Saya tak pernah sempat dekat dengannya, tapi bila saya dengar ia bicara di pertemuan-pertemuan (dengan bibir yang kian gemetar), terkadang saya bertanya dalam hati: berapa benteng sudah yang ditembusnya? Berapa pagar tapal batas dan tahanan yang dilampauinya?
Princen rasanya tahu: manusia membangun sederet benteng, dan dengan itu pula manusia membangun sederet penjara. Permusuhan, kebencian, syak wasangka, kewaspadaan, memang bisa memberikan tenaga yang ajaib, tapi juga me-ngungkung dan represif. Princen menghempaskan diri ke kungkungan itu. Terutama ketika permusuhan dan represi itu terjadi terhadap mereka yang kalah, oleh yang menang.
Ketika ia belum lagi berumur 20 tahun, ia mencoba berontak menghadapi Nazi Jerman yang menguasai Negeri Belanda. Ia ditahan di kamp konsentrasi di Vught, kemudian di penjara Kota Utrecht. Ketika ia berumur 21, ia meninggalkan negerinya, lari ke Prancis, karena ia menolak wajib militer: ia tak hendak datang sebagai laskar yang harus memusuhi, dan menindas, orang Indonesia. Ketika ia berumur 22, ia dipenjarakan oleh pemerintah Belanda, dan kemudian dikirim ke bekas tanah jajahan di Timur yang sedang memerdekakan diri itu. Ketika ia berumur 23, masih berpakaian seragam prajurit Kerajaan, ia menerobos tapal batas lain dan menyeberang memihak Republik Indonesia. Ketika ia berumur 37, dan sudah menjadi seorang tokoh politik Indonesia, ia ditahan oleh pemerintahan Sukarno, yang di masa ’’Demokrasi Terpimpin” itu dianggapnya menginjak hak asasi. Ia dibebaskan setelah Bung Karno jatuh, begitu ’’Orde Baru” berdiri. Tapi ketika ia berumur 49, pemerintahan ’’Orde Baru” itu pula yang menangkapnya….
Berapa tapal batas? Berapa benteng? Kamp tahanan? Ia penerobos semua itu. Tapal batas memisahkan manusia dalam kategori-kategori yang dipaksakan, seakan-akan yang satu patut dikorbankan oleh yang lain. Benteng memproteksi manusia dari sesuatu yang datang dari luar, seakan-akan permusuhan harus terus. Kamp tahanan—kita tahu bagaimana terkutuknya kamp tahanan.
Pada tahun 1968 saya, yang bekerja di Harian Kami, termasuk dalam rombongan pertama wartawan dari Jakarta yang akhirnya mendapat izin penguasa untuk melihat para tahanan politik di Pulau Buru. Sebelum saya berangkat, Princen menemui saya. Ia menitipkan sebuah perekam suara. Ia meminta saya mewawancarai Pramoedya Ananta Toer dan membuat sedikit laporan tentang keadaan di kamp tahanan itu buat Amnesty International, yang kemudian mengangkat Pramoedya sebagai ’’Prisoner of Conscience”, lambang korban yang terinjak. Sesampai di Pulau Buru, semua pesan Princen itu saya kerjakan dengan diam-diam.
Saya tahu apa risikonya, tapi saya kagum sikap Princen: ia menganggap eksperimen Buru itu sebuah pelanggaran hak asasi yang gawat. Hanya saja saya tak bertanya kenapa ia, yang pernah dipenjarakan tanpa pengadilan oleh pemerintahan ’’Demokrasi Terpimpin” Bung Karno, kini ambil risiko untuk membantu pembebasan orang-orang yang dulu ikut mendukung ’’Demokrasi Terpimpin” dan membenarkan represi atas dirinya.
Saya tak bertanya karena saya tahu apa kira-kira jawabnya: aku melihat masa lampau, karena aku melihat masa depan. Seorang korban di masa lalu tahu apa artinya korban bila ia tak ingin melihat korban jatuh lagi di masa lain.
Dari situlah bermula kesadaran akan hak asasi. Hak itu menjadi layak dituntut untuk dihormati oleh siapa saja, bila ia berlaku bagi siapa saja. Tentu saja universalitas ini akan jadi bahan cemooh bagi mereka yang ingin terus membangun sederet benteng dan dengan itu membangun sederet penjara. Tapi Princen tahu: permusuhan dan kebencian, syak wasangka dan kewaspadaan, akhirnya akan mengungkung dan represif. Menggampangkan kematian.
Pada suatu sore di tahun 1970, Princen datang ke kantor Harian Kami di Kramat VIII, Jakarta. Ia membawa sebuah informasi: ada pembunuhan massal, korbannya orang-orang yang dituduh PKI, di Purwodadi, Jawa Tengah. Saya, yang bertugas hari itu, menuliskannya sebagai berita utama buat koran esok harinya. Ketika headline itu muncul, dengan segera Princen dituduh sebagai ’’komunis”. Saya tak tahu bagaimana reaksinya waktu itu. Tapi saya tahu ia akan kembali.
Seperti ombak, yang selalu menghempas ke tubir cadas, sejarah pilihan-pilihan yang berulang. Akankah ia mematahkan hempangan? Mungkin tidak. Tapi adakah ia harapan yang busuk? Pasti tidak.
Goenawan Mohamad