SEBUAH nukilan dari Quran, sebuah kutipan dari Injil. "Barang siapa menyelamatkan nyawa satu orang, maka ia seolah telah menyelamatkan nyawa semua orang." (Quran, 5:32) "Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu…." (Matius, 5,6) Tetapi kenapa tak tampak usaha menyelamatkan nyawa di Maluku? Kenapa berlaku asas simetri balas-dendam bahwa "mata harus diganti mata dan gigi ganti gigi"? Kenapa orang masih membinasakan atas nama buku-buku suci, yang justru tak ingin membinasakan? Kenapa orang pergi ke masjid tetapi tetap bertindak melampaui batas dan tak adil, dan kenapa orang pergi ke gereja seakan-akan tak ada lagi yang mendengarkan seruan "Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu"? Saya ingin menggugat, tetapi barangkali saya tidak mampu menggugat. Tidak mudah tampaknya untuk mengerti peran firman bagi kehidupan. Tiba-tiba, dari Maluku, kita diberi tahu: dampak sabda Tuhan dalam dunia tak selamanya seperti yang dibayangkan para aulia. Orang memang sering menggunakan Quran dan Injil dengan keyakinan bahwa dengan kekuatannya, dunia akan jadi lebih baik. Tetapi seseorang bisa mengutip sang Kitab untuk satu hal, sementara seorang lain juga dapat menggunakan kalimat dari bacaan yang sama untuk hal yang berlawanan. Mereka yang menghendaki damai akan menggunakan petunjuk Tuhan yang X, mereka yang ingin menghalalkan pembunuhan akan memakai perintah Allah yang Z. Dan kedua-duanya menganggap diri di jalan yang benar. Kedua-duanya berkata: ini pilihan Tuhanku. Tuhan satu, sebab itu seharusnya tak ada kontradiksi itu. Tapi ternyata yang muncul bukan saja arah yang saling bertentangan, tapi juga ini: bahwa pada akhirnya sang pengutiplah yang menentukan kutipannya. Pada akhirnya kepentingan dirinyalah, perangainya, kebutuhan raga dan batinnya, yang menyebabkan ia memilih ayat X dan bukan ayat Z. Dengan kata lain: dari Maluku kita tahu bahwa bukan kata-kata Tuhan yang membentuk perilaku manusia, melainkan perilaku itu yang membentuk makna kata-kata Tuhan. Maka, siapa sebenarnya yang menentukan: Firman itu, atau Kehidupan? Sabda, atau Dunia? Persoalan ini tak terbatas di Indonesia timur. Kitab dan kemarahan bukan hanya terjadi di Maluku. Di abad ke-20 yang baru saja lewat (untuk tak menyebut abad-abad sebelumnya), bom, belati, bedil bekerja secara brutal di Irlandia, di Aljazair, di Israel, di India. Yang menarik ialah bahwa mereka yang bersedia membunuh dan terbunuh itu seakan-akan mengabaikan Dunia untuk kepentingan Sabda. Di bulan April 1984, polisi Israel menangkap sejumlah orang anggota teroris Yahudi. Mereka dicurigai telah membunuh beberapa mahasiswa di universitas Islam di Hebron. Mereka juga mencoba membunuh sejumlah wali kota Palestina. Jaringan teroris ini ditangkap ketika menyiapkan bom yang akan meledakkan bus-bus yang ditumpangi orang Arab. Yang lain merancang pendinamitan Masjid Al Aqsa. Musuh mereka bukan cuma orang Arab. Sasaran mereka juga negara dan masyarakat Israel, yang mereka anggap didominasi oleh pemikiran sekuler Zionisme. Mereka menyebut diri Gush Emunim atau "Blok yang Setia kepada Iman". Mereka melihat dengan waswas masyarakat yang semakin terbuka dan semakin toleran. Mereka yakin bahwa toleransi akan membuka pintu bagi ketidakmurnian. Orang-orang Gush Emunim, sebagaimana para penganut Kristen Amerika yang bermula dari 12 jilid The Fundamentals di tahun 1910, menampik dunia yang jadi modern dan ganjil. Mereka inilah (dan dari sini asal-usul sebutan "fundamentalisme") yang yakin bahwa setiap kata dalam Kitab Suci secara harfiah adalah ekspresi kebenaran Tuhan, dan bahwa dunia hanya jadi buruk sampai akhir zaman, ketika Al Masih datang. Dengan pandangan murung yang sengit, mereka melihat Amerika dan dunia. Dari kalangan "Kristen Kanan" ini, senjata akhirnya juga menyalak. Dua tahun yang lalu seorang dokter ditembak mati karena ia bersedia membantu aborsi. Dengan sedikit variasi, pandangan yang mirip juga terdapat di kalangan Islam, terutama kecemasan akan abad ke-20 yang berasal di Timur Tengah. Bagi Front Penyelamatan Islam (FIS) di Aljazair, sebagaimana bagi kaum Taliban, Aljazair dan dunia Islam harus di-Islam-kan kembali, sebagaimana bagi kaum Gush Emunim, Israel harus di-Yahudi-kan kembali, dan bagi kaum "Kristen Kanan" Amerika, Barat harus di-Kristen-kan kembali. Dalam bukunya yang terbit di tahun 1994, Gilles Kepel menyebut tendensi kekecewaan pada dunia modern ini sebagai La Revanche de Dieu, atau "revans Tuhan". Tetapi bisakah Sabda menaklukkan Dunia, itu bergantung pada sejauh mana Sabda punya pengaruh yang membekas pada Dunia. Bagaimana jika ternyata Sabda—sebagai teks, dan teks selalu ditafsirkan—adalah sesuatu yang dibentuk arahnya oleh kegelisahan Dunia? Pertanyaan itu kian lama akan kian menajam, ketika Kata berhenti diberi arti dan berakhir hanya sebagai putus harapan.
Goenawan Mohamad.