TEMPO.CO, Jakarta - Firoz Gaffar, Chairman Figa Institute of Law and Economics (FILE) dan Dosen Analisis Ekonomi atas Hukum
Bencana selalu dipersepsikan sebagai kesedihan, sehingga Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikannya sebagai sesuatu yang menimbulkan kesusahan, kerugian, atau penderitaan. Buat manusia yang berakal budi, bencana bukan hanya diselidiki pencetusnya yang bersifat alami ataupun artifisial, tapi juga implikasinya yang berupa fisik dan non-fisik.
Kita agak terkejut saat politik dihubungkan dengan implikasi bencana. Analisis Azyumardi Azra yang bertajuk "Bencana dan Politik" (Kompas, 23/12/2014) mencatat adanya kontribusi bencana bagi perpolitikan, seperti terwujudnya rekonsiliasi politik yang "dipaksa" saat tsunami di Aceh (2004) serta absennya kampanye partai politik yang "memanfaatkan" tanah longsor di Banjarnegara (2014).
Kalau politik menaruh bencana sebagai obyek kekuasaan, hukum meletakkan bencana sebagai sasaran pengaturan. Kontribusi hukum masuk melalui dua sisi. Pada sisi hulu, hukum menancapkan alas pembenar dan memasang pagar pembatas sehingga upaya penanggulangan bencana berjalan secara legitimate dan legalistis. Di sini, law making mengarahkan institusi pelaksananya. Pada sisi hilir, hukum mengembalikan hak kepada yang berhak agar kondisi awal pulih. Di sini, law enforcement meluruskan pihak yang menyimpang.
Perjalanan panjang bencana lumpur Sidoarjo selama delapan tahun menyisakan dua problem hukum.
Pertama, apakah lumpur Sidoarjo merupakan bencana alam? Pemerintah merupakanpenanggung jawab penanggulangan bencana sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Faktanya, tidak pernah ada penetapan pemerintah soal bencana alam, non-alam, atau bencana sosial. Selain itu, Perpres Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) tidak menyebutnya sebagai bencana. Kevakuman ini terang-benderang, sehingga kasus lumpur Sidoarjo menjadi tidak jelas atau absurd.
Ironisnya, dalam rapat pleno pada 30 September 2009, DPR mendeklarasikan tragedi ini sebagai bencana alam. Padahal, pemerintah sebagai satu-satunya otoritas penetap status dan tingkat bencana menurut UU Nomor 24 Tahun 2007. Menurut buku The Pure Theory of Law, produk hukum berupa keputusan lembaga ini jelas tidak berlaku secara yuridis karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (Hans Kelsen, 1960).
Kedua, siapa penanggung jawab timbulnya semburan lumpur Sidoarjo? Sampai saat ini, sedikitnya ada 10 regulasi yang terkait dengan hal ini, dari dari Keppres Nomor 13/2006 tentang Pembentukan Timnas Lumpur Sidoarjo sampai UU Nomor 15/2013 tentang APBN. Semua regulasi tersebut mengatur tupoksi dan mekanisme institusi yang menangani penanggulangan bencana. Tidak ada satu pun pasal yang menyebutkan siapa pihak yang bersalah.
Selain itu, ada 10 putusan/kebijakan hukum yang berkaitan dengan law enforcement. Dalam lingkup perdata, putusan MA pada 2009 atas gugatan YLBHI dan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta pada 2008 atas gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menyatakan PT Lapindo Brantas Inc (PT LBI) serta pemerintah tidak bersalah. Sebab, lumpur Sidoarjo merupakan fenomena (baca: bencana) alam.
Dalam lingkup pidana, Surat Perintah Penghentian Penyidikan dikeluarkan oleh Polda Jawa Timur pada 2009 bagi para tersangka karena tidak ditemukan perbuatan melawan hukum. Adapun putusan Pengadilan Negeri Surabaya pada 2010 menolak gugatan pra-peradilan atas SP3 Polda Jawa Timur. Dalam lingkup administrasi, putusan MA pada 2007 menolak permohonan hak uji materi atas Pasal 15 Perpres Nomor 14/2007 tentang BPLS.
Dalam lingkup konstitusi, putusan MK pada 2012 menolak permohonan pengujian undang-undang atas Pasal 18 UU Nomor 4/2012 tentang APBN-P dan Pasal 19 UU Nomor 22/2011 tentang APBN. Namun putusan MK pada 2014 mengabulkan permohonan pengujian undang-undang atas Pasal 9 ayat 1 UU Nomor 15/2013 tentang APBN-P.
Semua putusan/kebijakan hukum tadi menunjukkan bahwa PT LBI tidak bersalah karena kejadian ini merupakan bencana alam. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada pihak yang bertanggung jawab secara yuridis. Bahkan, putusan MK pada 2014 semakin mempertegas hal tersebut. Putusan MK ini memposisikan pemerintah sebagai penggaransi pelunasan ganti rugi oleh PT LBI dalam peta area terdampak. Hal ini jelas menghapus tanggung jawab hukum, ekonomi, dan sosial PT LBI dalam PAT sesuai dengan kesepakatan pada 22 Maret 2007, yang dikukuhkan lewat Keppres 13/2006.
Dengan sudut legal, hukum tidak sekadar alat pembenar setelah peristiwa (ex-post), tapi juga instrumen pengarah sebelum peristiwa (ex-ante). Regulasi dan putusan semestinya koheren dan konsisten di dalam kepala semua orang, terutama para pengambil kebijakan dan penegak hukum.Di satu sisi, tidak lagi relevan untuk menyebut kasus "lumpur Sidoarjo" sebagai "lumpur Lapindo" karena sebutan itu berarti menuduh PT LBI tanpa dasar. Namun, di sisi lain, proses hukum tak boleh lunglai mengejar keadilan: apa betul itu bencana alam dan siapa pelaku sesungguhnya? Pepatah mengatakan, keadilan ditegakkan agar dunia tidak hancur (fiat justitia, ne pereat mundus).
Berita terkait
Bamsoet Tegaskan Pentingnya Yurisprudensi dalam Sistem Hukum Indonesia
18 November 2023
Bambang Soesatyo menekankan bahwa walaupun penegakan hukum di Indonesia berorientasi kepada undang-undang (codified law), keberadaan yurisprudensi tetap bisa dijalankan.
Baca SelengkapnyaTGB Zainul Majdi Bicara Solusi Redam Konflik Horizontal
14 Agustus 2019
TGB Zainul Majdi bicara berdasarkan pengalamannya mengkaji rendahnya konflik horizontal di Lombok Utara.
Baca SelengkapnyaPembebasan Abu Bakar Baasyir Berpotensi Kacaukan Sistem Hukum
20 Januari 2019
Pembebasan terhadap Abu Bakar Baasyir dinilai tanpa landasan. "Presiden dapat dianggap mengangkangi konstitusi,"
Baca SelengkapnyaPengadilan Politik
15 Maret 2017
Benarkah hukum itu netral? Sebagaimana wacana kebudayaan, dan hukum itu bagian dari kebudayaan, meskipun dapat diterapkan suatu prasangka baik bagi segenap praktisi hukum, posisi manusia sebagai subyek sosial membuatnya berada di dalam-dan tidak akan bebas dari-konstruksi budaya yang telah membentuknya. Meski pasal-pasal hukum ternalarkan sebagai adil, konstruksi wacana sang hamba hukumlah yang akan menentukan penafsirannya.
Baca SelengkapnyaVideo Ceramah Bachtiar Nasir Kasusnya di SP3, Ini Alasannya
7 Maret 2017
Sebelumnya, dalam sebuah video ceramah, Bachtiar Nasir mengaku telah menemui Kapolri Tito Karnavian, dan menyebut semua kasus ditutup.
Baca SelengkapnyaReformasi Hukum Kedua Jokowi
26 Januari 2017
Saat ini terdapat lebih dari 40 ribu peraturan perundang-undangan di Indonesia. Untuk peraturan daerah saja, sejak Reformasi hingga 2015 telah diproduksi lebih dari 3.000 peraturan daerah provinsi dan lebih dari 25 ribu peraturan daerah kabupaten/kota. Tapi banyak di antaranya yang tumpang-tindih, tidak berdaya guna, dan sebagian justru menghambat pelaksanaan pembangunan. Sejak otonomi daerah diberlakukan, muncul ribuan peraturan daerah yang justru bermasalah.
Tak mengherankan, pada Reformasi Hukum Tahap I (Juni 2016), pemerintah mengimbau agar lebih dari 3.000 peraturan daerah dibatalkan. Penyebabnya, banyak regulasi yang multitafsir, berpotensi menimbulkan konflik, tumpang-tindih, tidak sesuai asas, lemah dalam implementasi, tidak ada dasar hukumnya, tidak ada aturan pelaksanaannya, dan menambah beban, baik terhadap kelompok sasaran maupun yang terkena dampak regulasi. Kualitas regulasi yang buruk bisa berdampak ketidakpastian hukum, inefisiensi anggaran, kinerja penyelenggara negara yang rendah, daya saing ekonomi rendah, minat investasi menurun, dan menimbulkan beban baru bagi masyarakat dan pemerintah.
Mantan Ketua MK: Harapan 2017, Pengadilan Independen
12 Januari 2017
Sebagai benteng terakhir keadilan, pengadilan harus tetap memiliki independensi dan integritas tinggi serta menjadi tumpuan masyarakat pencari keadilan.
Baca SelengkapnyaPolisi yang Beperkara Hukum Harus Lapor kepada Pimpinan
19 Desember 2016
Tito mengatakan selama ini ada anggotanya yang dipanggil karena beperkara hukum, tapi pimpinan tidak mengetahui.
Baca SelengkapnyaKawal Jokowi-JK, PDIP Soroti Soal HAM, Korupsi, dan Hukum
14 Desember 2016
Trimedya menyoroti dua tahun pemerintahan Jokowi-JK.
Baca SelengkapnyaKebijakan Hukum, Pemerintah Disarankan Fokus 3 Hal Ini
17 Oktober 2016
Budaya hukum yang baik tidak terbentuk.
Baca Selengkapnya