Reza Indragiri Amriel, Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne
Rivalitas kepolisian versus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanas kembali, seiring dengan penangkapan terhadap Bambang Widjojanto. Situasi itu alamiah, bahkan keniscayaan, cerminan asumsi Presiden Sukarno bahwa tidak ada satu pun organisasi yang sudi kekuasaannya diambil organisasi lain. Fungsi KPK, yang seakan mensubordinasi Polri dalam pemberantasan korupsi, bisa dibayangkan menciptakan goresan pada martabat Polri. Apalagi ketika kemudian khalayak jatuh hati kepada KPK, Polri secara karikatural merasa “sakitnya tuh di sini, di sini, di sini”.
Masyarakat sepatutnya tidak apriori terhadap langkah hukum yang Polri ambil terhadap Wakil Ketua KPK itu. Meskipun khalayak salut atas kinerja KPK, tapi kurang baik apabila dukungan bagi KPK ditegakkan secara “membabi-buta”. KPK harus terus dikawal secara kritis. Demikian pula sikap kontra terhadap Polri tidak boleh dibangun di atas kebencian gelap mata. Polri patut terus diberikan semangat untuk maju.
Sebagai lembaga penegakan hukum, Polri perlu diberi kesempatan untuk menuntaskan penindakan yang telah dilancarkannya terhadap Bambang Widjojanto yang kadung ditetapkan sebagai tersangka. Bermodalkan tiga alat bukti sebagai pendahuluan, Polri semestinya mampu mematahkan sentimen apriori masyarakat lewat terselenggaranya persidangan atas Bambang.
Tapi sebaliknya, apabila Polri gagal membuktikan tuduhannya terhadap Bambang, bahkan justru mempermalukan diri sendiri seiring terkuaknya berbagai rekayasa hukum, maka sudah saatnya institusi tersebut dijatuhi sanksi berat.
Ganjaran paling keras adalah pembubaran institusi Polri, sebagaimana yang dipraktekkan pemerintah Veracruz (Meksiko) empat tahun lalu. Di sana, dalam rangka mencabut korupsi hingga ke akar-akarnya, seluruh jajaran kepolisian diberhentikan. Militer mengambil alih peran polisi.
Mantan polisi dapat menduduki pekerjaan kembali, setelah melewati tahapan seleksi yang jauh lebih ketat. Selama itu belum berhasil direalisasi, tentara terus bertugas sebagai “polisi”.
Selama 1990-an, ada tiga puluhan institusi kepolisian lokal yang juga dibubarkan. Penyebab utamanya adalah penyalahgunaan kewenangan yang kronis oleh kepolisian (institutional reason), di samping keterbatasan anggaran (contingency reason). Langkah tegas serupa diambil Gubernur Hong Kong, Sir Henry Pottinger, sekian ratus tahun silam.
Langkah revolusioner sedemikian rupa memang dapat berisiko pada meningginya frekuensi, variasi, dan intensitas kejahatan. Namun, jika militer memiliki kesiapan untuk mengantisipasi rangkaian problem susulan tersebut, pemvakuman lembaga kepolisian untuk sementara waktu tetap merupakan sebuah opsi yang patut dipertimbangkan guna memurnikan organisasi tersebut.
Pembubaran institusi kepolisian adalah keputusan dengan harga mahal. Amat sangat mahal. Tapi kesimpulan penelitian Jennifer Marek (2013) bisa memperkuat nyali. Bahwa penilaian masyarakat akan korupnya lembaga kepolisian bertali-temali dengan pandangan publik bahwa pemerintah mereka pun berasyik-masyuk dengan kerusakan yang sama. Pemerintahan Joko Widodo akan dapat mematahkan simpulan Marek di atas jika ia, bersama DPR, memiliki daya untuk menunjukkan sikap tegas dan konsistensinya.
Berita terkait
Setyo Wasisto: Jangan Adu Domba Polri dan KPK, Ini Tahun Politik
10 Oktober 2018
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto mengimbau agar polemik yang terjadi antara Polri dan KPK tak diperpanjang.
Baca SelengkapnyaKapolri Tito: Densus Tipikor Dibentuk Setelah Pansus KPK Reda
29 Desember 2017
Rencana Kapolri membentuk Detasemen Khusus (Densus) Antikorupsi akan dilanjutkan setelah perseteruan KPK dengan DPR mereda.
Baca SelengkapnyaDitanya Soal Cicak vs Buaya Jilid 4, Jubir KPK: Fokus Masing-Masing Saja
10 November 2017
Menurut Febri dalam tugas KPK menangani kasus-kasus besar, ada kemungkinan terganggu dengan berbagai hal baik isu hukum maupun non hukum.
Baca SelengkapnyaSPDP Pimpinan KPK, Direktur LBH: Indikasi Cicak Vs Buaya Jilid 4
10 November 2017
Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa mengatakan terbitnya SPD dua pimpinan KPK merupakan adanya indikasi Cicak versus Buaya jilid 4.
Baca SelengkapnyaSPDP Bos KPK Akan Picu Cicak vs Buaya 4: Kapolri Tito Menjawab
9 November 2017
Tito Karnavian menyampaikan komitmen tidak ingin membuat gaduh antara Polri dan KPK.
Baca SelengkapnyaPolri Minta Rencana Pendirian Densus Antikorupsi Tak Jadi Polemik
26 September 2017
Menurut Syafruddin, keberadaan Densus Antikorupsi akan menopang kinerja KPK, sebab fokus KPK adalah memicu pemberantasan korupsi.
Baca SelengkapnyaAktivis Anti Korupsi Usul Direktur Penyidikan KPK Dicopot
30 Agustus 2017
Aktivis mencatat tiga pelanggaran yang dilakukan Direktur Penyidikan KPK Brigjen Pol Aris Budiman.
Baca SelengkapnyaPenjelasan Kapolri Soal Telegram Rahasia
26 Desember 2016
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan jika ada yang berbuat satu, ada yang bermasalah satu, maka akan mempengaruhi citra institusi.
Baca SelengkapnyaTelegram Rahasia yang Dianggap Langkah Mundur Polisi
26 Desember 2016
Sumber Tempo menyebutkan surat telegram itu diterbitkan lantaran sejumlah polisi sedang terjerat masalah hukum di KPK.
Baca SelengkapnyaBebas, Akankah Antasari Azhar Terjun ke Politik?
10 November 2016
Antasari Azhar menyatakan ingin menjadi wartawan. "Biar kita saling tulis," katanya.
Baca Selengkapnya