senin, 12 Januari 2015 01:58 WIB

Seno Gumira Ajidarma
Wartawan Panajournal.com

Banyak yang bisa dicatat dari pembantaian para kartunis media satire Charlie Hebdo pada Rabu, 7 Januari 2015, di Paris. Berikut ini hanyalah sebagian.

Pertama, pembantaian itu dikutuk, dan tiada perdebatan dalam perkara itu, karena keberatan apa pun terhadap kartun mana pun, tidak dapat dibenarkan berbentuk pembunuhan-kecuali, tentunya, oleh para pelaku dan pendukung di belakangnya selama ini.

Kedua, pembuatan kartun adalah representasi kebebasan berekspresi-dalam hal ini jelas perlu banyak diskusi. Istilah satire, misalnya, sewaktu SMP saya harus menghafalkannya sebagai "sindiran", tanpa menyebut sama sekali soal humor. Betapapun, istilah sindiran itu lebih dari cukup untuk menjelaskan perkara kritik terhadap sasaran yang tidak langsung, seperti ungkapan "ngomongnya begini, maksudnya begitu". Apakah ini berarti serangan langsung, bukan sindiran lagi, mengubah ke-satire-annya, karena memang tiada seni dalam humornya?

Dalam teks akademik, satire ternyata disebut selalu subversif atau menantang, dan tujuan satiric sering dikomunikasikan dengan lebih mudah secara visual. Jika hal ini dinyatakan dengan menunjuk kartun William Hogarth (1697-1764), di depan dunia sekarang terdapatlah kartun-kartun Charlie Hebdo. Ini mengingatkan kepada catatan bahwa pemikir komedi kuna seperti Lucian (120-180) membela, bahkan, menganggap perlunya parrhesia alias bicara lurus, dalam lingkungan korup.

Nah, jika media Charlie Hebdo ternyatakan sebagai media ekstrem kiri yang anti-otoritas, termasuk di dalamnya anti-agama, bolehkah disebutkan bahwa media semacam itu justru dilahirkan oleh iklim kekuasaan-termasuk kuasa agama-yang korup?

Disebutkan, satire dapat dilihat sebagai humor yang melayani tujuan etis. Bahkan, salah satu tujuan humor adalah penataan kembali. Masalahnya, sejak jauh hari telah dibicarakan perbedaan antara khalayak (societies) dan kelompok-kelompok yang berada di dalamnya (subgroups), tempat apa yang disepakati sebagai tabu, dan apa yang boleh menjadi bulan-bulanan humor, sangat bervariasi. Banyak yang akan sangat mendesak, bahwa referensi apa pun terhadap agama mana pun tidak dapat diterima (Condren dalam Attardo, 2014: 662).

Adapun teori-teori konflik, atau disebut juga teori-teori kritis, memandang humor sebagai ungkapan konflik, perjuangan, dan antagonisme. Berlawanan dengan teori-teori fungsionalis, humor tidak ditafsirkan sebagai "lubang angin" (katarsis-sga), yang bermakna penghindaran, melainkan ekspresi atau korelasi konflik sosial: humor sebagai senjata, bentuk serangan, dan cara bertahan. Konsep humor sebagai agresor tak pernah hilang dari teori humor klasik maupun kontemporer.

Dalam Power dan Paton (1988) terdapat banyak contoh pendekatan konflik, terutama analisis humor etnik dan politis, dengan hasil: humor mempunyai sasaran yang jelas, serta berkorelasi dengan konflik dan antagonisme kelompok. Mereka yang memegang kendali dapat menggunakan humor untuk mengolah kuasa; tapi mereka yang kedudukannya kurang berdaya akan menggunakannya untuk mengungkap perlawanan. Keberadaan humor yang beredar, maju-mundur atau naik-turun, akan mendukung atau melawan kekuasaan sesuai dengan situasi politiknya. Namun teori konflik tidak dapat bekerja untuk semua jenis humor (Kuipers dalam ibid., h. 711-2).

Dengan begitu, atas nama perjuangan ideologis, terdapat suatu pertimbangan dan keputusan etis. Berada di pihak kelompok dominan atau kelompok terbawahkan, serangan dengan humor sebagai senjata, merupakan pilihan berkesadaran (baca: mengetahui dengan baik risiko pilihannya).

Sampai di sini, apakah pertimbangan dan keputusannya cukup sahih dengan hanya berlindung di bawah payung "kebebasan berekspresi"? Dalam wacana tentang kebebasan dan tanggung jawabnya, terdapat formasi diskursif perihal kebebasan sosial dan kebebasan eksistensial.

Dalam kebebasan sosial, sebagai prasyarat kebebasan eksistensial, seberapa jelaskah batas boleh dan tidak boleh, oleh dan untuk khalayak, telah dinyatakan, diketahui, dan disepakati?

Percepatan perubahan masa kini adalah masalah dalam konsensus sosial. Dalam kebebasan eksistensial, segala pemanfaatan ruang kebebasan sosial itu, berdasarkan pilihan berkesadaran, hanyalah sahih atau dapat dibenarkan sejauh bisa dipertanggungjawabkan. Konsekuensinya, semakin bertanggung jawab, seseorang itu semakin bebas (Magnis-Suseno, 1987: 33-43).

Sebaliknya, semakin kurang atau sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan tindakan seseorang atau kelompok, semakin kurang atau tidak dapat dibenarkanlah kebebasannya itu. Kiranya ini berlaku bagi siapa pun, yang ingin membunuh ataupun melucu. l


Berita terkait

Dewas KPK Masih Proses Dugaan Pelanggaran Etika oleh Dua Pimpinan Komisi Antikorupsi

13 hari lalu

Dewas KPK Masih Proses Dugaan Pelanggaran Etika oleh Dua Pimpinan Komisi Antikorupsi

Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi masih memeriksa dugaan pelanggaran etika oleh dua pimpinan KPK.

Baca Selengkapnya

Franz Magnis Suseno Soroti Perilaku Jokowi dalam Pemilu 2024: Presiden Gunakan Kekuasaan Mirip Pimpinan Mafia

32 hari lalu

Franz Magnis Suseno Soroti Perilaku Jokowi dalam Pemilu 2024: Presiden Gunakan Kekuasaan Mirip Pimpinan Mafia

Franz Magnis Suseno dihadirkan menjadi saksi ahli oleh pemohon tim Ganjar-Mahfud. Berikut poin-poin pernyataan Romo Magnis.

Baca Selengkapnya

MKMK Gelar Sidang Dugaan Pelanggaran Etik Hakim MK Besok

52 hari lalu

MKMK Gelar Sidang Dugaan Pelanggaran Etik Hakim MK Besok

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) akan menggelar sidang dugaan pelanggaran etik terhadap sejumlah Hakim MK besok.

Baca Selengkapnya

Sanksi Pelanggaran Etika 120 Periset Dipertanyakan, Ini Kata BRIN

5 Februari 2024

Sanksi Pelanggaran Etika 120 Periset Dipertanyakan, Ini Kata BRIN

BRIN akhirnya memberikan keterangan resmi perihal sanksi pelanggaran etika massal untuk para perisetnya.

Baca Selengkapnya

Dipertanyakan, Alasan BRIN Beri Sanksi Pelanggaran Etika 120 Periset

2 Februari 2024

Dipertanyakan, Alasan BRIN Beri Sanksi Pelanggaran Etika 120 Periset

Pemberian sanksi pemotongan tunjangan kinerja diberikan secara massal kepada 120 periset plus satu kepala pusat riset di BRIN.

Baca Selengkapnya

Sanksi Mundur buat Ketua KPK Firli Bahuri karena Pelanggaran Etika

28 Desember 2023

Sanksi Mundur buat Ketua KPK Firli Bahuri karena Pelanggaran Etika

Firli Bahuri dinyatakan melakukan tiga pelanggaran etika dan diminta mundur dari jabatan Ketua KPK oleh Dewan Pengawas.

Baca Selengkapnya

Kronologi Peluru Nyasar Lukai Pasutri di Tangerang, Ini Respons Kapolresta dan Pakar Hukum

13 Juli 2023

Kronologi Peluru Nyasar Lukai Pasutri di Tangerang, Ini Respons Kapolresta dan Pakar Hukum

Pasangan suami istri menjadi korban peluru nyasar saat melintas di di Jalan Raya Serang, KM 22, Desa Cibadak, Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang.

Baca Selengkapnya

Para Eks Komisioner KPK Pesimistis Laporan Mereka soal Firli Bahuri Ditindaklanjuti Dewas

11 April 2023

Para Eks Komisioner KPK Pesimistis Laporan Mereka soal Firli Bahuri Ditindaklanjuti Dewas

Abraham Samad berujar pelaporan kepada Dewas KPK untuk mendorong agar isu kebocoran dokumen sprinlidik Firli Bahuri segera ditangani.

Baca Selengkapnya

Dewas KPK Pelajari Laporan ICW Soal Pelanggaran Etik Firli

6 November 2020

Dewas KPK Pelajari Laporan ICW Soal Pelanggaran Etik Firli

Dewas KPK masih mempelajari laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait dugaan pelanggaran kode etik Ketua KPK Firli Bahuri

Baca Selengkapnya

DKPP Tidak Akan Cabut Sanksi Pemberhetian Evi Novida

13 Agustus 2020

DKPP Tidak Akan Cabut Sanksi Pemberhetian Evi Novida

DKPP menegaskan tidak akan mencabut sanksi pemberhentian tetap Evi Novida Ginting sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU)

Baca Selengkapnya