Khudori, pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Secara fisik, nyaris tak ada perbedaan antara gula kristal rafinasi (GKR) dan gula kristal putih (GKP). Keduanya enak dikonsumsi. Namun keduanya berbeda dalam asal bahan baku, cara produksi, siapa yang boleh mengkonsumsi, dan bagaimana distribusi/perdagangannya. Perbedaan inilah yang menjadi alasan pemerintah memisahkan pasar GKR dan GKP.
Bahan baku GKR sepenuhnya dari impor. Namanya gula mentah (raw sugar). Dengan bahan baku gula mentah impor murah, pabrik GKR bisa beroperasi sepanjang tahun. Pabrik GKR tidak dihadapkan pada berbagai risiko: mengorganisasi petani, gagal panen, mengelola jadwal tebang, serta proses angkut dan giling yang rumit.
Sebaliknya, seluruh bahan baku GKP berasal dari tebu domestik. Untuk pabrik gula BUMN di Jawa, 90 persen tebu dipasok petani. Hanya sekitar 10 persen tebu ditanam sendiri oleh pabrik gula. Rentang waktu dari menanam hingga panen, petani dan pabrik gula dihadapkan dengan risiko gagal panen. Kemampuan petani yang beragam dalam permodalan dan penguasaan teknis membuat masalah kian rumit.
Selain itu, investasi pabrik GKP tiga kali lipat dibanding pabrik GKR. Dengan risiko minimal, pabrik gula rafinasi tergolong investasi yang cepat balik modal: hanya 2-3 tahun (Colosewoko, 2010). Sebaliknya, investasi pabrik GKP berisiko karena mesti membuka kebun dan menyiapkan petani. Operasional giling hanya 160-180 hari karena bahan baku bergantung pada iklim dan cuaca. Dengan tingkat bunga 14 persen, investasi pabrik GKP baru balik modal 12-15 tahun. Dari sisi tenaga kerja, serapan pabrik GKP puluhan kali lipat GKR.
Ada alasan kuat untuk memisahkan pasar GKR dan GKP seperti yang diatur dalam Kepmenperindag Nomor 527/2004 tentang Ketentuan Niaga Impor Gula. Pemisahan dilakukan karena medan persaingan tak seimbang. Sejak diinisiasi pada 2000, kini ada 11 pabrik gula rafinasi berkapasitas sekitar 5 juta ton. Seiring dengan hal itu, impor gula mentah terus melonjak, dari kurang 1 juta ton pada 2006 menjadi lebih dari 2 juta ton sejak 2009. Sejak 2007, ada indikasi kuat izin impor GKR untuk industri dan gula mentah untuk pabrik gula rafinasi berlebihan (Sawit, 2010).
Sesuai dengan hukum besi supply demand, ketika kebutuhan GKP tidak sepenuhnya bisa dipenuhi oleh produksi domestik, kelebihan produksi GKR akan mengalir mencari pasar. Proteksi harga oleh pemerintah lewat harga patokan petani (HPP) membuat insentif ekonomi merembeskan GKR ke pasar GKP amat menggiurkan. Pengawasan yang lemah dan penegakan hukum bagi pelanggar distribusi yang tidak memberi efek jera membuat sekat pasar GKR untuk industri (makanan, minuman, dan farmasi) dan GKP untuk pasar konsumsi langsung tidak berarti apa-apa. Sekat itu bukan tembok yang kedap rembesan.
Logis dan wajar kelebihan produksi GKR akhirnya menginvasi pasar retail. Lima tahun (2006-2011) rata-rata tahunan GKR yang merembes berkisar 185.104-678.818 ton atau 8,03 persen hingga 29,44 persen dari pasokan GKR. Invasi itu membuat harga GKP anjlok dan insentif ekonomi petani untuk menanam tebu menurun. Ini berdampak dua hal. Pertama, pabrik GKP tutup karena tidak mendapatkan pasokan bahan baku. Kedua, jika banyak pabrik GKP tutup, dipastikan impor gula meledak, devisa melayang, dan cita-cita swasembada gula bakal menguap. Selain menghitung ulang kebutuhan GKR, perlu sanksi keras dan kebijakan dalam menyeimbangkan medan persaingan GKR-GKP. *
Berita terkait
Erick Thohir Berharap Revitalisasi Industri Gula Penuhi Kebutuhan Nasional Jangka Panjang
10 Oktober 2022
Erick Thohir mengungkapkan revitalisasi industri gula dapat memenuhi kebutuhan gula nasional.
Baca SelengkapnyaBadan Pangan Nasional Buat Regulasi Atur Tata Kelola Gula
4 Agustus 2022
Badan Pangan Nasional akan membuat regulasi tata-kelola gula untuk memperkuat industri gula nasional.
Baca SelengkapnyaLebih dari 50 Persen Pasokan Gula RI Masih Tergantung Impor
4 Agustus 2022
Badan Pangan Nasional mencatat kebutuhan total gula secara nasional mencapai 7,3 juta ton per tahun.
Baca SelengkapnyaKeluhkan Kelangkaan Gula Rafinasi, Pelaku Industri Surati Gubernur Jawa Timur
8 Maret 2021
Pelaku industri makanan dan minuman Jawa Timur menyurati Gubernur Khofifah Indar Parawansa mengeluhkan kelangkaan gula rafinasi.
Baca SelengkapnyaAwasi Distribusi Gula, Mendag Gandeng Satgas Pangan dan DPR
11 April 2020
Mendag Agus Suparmanto bersama Satgas Pangan dan Komisi VI DPR secara intensif mengawasi industri gula.
Baca SelengkapnyaFaktor Cuaca dan Lahan, Produksi Gula Diprediksi Tak Capai Target
13 Februari 2020
Asosiasi Gula Indonesia memperkirakan produksi gula tahun ini turun 10 persen dibandingkan 2019.
Baca SelengkapnyaKementerian Pertanian Adukan Majalah Tempo ke Dewan Pers
9 September 2019
Laporan investigasi Majalah Tempo edisi 9-15 September 2019 bertajuk "Gula-Gula Dua Saudara" dinilai menyudutkan Kementerian Pertanian.
Baca SelengkapnyaMendag Ancam Cabut Izin Pabrik yang Jual Gula Rafinasi ke Pasar
6 Agustus 2019
Menteri Perdagangan Enggarsito Lukita mengancam akan mencabut izin perusahaan yang menyalahgunakan produksi gula rafinasi dengan dijual bebas ke pasar
Baca SelengkapnyaJika Ditugasi Impor Gula Mentah, PTPN X Siap
1 Juli 2019
Impor gula mentah itu dilakukan guna memenuhi konsumsi gula kristal putih (GKP).
Baca SelengkapnyaAPTRI Minta Jokowi Pilih Menteri yang Berpihak pada Petani Tebu
29 Juni 2019
APTRI meminta Presiden Jokowi pilih menteri yang memahami petani tebu karena saat ini industri gula sudah kritis.
Baca Selengkapnya