Princen

Penulis

Senin, 17 April 2000 00:00 WIB

HARI-hari ini saya teringat Princen. Sudah beberapa lama saya tak melihatnya: seorang dengan tubuh yang guyah di kursi roda, dengan cuping hidung yang diperban, dengan suara yang melemah—tapi dengan sebuah sejarah hidup yang mengingatkan saya pada ombak. Ombak itu selalu menghempas ke tubir cadas: sejarah pilihan-pilihan yang berulang. Seperti gerak yang seakan-akan rutin, tapi tiap kali datang dengan dorongan yang kuat—lebih kuat dari hempangan apa pun, dari dinding benteng apa pun. Juga pagar tapal batas dan tembok tahanan.

Saya tak pernah sempat dekat dengannya, tapi bila saya dengar ia bicara di pertemuan-pertemuan (dengan bibir yang kian gemetar), terkadang saya bertanya dalam hati: berapa benteng sudah yang ditembusnya? Berapa pagar tapal batas dan tahanan yang dilampauinya?

Princen rasanya tahu: manusia membangun sederet benteng, dan dengan itu pula manusia membangun sederet penjara. Permusuhan, kebencian, syak wasangka, kewaspadaan, memang bisa memberikan tenaga yang ajaib, tapi juga me-ngungkung dan represif. Princen menghempaskan diri ke kungkungan itu. Terutama ketika permusuhan dan represi itu terjadi terhadap mereka yang kalah, oleh yang menang.

Ketika ia belum lagi berumur 20 tahun, ia mencoba berontak menghadapi Nazi Jerman yang menguasai Negeri Belanda. Ia ditahan di kamp konsentrasi di Vught, kemudian di penjara Kota Utrecht. Ketika ia berumur 21, ia meninggalkan negerinya, lari ke Prancis, karena ia menolak wajib militer: ia tak hendak datang sebagai laskar yang harus memusuhi, dan menindas, orang Indonesia. Ketika ia berumur 22, ia dipenjarakan oleh pemerintah Belanda, dan kemudian dikirim ke bekas tanah jajahan di Timur yang sedang memerdekakan diri itu. Ketika ia berumur 23, masih berpakaian seragam prajurit Kerajaan, ia menerobos tapal batas lain dan menyeberang memihak Republik Indonesia. Ketika ia berumur 37, dan sudah menjadi seorang tokoh politik Indonesia, ia ditahan oleh pemerintahan Sukarno, yang di masa ’’Demokrasi Terpimpin” itu dianggapnya menginjak hak asasi. Ia dibebaskan setelah Bung Karno jatuh, begitu ’’Orde Baru” berdiri. Tapi ketika ia berumur 49, pemerintahan ’’Orde Baru” itu pula yang menangkapnya….

Berapa tapal batas? Berapa benteng? Kamp tahanan? Ia penerobos semua itu. Tapal batas memisahkan manusia dalam kategori-kategori yang dipaksakan, seakan-akan yang satu patut dikorbankan oleh yang lain. Benteng memproteksi manusia dari sesuatu yang datang dari luar, seakan-akan permusuhan harus terus. Kamp tahanan—kita tahu bagaimana terkutuknya kamp tahanan.

Pada tahun 1968 saya, yang bekerja di Harian Kami, termasuk dalam rombongan pertama wartawan dari Jakarta yang akhirnya mendapat izin penguasa untuk melihat para tahanan politik di Pulau Buru. Sebelum saya berangkat, Princen menemui saya. Ia menitipkan sebuah perekam suara. Ia meminta saya mewawancarai Pramoedya Ananta Toer dan membuat sedikit laporan tentang keadaan di kamp tahanan itu buat Amnesty International, yang kemudian mengangkat Pramoedya sebagai ’’Prisoner of Conscience”, lambang korban yang terinjak. Sesampai di Pulau Buru, semua pesan Princen itu saya kerjakan dengan diam-diam.

Advertising
Advertising

Saya tahu apa risikonya, tapi saya kagum sikap Princen: ia menganggap eksperimen Buru itu sebuah pelanggaran hak asasi yang gawat. Hanya saja saya tak bertanya kenapa ia, yang pernah dipenjarakan tanpa pengadilan oleh pemerintahan ’’Demokrasi Terpimpin” Bung Karno, kini ambil risiko untuk membantu pembebasan orang-orang yang dulu ikut mendukung ’’Demokrasi Terpimpin” dan membenarkan represi atas dirinya.

Saya tak bertanya karena saya tahu apa kira-kira jawabnya: aku melihat masa lampau, karena aku melihat masa depan. Seorang korban di masa lalu tahu apa artinya korban bila ia tak ingin melihat korban jatuh lagi di masa lain.

Dari situlah bermula kesadaran akan hak asasi. Hak itu menjadi layak dituntut untuk dihormati oleh siapa saja, bila ia berlaku bagi siapa saja. Tentu saja universalitas ini akan jadi bahan cemooh bagi mereka yang ingin terus membangun sederet benteng dan dengan itu membangun sederet penjara. Tapi Princen tahu: permusuhan dan kebencian, syak wasangka dan kewaspadaan, akhirnya akan mengungkung dan represif. Menggampangkan kematian.

Pada suatu sore di tahun 1970, Princen datang ke kantor Harian Kami di Kramat VIII, Jakarta. Ia membawa sebuah informasi: ada pembunuhan massal, korbannya orang-orang yang dituduh PKI, di Purwodadi, Jawa Tengah. Saya, yang bertugas hari itu, menuliskannya sebagai berita utama buat koran esok harinya. Ketika headline itu muncul, dengan segera Princen dituduh sebagai ’’komunis”. Saya tak tahu bagaimana reaksinya waktu itu. Tapi saya tahu ia akan kembali.

Seperti ombak, yang selalu menghempas ke tubir cadas, sejarah pilihan-pilihan yang berulang. Akankah ia mematahkan hempangan? Mungkin tidak. Tapi adakah ia harapan yang busuk? Pasti tidak.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Pemerintahan Jokowi Manjakan Kepala Desa, Apa Saja Keuntungan Finansialnya?

3 menit lalu

Pemerintahan Jokowi Manjakan Kepala Desa, Apa Saja Keuntungan Finansialnya?

Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Desa atau UU Desa, yang mencakup Kepala Desa.

Baca Selengkapnya

Xiumin Bakar Semangat Exo-L di Saranghaeyo Indonesia

11 menit lalu

Xiumin Bakar Semangat Exo-L di Saranghaeyo Indonesia

Xiumin kemudian menyapa penonton dari balik layar. "Hey, yo! Halo," kata dia. Seketika sorakan penonton kembali menggema dan memenuhi ruangan.

Baca Selengkapnya

Gagasan Presidential Club Prabowo Disebut Bisa Cegah Tumbuhnya Brutus di Sekeliling Presiden

14 menit lalu

Gagasan Presidential Club Prabowo Disebut Bisa Cegah Tumbuhnya Brutus di Sekeliling Presiden

Partai Demokrat menyoroti mimpi SBY setahun lalu yang serupa dengan keinginan Prabowo membuat presidential club.

Baca Selengkapnya

AS: Israel Belum Sampaikan Rencana Komprehensif Soal Invasi Rafah

17 menit lalu

AS: Israel Belum Sampaikan Rencana Komprehensif Soal Invasi Rafah

Israel belum menyampaikan kepada pemerintahan Presiden Amerika Serikat Joe Biden ihwal "rencana komprehensif" untuk melakukan invasi terhadap Rafah.

Baca Selengkapnya

Suami Mutilasi Istri di Ciamis, Polisi Siapkan Tim Khusus Periksa Kejiwaan Tarsum

26 menit lalu

Suami Mutilasi Istri di Ciamis, Polisi Siapkan Tim Khusus Periksa Kejiwaan Tarsum

Tarsum mengakui telah membunuh dan memutilasi istrinya sendiri

Baca Selengkapnya

Mayoritas Dosen Bergaji di Bawah Rp 3 Juta, Begini Respons Pemerintah

26 menit lalu

Mayoritas Dosen Bergaji di Bawah Rp 3 Juta, Begini Respons Pemerintah

Serikat Pekerja Kampus (SPK) menyebut mayoritas dosen bergaji di bawah Rp 3 juta.

Baca Selengkapnya

indonesia Bakal Pamerkan Infrastruktur Hijau Dalam World Water Forum ke-10, Proyek Apa yang Menonjol?

34 menit lalu

indonesia Bakal Pamerkan Infrastruktur Hijau Dalam World Water Forum ke-10, Proyek Apa yang Menonjol?

Berbagai konsep dan realisasi infrastruktur energi hijau milik Pemerintah Indonesia bakal menampang di World Water Forum ke-10 di Bali.

Baca Selengkapnya

Pengamat: Proses Sidang Sengketa Pilpres di MK Membantu Redam Suhu Pemilu

34 menit lalu

Pengamat: Proses Sidang Sengketa Pilpres di MK Membantu Redam Suhu Pemilu

Ahli politik dan pemerintahan dari UGM, Abdul Gaffar Karim mengungkapkan sidang sengketa pilpres di MK membantu meredam suhu pemilu.

Baca Selengkapnya

Mulai Terganggu Netizen Julid, Abidzar Ingin Blokir dan Bikin Penggemar Sendiri

35 menit lalu

Mulai Terganggu Netizen Julid, Abidzar Ingin Blokir dan Bikin Penggemar Sendiri

Abidzar menanggapi komentar julid netizen yang mempersoalkan tato palsu dan adegan menggendong perempuan di video barunya.

Baca Selengkapnya

Jonatan Christie Menang, Tim Putra Indonesia Melangkah ke Final Piala Thomas 2024

38 menit lalu

Jonatan Christie Menang, Tim Putra Indonesia Melangkah ke Final Piala Thomas 2024

Jonatan Christie memastikan langkah Indonesia ke babak final Piala Thomas 2024 setelah memetik kemenangan atas Wang Tzu Wei.

Baca Selengkapnya