La Victime

Penulis

Senin, 24 April 2000 00:00 WIB

Yang jadi soal pada mulanya bukanlah maaf dan rekonsiliasi, melainkan kerendahan hati.Saya membayangkan wajah angkuh seorang laki-laki Arab di abad ke-6 yang menghunus pedang ke dekat leher Muhammad, yang sendirian di tengah malam itu, dan bertanya, "Siapa yang akan bisa melindungimu?" Saya membayangkan wajah itu terkejut, dan pedangnya terlepas, jatuh, ketika Sang Rasul, dengan suara tenang, menjawab, "Allah". Saya membayangkan ia terkesima, ketika kemudian Rasulullah, yang memungut pedang yang jatuh itu, dan sempat mengacungkan ujung senjata itu ke dada laki-laki itu, ternyata tak mencederainya, tak memberinya petuah, tapi hanya menyuruhnya pulang.

Apa gerangan yang dipikirkan laki-laki itu seraya berjalan pulang? Barangkali ia sadar betapa sembarangan sikapnya tadi: ia tak tahu, ada yang lebih kuasa pada nadi leher seorang lain—ya, ada yang lebih kuasa atas hidup dan mati ketimbang sejuta laki-laki yang menghunus pedang. Barangkali ia akhirnya mengerti kenapa Rasul Tuhan itu tak membunuhnya: ia juga tak merasa berkuasa. Pada saat seseorang merasa dapat menentukan nasib seorang lain, pada saat ia merasa bisa "menjengkal nyawa", pada saat itu ia mengangkat diri jadi Yang Mahakuasa. Kemanusiaan, dengan segala keterbatasannya, pun disisihkan: menghilangkan nyawa seseorang sama artinya dengan membinasakan semua manusia.

Barangkali laki-laki Arab di abad ke-6 itu juga mengerti bahwa Nabi hendak bersikap adil, juga kepada orang yang memusuhinya. Barangkali ia kemudian sampai pada kesimpulan bahwa keadilan bukanlah pembalasan. Mungkin akhirnya ia juga sempat menyaksikan sebuah saat yang sering dibanggakan dalam sejarah: kemenangan orang-orang muslim atas Mekah tak diikuti dengan pembasmian. Para bekas musuh itu tetap hidup di kota itu. Keadilan adalah sikap berimbang, karena keadilan adalah bagian dari sikap berhati-hati agar tak ada yang berkelebihan, juga dalam amarah.

"Berkelebihan", sebagaimana "pembalasan yang setimpal", tak bisa diartikan secara harfiah: rasa amarah hanya bisa benar-benar dianggap "berkelebihan" dan pembalasan bisa dengan tepat dinilai "setimpal" apabila rasa takut, rasa tertindas, dan rasa sakit bisa diukur. Tetapi bagaimana itu bisa diukur? Siapa yang akan mengukur? Di kamar penyiksaan, di tempat-tempat kekejaman, jerit itu tak bisa diringkaskan dengan kata-kata, dengan bahasa, dengan segala hal yang tumbuh dari konvensi. Rasa sakit itu, untuk memakai kata-kata Pramoedya Ananta Toer, adalah "nyanyi sunyi seorang bisu".

Pada akhirnya, seorang yang berdiri di hadapan orang lain akan berdiri tak gegabah. Ia datang tanpa sikap seorang perumus. Ia bukan seorang pengukur. Ia tak bisa mengacungkan pedang dengan lurus dan memutuskan: "Kau, hai kafir, telah bersikap kurang ajar 100 persen, maka kau harus kuhajar 100 persen." Ia bahkan sebenarnya tak bisa memastikan: "Kau telah mengacungkan pedang ke dekat leherku, sebab itu kau tentu hendak membunuhku…." Bukankah bisa saja dikatakan bahwa orang yang mengancam itu justru datang untuk menguji iman dan ketabahan?

Saya membayangkan wajah di abad ke-6 itu karena di hari-hari ini masa silam diingat (dan dibayangkan) hanya dengan kegetiran yang tak selesai-selesai. "Aku telah dianiaya di Badu sebelum tahun 1965," kata si Fulan. "Aku telah dianiaya di Fulan sejak tahun 1965," kata si Badu. Saya membayangkan peristiwa kecil di Jazirah Arab di abad ke-6 itu karena hari-hari ini ada suara bising, "la victim, c'est moi".

Hubris, atau takabur, sering datang dari pintu belakang. Tiba-tiba saja ia menyusup merasuki kita. Seperti seorang penguasa yang mengatakan, "Negara, itulah aku," seorang teraniaya yang menunjuk diri dan berkata "Sang korban, itulah aku" juga bersalah karena ia mengangkat diri sebagai pemegang monopoli atas ingatan dan percakapan. Memegang monopoli itulah yang dilakukan oleh "Orde Baru" dengan memermak buku sejarah sebagaimana para penyiksa memermak wajah para tapol. Dengan cara yang lain, itu juga yang dilakukan oleh si Fulan dan si Badu dalam benci mereka yang berkepanjangan.

Tapi bukankah harus dicatat: pengalaman yang dikenang adalah suatu pengalaman yang tak terbatas? Bukankah apa saja bisa saya timba dan saya bentuk dari dalamnya?

Menyadari hal ini adalah menyadari betapa bisa sewenang-wenangnya ingatan. Sebab itu, setiap tarikh memerlukan kebebasan. Di depan sejarah tiap orang perlu untuk bisa mengemukakan dan juga mempersoalkan tiap versi tentang masa lalunya. Tapi perlunya kebebasan itu bukan bertolak karena hak. Perlunya kebebasan itu berangkat dari kesadaran akan batas.

Maka, yang jadi soal bukanlah sejauh mana kita akan memaklumi masa lalu itu. Yang jadi soal pada mulanya bukanlah maaf dan rekonsiliasi, melainkan kerendahan hati. Bahkan dengan pedang di tangan, dengan hak untuk menghukum, kita tak bisa serta-merta menebas leher. Kita bisa bersalah, kita pernah bersalah.

Goenawan Mohamad

Berita terkait

Bahlil Bantah Cina Kuasai Investasi di Indonesia, Ini Faktanya

14 menit lalu

Bahlil Bantah Cina Kuasai Investasi di Indonesia, Ini Faktanya

Menteri Bahlil membantah investasi di Indonesia selama ini dikuasai oleh Cina, karena pemodal terbesar justru Singapura.

Baca Selengkapnya

Erupsi Gunung Ruang, Bandara Sam Ratulangi Belum Aman untuk Penerbangan

14 menit lalu

Erupsi Gunung Ruang, Bandara Sam Ratulangi Belum Aman untuk Penerbangan

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menyatakan Bandara Sam Ratulangi, Manado belum aman untuk penerbangan akibat erupsi Gunung Ruang.

Baca Selengkapnya

Kehidupan Warga Gaza Hancur Gara-gara Serangan Israel, Ini Detailnya

15 menit lalu

Kehidupan Warga Gaza Hancur Gara-gara Serangan Israel, Ini Detailnya

Jalur Gaza mengalami bencana kemanusiaan selama hampir tujuh bulan sejak serangan Israel sebagai balasan serangan Hamas 7 Oktober ke wilayahnya.

Baca Selengkapnya

Mayoritas Gaji Dosen di Bawah Rp 3 Juta, SPK: 76 Persen Terpaksa Kerja Sampingan

21 menit lalu

Mayoritas Gaji Dosen di Bawah Rp 3 Juta, SPK: 76 Persen Terpaksa Kerja Sampingan

Hasil riset Serikat Pekerja Kampus: sebagian besar dosen terpaksa kerja sampingan karena gaji dosen masih banyak yang di bawah Rp 3 juta.

Baca Selengkapnya

Jogja Fashion Week 2024 Bakal Libatkan 100 Produsen Fashion dan 112 Desainer

25 menit lalu

Jogja Fashion Week 2024 Bakal Libatkan 100 Produsen Fashion dan 112 Desainer

Puncak acara Jogja Fashion Week akan diadakan di Jogja Expo Center Yogyakarta pada 22 - 25 Agustus 2024.

Baca Selengkapnya

Kejati Bali Lakukan OTT Anggota Bendesa Adat yang Diduga Lakukan Pemerasan Investasi

27 menit lalu

Kejati Bali Lakukan OTT Anggota Bendesa Adat yang Diduga Lakukan Pemerasan Investasi

Kejati Bali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap oknum Bendesa Adat di Bali. Bendesa itu diduga melakukan pemerasan investasi.

Baca Selengkapnya

Hadiri Penetapan Caleg Terpilih di Solo, Gibran Berharap Bisa Merangkul Semua Kekuatan Politik

29 menit lalu

Hadiri Penetapan Caleg Terpilih di Solo, Gibran Berharap Bisa Merangkul Semua Kekuatan Politik

Gibran berharap Pemerintah Kota Solo dapat menjalin kerja sama yang baik dengan seluruh anggota DPRD.

Baca Selengkapnya

Israel Ancam Balas Dendam terhadap Palestina Jika ICC Keluarkan Surat Penangkapan Netanyahu

34 menit lalu

Israel Ancam Balas Dendam terhadap Palestina Jika ICC Keluarkan Surat Penangkapan Netanyahu

Israel mengancam melakukan pembalasan terhadap Otoritas Palestina jika ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Benjamin Netanyahu dan menteri-menterinya.

Baca Selengkapnya

Bryan Domani Perankan Sena di Film Temurun, Sebut Karakternya Jomplang dengan Kenyataan

38 menit lalu

Bryan Domani Perankan Sena di Film Temurun, Sebut Karakternya Jomplang dengan Kenyataan

Bryan Domani menyebut perannya sebagai kakak Yasamin Jasem di film Temurun berbeda jauh dengan kesehariannya dengan Megan Domani.

Baca Selengkapnya

Muhaimin Sebut 2 Kader Golkar Ini Daftar di PKB untuk Pilkada 2024

40 menit lalu

Muhaimin Sebut 2 Kader Golkar Ini Daftar di PKB untuk Pilkada 2024

Dua kader Golkar ini melamar jadi calon gubernur Banten dan Jakarta lewat PKB. Muhaimin Iskandar sebut belum jamin akan berkoalisi.

Baca Selengkapnya