Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta tidak perlu ragu mengangkat Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur. Pendapat bahwa Basuki tak bisa menggantikan Joko Widodo sebagai orang nomor satu di Jakarta tidak didasarkan pada landasan hukum yang kuat. Hal itu sengaja diembuskan oleh para politikus yang tak ingin Basuki memimpin Jakarta.
Setelah terpilih menjadi presiden ketujuh Indonesia, Joko Widodo resmi mengundurkan diri sebagai Gubernur Jakarta pada awal Oktober lalu. Basuki, yang menjabat sebagai wakil, kemudian menjadi gubernur sementara hingga ia diangkat secara resmi. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemilihan Kepala Daerah, Pasal 26, wakil kepala daerah memang otomatis menjadi kepala daerah jika atasannya berhenti atau diberhentikan.
Masalahnya, undang-undang tersebut sudah tidak terpakai lagi. Menjelang akhir masa kerja, DPR 2009-2014 menyetujui Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang baru. Tapi aturan ini pun belum sempat berlaku, karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lebih dulu mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. Peraturan yang telah disetujui oleh Mahkamah Konstitusi inilah yang kini menjadi acuan resmi dalam soal pemilihan kepala daerah.
Di sinilah masalah kemudian muncul. Sejumlah politikus, terutama Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Gerindra Jakarta Muhammad Taufik, menyatakan bahwa Basuki tidak dapat langsung diangkat menjadi Gubernur Jakarta. Ia mendasarkan pendapatnya pada Pasal 174 Perpu No. 1/2014 itu. Di sana memang tercantum, jika gubernur yang berhenti memiliki sisa masa jabatan lebih dari 18 bulan, penggantinya ditentukan lewat pemilihan kepala daerah. Karena masa jabatan Jokowi masih sekitar tiga tahun, menurut Taufik dan kawan-kawannya, harus ada pemilihan gubernur baru melalui DPRD.
Pendapat Taufik itu tak boleh diiyakan begitu saja. Sebab, Kementerian Dalam Negeri juga punya pendapat yang didukung undang-undang. Menurut mereka, dalam kasus penggantian Gubernur Jakarta saat ini, yang dipakai bukanlah Pasal 174. Penggantian Joko Widodo seharusnya mengacu pada Pasal 203 perpu yang sama. Dalam pasal itu dijelaskan, jika kepala daerah yang diangkat berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 itu mundur, yang menggantikan adalah wakilnya. Karena Jokowi diangkat berdasarkan Undang-Undang No. 32/2004, otomatis Basuki yang naik menggantikannya.
Pengangkatan Basuki seharusnya tak dipolitisasi oleh Partai Gerindra, yang dulu mengusungnya dalam pemilihan. Publik melihat usulan pembatalan pengangkatan itu cuma politik balas dendam akibat Basuki keluar dari Partai Gerindra.
Kursi Gubernur DKI tidak boleh dibiarkan terkatung-katung seperti sekarang. Jakarta amat membutuhkan nakhoda. Karena itu, DPRD Jakarta harus segera mengakhiri polemik dengan segera mengirim surat kepada Mahkamah Agung, meminta pendapat. Mahkamah Agung-lah lembaga yang tepat untuk dimintai fatwa saat ada perbedaan pendapat atas sebuah aturan. Fatwa Mahkamah Agung yang bebas dari segala kepentingan dan bias politik diharapkan bisa mengakhiri polemik.