Putu Setia, @mpujayaprema
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno telah berjasa menambah kosakata baru. Kini beredar luas kata tersebut: "tedjo", sinonim dari "tak jelas".
Begini riwayatnya. Tedjo Edhy menyebut pendukung KPK sebagai rakyat yang tidak jelas. "Konstitusi yang akan mendukung KPK, bukan dukungan rakyat yang tak jelas itu," kata dia. Kecaman ini lekas mental ke dirinya, sehingga dimulailah olok-olok panjang: "tedjo" disamakan dengan "tak jelas".
Mari maafkan Pak Menteri yang sangat minim jam terbang dalam dunia politik ini. Beliau mungkin tak begitu banyak bergaul dengan kalangan aktivis. Orang-orang yang mendukung KPK bukan saja jelas ketokohannya, tapi juga jelas pengikut dan pengaruhnya di masyarakat. Mereka tak mau KPK dilemahkan secara sistematis. Bahkan, dalam bahasa Jimly Asshiddiqie, KPK bukan lagi dilemahkan, melainkan mau dibubarkan. Dari empat pemimpin KPK yang ada saat ini, sudah tiga orang yang dipermasalahkan, yakni Abraham Samad, Bambang Widjojanto, dan Adnan Pandu Praja. "Pelemahan terlalu ringan. Ini upaya pembubaran," kata Jimly.
Presiden Joko Widodo sudah dua kali menanggapi kemelut KPK-Polisi ini. Pertama, di Istana Bogor setelah Bambang Widjojanto ditangkap. Penegasan presiden: gunakan jalur hukum. Yang kedua, di Istana Merdeka, Ahad malam, setelah meminta masukan pakar hukum dan para tokoh, presiden menegaskan: jangan ada kriminalisasi.
Penegasan presiden sama sekali tedjo (baca: tak jelas). Sangat normatif dan tak menawarkan jalan keluar. Sudah pasti polisi berdalih: ini didasari laporan masyarakat. Tapi kenapa kasus yang sudah lama ini mendadak muncul gara-gara laporan Sugianto Sabran, anggota DPR dari PDIP?
Tentu PDIP bermain. Mengapa tiba-tiba pelaksana tugas Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, membuka adanya pertemuan Abraham Samad dengan petinggi partai soal calon wakil presiden? Kalau pun pertemuan itu ada, di mana salahnya? Kalau pun juga ada yang salah, kenapa baru dibuka sekarang? Artinya, Hasto menyimpan kesalahan itu berlama-lama. Semua ini tak masuk akal kalau disebut sebagai "sebuah kebetulan" dan bukan upaya pelemahan KPK.
Pangkal kemelut KPK-Polisi ini sudah jelas gara-gara calon Kepala Polri, Budi Gunawan, yang ditunda pelantikannya oleh presiden. Lihat saja kengototan PDIP yang mendorong agar Budi Gunawan dilantik meski berstatus tersangka dari KPK. Andaikata Jokowi mau menarik pencalonan itu saat Budi dijadikan tersangka, tak akan meledak kisruh besar ini. Sayang, Jokowi dikelilingi menteri-menteri politik dan hukum dari partai pendukung, bukan dari kalangan profesional.
Situasi sekarang membuat negeri ini tedjo. Jokowi menjadi seorang pekerja kalau situasi politik tenang. Kalau suasana politik gonjang-ganjing, ia tak punya pengalaman sebagai politikus. Ia juga tanpa power. Celakanya, semua menteri dalam bidang politik berasal dari partai. Bahkan, dari sembilan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), tujuh orang berasal dari partai pendukung. Bagaimana mungkin Jokowi meminta pertimbangan dari orang partai yang sudah ngotot membela Budi Gunawan? Karena menteri dan Wantimpres tak berguna, Jokowi terpaksa mencari nasihat dari tokoh-tokoh luar.
Jika Jokowi mau tetap didukung rakyat, ia harus memilih: tunduk pada partai atau kehendak rakyat. Sebagai presiden, seharusnya Jokowi tak boleh hanya mendapat "jabatan", ia harus mendapat "kekuasaan". Jokowi adalah "presiden rakyat", bukan "petugas partai". *
Berita terkait
Setyo Wasisto: Jangan Adu Domba Polri dan KPK, Ini Tahun Politik
10 Oktober 2018
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto mengimbau agar polemik yang terjadi antara Polri dan KPK tak diperpanjang.
Baca SelengkapnyaKapolri Tito: Densus Tipikor Dibentuk Setelah Pansus KPK Reda
29 Desember 2017
Rencana Kapolri membentuk Detasemen Khusus (Densus) Antikorupsi akan dilanjutkan setelah perseteruan KPK dengan DPR mereda.
Baca SelengkapnyaDitanya Soal Cicak vs Buaya Jilid 4, Jubir KPK: Fokus Masing-Masing Saja
10 November 2017
Menurut Febri dalam tugas KPK menangani kasus-kasus besar, ada kemungkinan terganggu dengan berbagai hal baik isu hukum maupun non hukum.
Baca SelengkapnyaSPDP Pimpinan KPK, Direktur LBH: Indikasi Cicak Vs Buaya Jilid 4
10 November 2017
Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa mengatakan terbitnya SPD dua pimpinan KPK merupakan adanya indikasi Cicak versus Buaya jilid 4.
Baca SelengkapnyaSPDP Bos KPK Akan Picu Cicak vs Buaya 4: Kapolri Tito Menjawab
9 November 2017
Tito Karnavian menyampaikan komitmen tidak ingin membuat gaduh antara Polri dan KPK.
Baca SelengkapnyaPolri Minta Rencana Pendirian Densus Antikorupsi Tak Jadi Polemik
26 September 2017
Menurut Syafruddin, keberadaan Densus Antikorupsi akan menopang kinerja KPK, sebab fokus KPK adalah memicu pemberantasan korupsi.
Baca SelengkapnyaAktivis Anti Korupsi Usul Direktur Penyidikan KPK Dicopot
30 Agustus 2017
Aktivis mencatat tiga pelanggaran yang dilakukan Direktur Penyidikan KPK Brigjen Pol Aris Budiman.
Baca SelengkapnyaPenjelasan Kapolri Soal Telegram Rahasia
26 Desember 2016
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan jika ada yang berbuat satu, ada yang bermasalah satu, maka akan mempengaruhi citra institusi.
Baca SelengkapnyaTelegram Rahasia yang Dianggap Langkah Mundur Polisi
26 Desember 2016
Sumber Tempo menyebutkan surat telegram itu diterbitkan lantaran sejumlah polisi sedang terjerat masalah hukum di KPK.
Baca SelengkapnyaBebas, Akankah Antasari Azhar Terjun ke Politik?
10 November 2016
Antasari Azhar menyatakan ingin menjadi wartawan. "Biar kita saling tulis," katanya.
Baca Selengkapnya