Kiri

Penulis

Senin, 28 Februari 2000 00:00 WIB

ADA mystique di dalamnya, ada politiquedi dalamnya. Dengan itu kita berbicara tidak hanya tentang Gereja Katolik, tapi juga tentang komunisme. Dalam surat terakhir yang ditulis seorang tokoh novel The Comedians Graham Green, itulah yang dikatakan waktu ia jelaskan kenapa ia kagum kepada gerakan kiri itu.

Mystique berkait dengan pesona. Di Indonesia, mystique itu bertambah karena sejarah. "Kiri" telah jadi semacam label yang memukau kalangan cendekiawan dan anak muda: ada sesuatu yang "tidak biasa" di sana, ada keberanian, perlawanan, kebandelan, sesuatu yang seksi. Orang tua boleh merasa jeri, tuan dan nyonya boleh terus waswas, bapak boleh terus tertib dan membosankan. Tapi justru sebab itu—untuk memberontak dan mengusik yang nyaman, untuk mengguncang yang terlena dan tak peduli dunia di luar pintu—jadi "kiri" memberi rasa bangga tersendiri. "Kanan", sebaliknya, dirasakan sebagai cemooh.

Apalagi karena yang "kiri" dikaitkan dengan Marxisme-Leninisme, apalagi karena Marxisme-Leninisme itu barang terlarang (dan tiap barang terlarang adalah barang yang merangsang), apalagi karena "bahaya PKI" selalu didengung-dengungkan seakan-akan dialah kekuatan rahasia yang tak kunjung kalah.

Tetapi tentu tak hanya sebab itu "kiri" jadi menarik. Juga tak salah untuk terpesona. Magiot, tokoh dalam The Comedians itu, punya alasan yang layak didengar: "Orang Katolik dan orang Komunis pernah berbuat kejahatan besar, tapi setidaknya mereka tak cuma berdiri di pinggir… dan acuh tak acuh."

Mungkin itu yang bisa dikatakan tentang ciri ke-kiri-an: mereka yang tak cuma berdiri di pinggir ketika "kaum yang lapar, kaum yang terhina" yang disebut dalam lagu Internationale itu sedang dirantai, tak hanya berdiri acuh tak acuh ketika kemerdekaan sedang dibabat.

Tetapi tentu saja kini ada beberapa persoalan besar yang belum terjawab. Marxisme-Leninisme, dengan segala mystique dan politique-nya, gagal membangun jalan ke pembebasan yang dimimpikan rakyat bertahun-tahun. Di Polandia, seperti hampir di seluruh Eropa Timur, yang terjadi ialah tumbangnya kekuasaan "kediktatoran proletariat" oleh pemberontakan kaum proletariat. Dan tak cuma itu: kemudian kita pun lihat bagaimana organisasi buruh yang tampil memimpin negeri itu dengan cepat menswastakan perusahaan-perusahaan publik—dan kapitalisme pun lahir, berkembang, seperti tak akan terkalahkan.

Kenapa? Kenapa "kediktatoran proletariat" itu akhirnya jadi "kediktatoran atas proletariat"—suatu hal yang sebenarnya sudah diperingatkan oleh Rosa Luxemburg ketika tokoh besar sosialisme Jerman itu mengkritik partai yang dibangun Lenin? Bukankah terbukti benar buku Milovan Djilas, Kelas Baru, yang 45 tahun yang lalu dicerca habis-habisan oleh kaum Kiri, karena tokoh komunis Yugoslavia itu mengungkapkan transformasi para fungsionaris Partai jadi tuan-tuan yang hidup lezat di atas kaum pekerja? Benarkah eksploitasi manusia oleh manusia hanya bisa diterangkan dengan teori "nilai-lebih", hingga hanya mereka yang bermodal yang bisa mengisap?

Pertanyaan itu bisa ditambah sampai panjang daftarnya. Sebuah sosialisme yang menyebut diri "sosialisme ilmiah" seharusnya mampu mengusahakan jawab yang bisa diperdebatkan dengan serius. Tapi kesulitan telah timbul karena ajektif "ilmiah" di situ berbau positivisme yang tajam: "ilmiah" berarti "pasti betul".

Di zaman ini, positivisme itu menggelikan. Ketika ilmu pengetahuan semakin rumit, kita tahu bahwa justru kata "ilmiah" berarti bertolak dari kemungkinan untuk salah. Justru dengan mengakui kemungkinan itu, sebuah teori menuntut verifikasi dan sifat ilmiah itu menjadi sah. Tapi ketika akhirnya teori Marxis bersikap "pasti betul", tiap pertanyaan pun mengganggu, tiap keraguan jadi bidah. Yang tersisa hanya jawab yang final. Dan ketika jawab itu merasa sanggup menyahut segala perkara—dari soal land reform sampai dengan soal puisi, dari soal fisika sampai dengan soal politik luar negeri—ia pun tak bisa menjelaskan kenapa ia sampai bisa keliru begitu jauh.

Sebenarnya, bagi mereka yang "tidak cuma berdiri di pinggir" ketika pengisapan harus dilawan, kekeliruan apa pun tak butuh para apologis. Di tengah jalan pembebasan yang tak sederhana, salah teori adalah bagian dari laku. Dan ketika menjadi "Kiri" yang tak lagi sikap yang dramatis, dan mystique itu susut, yang dipertaruhkan tinggal politique. Dengan kata lain, yang dipertaruhkan adalah tindak dalam kancah kebersamaan.

Barangkali akhirnya "Kiri" yang berani adalah "kiri" yang berangkat melawan penderitaan tanpa bekal kebenaran, tapi penuh dengan kecintaan.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Cerita Orang Tua Temani Anak Ikut UTBK SNBT di UPN Jakarta: Abadikan Momen dengan Foto

11 menit lalu

Cerita Orang Tua Temani Anak Ikut UTBK SNBT di UPN Jakarta: Abadikan Momen dengan Foto

Tak sedikit keluarga yang menemani peserta UTBK SNBT 2024 di UPN Jakarta.

Baca Selengkapnya

Surat Tilang Dikirim Via WhatsApp secara Nasional, Ini Kata Korlantas Polri

20 menit lalu

Surat Tilang Dikirim Via WhatsApp secara Nasional, Ini Kata Korlantas Polri

Setelah uji coba pengiriman notifikasi tilang via WhatsApp lolos asesmen Polda Metro Jaya, sistem ini akan diterapkan secara nasional.

Baca Selengkapnya

Profil Byun Baekhyun EXO, Anggota EXO dan Pemimpin Super M yang Menapaki 32 Tahun

24 menit lalu

Profil Byun Baekhyun EXO, Anggota EXO dan Pemimpin Super M yang Menapaki 32 Tahun

Byun Baekhyun EXO lahir pada 6 Mei 1992 di Bucheon, Korea Selatan. Ia populer sebagai vokalis utama grup EXO. Kini ia sedang memimpin SuperM.

Baca Selengkapnya

Bamsoet Dorong Peningkatan Peran Politik Perempuan

31 menit lalu

Bamsoet Dorong Peningkatan Peran Politik Perempuan

Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo atau Bamsoet, bekerjasama dengan Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) untuk meningkatkan edukasi politik bagi perempuan.

Baca Selengkapnya

PAN Punya 2 Alasan Akan Sodorkan Eko Patrio Jadi Kandidat Menteri Kabinet Prabowo

37 menit lalu

PAN Punya 2 Alasan Akan Sodorkan Eko Patrio Jadi Kandidat Menteri Kabinet Prabowo

Politikus PAN Eko Hendro Purnomo atau beken sebagai komedian Eko Patrio tengah disiapkan partainya untuk membantu kabinet Prabowo Subianto. Alasannya?

Baca Selengkapnya

Mengenal Metode TEVAR EVAR untuk Atasi Gangguan Pembuluh Darah Aorta

46 menit lalu

Mengenal Metode TEVAR EVAR untuk Atasi Gangguan Pembuluh Darah Aorta

Tak perlu operasi, berikut tindakan yang bisa diterapkan untuk mengatasi pembesaran aorta atau pembuluh darah utama.

Baca Selengkapnya

Respon PHRI DIY Pasca Bandara YIA Jadi Satu-Satunya Bandara Internasional DIY-Jateng

50 menit lalu

Respon PHRI DIY Pasca Bandara YIA Jadi Satu-Satunya Bandara Internasional DIY-Jateng

PHRI DIY merespon soal penetapan Bandara YIA sebagai bandara internasional satu-satunya di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Baca Selengkapnya

Darwin Nunez Hapus Foto Liverpool di Instagram, Kode Hengkang Akhir Musim?

51 menit lalu

Darwin Nunez Hapus Foto Liverpool di Instagram, Kode Hengkang Akhir Musim?

Penyerang Liverpool Darwin Nunez diisukan masuk dalam radar Barcelona untuk menggantikan Robert Lewandowski musim depan.

Baca Selengkapnya

PNM Mekaar Mendukung Penuh Karir dan Bakat Pegawainya

55 menit lalu

PNM Mekaar Mendukung Penuh Karir dan Bakat Pegawainya

PNM Mekaar beri dukungan pengembangan karir dan bakat bagi semua insan PNM.

Baca Selengkapnya

Alasan Muhaimin Sebut PKB Tunggu hingga 20 Oktober Soal Peluang Gabung Koalisi Prabowo

58 menit lalu

Alasan Muhaimin Sebut PKB Tunggu hingga 20 Oktober Soal Peluang Gabung Koalisi Prabowo

Muhaimin Iskandar mengatakan Prabowo menerima masukan dari PKB untuk menjadi agenda nasional.

Baca Selengkapnya