Mei 1998. Gedung-gedung terbakar. Toko-toko dijarah. Cerita tentang pemerkosaan beredar dari tempat ke tempat. Rasa takut dan marah mencekam, terutama di kalangan keturunan Cina. Tapi tidak semua tempat dengan rumah dan toko mewah diserbu. Agak di utara Jakarta Timur, sejumlah tank dan panser diparkir di sekitar pintu gerbang sebuah kompleks yang semacam itu. Sekitar tiga peleton tentara tampak siaga. Kenapa? Mungkin jawabnya bisa ditarik dari tempat lain. Di hari yang rusuh itu, di daerah B, seorang manajer sebuah pusat perbelanjaan punya koneksi yang bagus. Ia menelepon komandan Koramil yang bermarkas lima kilometer dari kantornya. Mengetahui rombongan penjarah datang entah dari mana, ia minta pusat perbelanjaannya dijaga pasukan. Di ujung telepon sebelah sana Pak Komandan mengatakan sanggup, tapi menambahkan dengan nada rendah: "Kami minta dibantu untuk dana operasi, Pak." Si manajer bertanya berapa. Dijawab: 10 juta rupiah. Dia tersentak sejenak, lalu mengatakan bahwa ia akan lapor dulu ke bosnya. Satu jam ia tak dapat keputusan sebab si bos tak bisa diketahui ada di mana. Ketika akhirnya sang manajer mengambil inisiatif untuk berani membayar harga itu, Pak Komandan sudah mengirim pasukannya ke tempat lain: ke sebuah wilayah permukiman mewah di selatan. Direktur
real estate di sana tanpa mempertimbangkan lagi setuju dengan ongkos yang diminta. Tak ayal, pada pukul 16:30, pusat perbelanjaan di daerah B yang tak kebagian pengawal itu dibakar orang ramai, dan barang-barang mewah digotong ke luar, dirampok. Di manakah Republik Indonesia waktu itu? Di manakah badan-badan publik yang harus melindungi warga negara yang telah membayar pajak? Republik berhenti. Di depan tiap pintu yang terkunci oleh waswas, sebelum dan sesudah terbakar, Republik Indonesia telah digantikan oleh sempalan-sempalan kekuasaan, yang tak hendak berkait satu dengan yang lain. Tak ada sebuah negeri bersama. Tak ada "publik". Yang ada hanya "kami", bukan "kita". Apa yang bisa disebut oleh sejumlah ahli ilmu politik sebagai "modal sosial" runtuh, atau tak relevan. Memang, jika ada yang paling hancur oleh korupsi, maka "modal sosial" itulah: masing-masing orang atau grup percaya bahwa kebersamaan adalah hal yang mustahil, sebab setiap orang menyogok atau minta disogokdi luar aturanuntuk mendapatkan apa yang hendak ia peroleh. Yang berkecamuk adalah ekonomi syak wasangka. Biayanya mahal. Seandainya pedagang A dengan mudah percaya pedagang B dalam berkongsi, tak perlu ongkos untuk membayar notaris dan pengacara yang kecakapannya hanya jadi makelar suap. Juga tak perlu pula dana buat membeli sejumlah hakim bila sengketa terjadi dan dibawa ke mahkamah. Ekonomi syak wasangka hadir bersama politik ketidakterlibatan. Gotong-royong, kerukunan warga, dan hal-hal seperti itu memang kadang-kadang tampak dalam ikhtiar-ikhtiar kecilmisalnya mengusahakan agar jenazah tetangga dapat makam yang baiktetapi tidak dalam skala yang lebih jauh dari radius 500 meter. Di tengah politik ketidakterlibatan seperti itu, demokrasi dengan mudah terancam. Pernah suatu kali Indonesia berhasil menghentikan politik ketidakterlibatan ini, ketika rakyat berduyun-duyun, dengan antusias tetapi sabar dan damai (sabar dan damai adalah tanda masih adanya sisa-sisa "modal sosial"), untuk pemilihan umum 1999. Harapan memancar kembali seperti cahaya mercu suar. Tetapi cuaca kembali menjadi buruk dengan cepat. Republik Indonesia kembali terhenti dan "modal sosial" punah, ketika seorang yang disangka pencuri dikeroyok, dibunuh dan dibakar oleh penduduk, ketika sebuah kampung di Tegal dibakar oleh penghuni kampung lain, dan ketika di Maluku tentara dan polisi gagal menghentikan perang yang berlangsung berbulan-bulan antarwarga, dengan korban ribuan manusia. Siapa lagi yang percaya bahwa ada sebuah lembaga yang akan bisa bekerja buat "kita", bukan hanya buat "kami" seraya menyisihkan "mereka"? Saat ketidakpercayaan berkecamuk, apa yang disebut "
civil society" atau "masyarakat madani" tak lagi punya kemungkinan. Tidak sebagaimana yang umumnya diduga, masyarakat madani mengandung kepercayaan akan hadirnya sebuah negara, sebuah republik, yang bisa diandalkan. Warga yang bersama-sama membentuk organisasi yang mengurus diri sendiri memerlukan sebuah platform bersama yang terjaga, agar organisasi-organisasi kecil itu bisa tumbuh-menumbuhkan. Penjaga platform bersama itulah negara, atau lebih tegas lagi "republik". Dari mana datangnya? Ketika masyarakat tak peduli untuk membentuk "republik" tempat mereka hidup, ketika tak ada lagi kepercayaan, sebuah "republik" mungkin akan hadir juga. Tetapi "republik" ini akan seperti dunia Don (Michael) Corleone: penyelesaian yang paling efektif adalah pembasmian. Perundingan tidak bisa, sebab perundingan adalah memberi dan menerima. Dan itu tak akan terjadi ketika setiap orang berkata, diam-diam: aku curiga, maka aku ada.
Goenawan Mohamad