Negeri Dua Nakhoda

Penulis

Senin, 2 Februari 2015 02:45 WIB

TEMPO.CO, Jakarta - Wiwin Suwandi, Pemerhati Tata Negara

Penegakan hukum di Indonesia kembali diuji. Ketegangan kembali muncul antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri setelah penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka, disusul penangkapan dan penahanan pimpinan KPK Bambang Widjojanto oleh Polri yang memantik reaksi dari masyarakat sipil. Ketegangan ini sebetulnya tidak perlu terjadi jika sedari awal Jokowi cerdas menggunakan kewenangannya sebagai Presiden.

Saat KPK menetapkan BG sebagai tersangka, ada dua opsi yang bisa diambil Jokowi. Pertama, Jokowi masih memiliki kesempatan untuk menarik surat pengusulan BG sebagai calon tunggal Kepala Polri saat KPK menetapkan BG sebagai tersangka dan sehari sebelum diadakannya fit and proper test di Komisi III DPR. Pertimbangannya, masa jabatan Sutarman selaku Kapolri masih tersisa sembilan bulan lagi hingga Oktober 2015, sehingga tidak mesti terburu-buru diganti.

Kedua, BG berbesar hati dan legawa menarik diri dari pencalonan untuk menunjukkan penghormatan terhadap proses hukum dan institusi Polri. Toh, dia masih bisa diusulkan sebagai Kepala Polri jika nanti tidak terbukti bersalah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Meski menyakitkan bagi BG, setidaknya keputusan ini akan mencegah potensi konflik KPK-Polri. Jokowi akan dipandang sebagai Presiden yang masih memiliki komitmen terhadap upaya pemberantasan korupsi, dan BG akan dipandang sebagai seorang jenderal negarawan.

Namun proses hukum dan politik sudah berjalan. Jokowi "terjebak" dalam kebuntuan politik dan hukum akibat ketidaktegasannya sedari awal. Memang betul, dalam hukum pidana berlaku asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). BG tetap dilantik meski berstatus tersangka. Namun patut juga dicamkan bahwa hukum tidak sesempit pasal dalam undang-undang. Di atas norma ada etika dan asas: asas keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Mungkin tidak adil bagi BG, tapi akan dilihat adil bagi institusi Polri.

Di mata publik, Jokowi menjadi "pesakitan" akibat ketidaktegasannya dalam mencegah konflik dua institusi penegak hukum. Jokowi terjebak di antara banyak kepentingan yang memanfaatkan konflik KPK-Polri. Di PDIP, ia hanyalah kader yang harus "nurut dan manut" kepada "tuannya". Kuasa konstitusional yang ia miliki sebagai presiden tumpul di hadapan kuasa partai.

Inilah apa yang disebut sebagai "negara dengan dua nakhoda". Secara konstitusional, Jokowi adalah presiden pilihan rakyat. Ia memenangi pemilihan presiden dengan suara yang signifikan. Tapi secara politik, ia hanyalah kader yang tidak bisa melawan kuasa partainya.

Jokowi tak berdaya di atas kuasa oligarki yang diatur barisan demagog di belakangnya. Demagog ini menjadi "tangan gaib" (the invisible hand) yang mengatur agenda politik hukum sesuai dengan kepentingannya. Konflik KPK-Polri hanyalah agenda kecil di balik skenario besar pelemahan KPK.

Publik pantas untuk marah dan menuntut Presiden Jokowi turun tangan. Desakan ini wajar jika mengacu pada narasi konstitusional. UUD 1945 menempatkan Presiden sebagai pemegang tertinggi kekuasaan pemerintahan negara. Ia memegang kendali atas TNI dan Polri.

Saat ini situasi sudah mengarah pada kondisi ketidakpercayaan (distrust) rakyat kepada pemimpinnya. Sudah saatnya Jokowi membuktikan bahwa ia mengabdi untuk bangsa dan negara, bukan kepada kepentingan politik yang menyanderanya di belakang layar.


Berita terkait

Setyo Wasisto: Jangan Adu Domba Polri dan KPK, Ini Tahun Politik

10 Oktober 2018

Setyo Wasisto: Jangan Adu Domba Polri dan KPK, Ini Tahun Politik

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto mengimbau agar polemik yang terjadi antara Polri dan KPK tak diperpanjang.

Baca Selengkapnya

Kapolri Tito: Densus Tipikor Dibentuk Setelah Pansus KPK Reda

29 Desember 2017

Kapolri Tito: Densus Tipikor Dibentuk Setelah Pansus KPK Reda

Rencana Kapolri membentuk Detasemen Khusus (Densus) Antikorupsi akan dilanjutkan setelah perseteruan KPK dengan DPR mereda.

Baca Selengkapnya

Ditanya Soal Cicak vs Buaya Jilid 4, Jubir KPK: Fokus Masing-Masing Saja

10 November 2017

Ditanya Soal Cicak vs Buaya Jilid 4, Jubir KPK: Fokus Masing-Masing Saja

Menurut Febri dalam tugas KPK menangani kasus-kasus besar, ada kemungkinan terganggu dengan berbagai hal baik isu hukum maupun non hukum.

Baca Selengkapnya

SPDP Pimpinan KPK, Direktur LBH: Indikasi Cicak Vs Buaya Jilid 4

10 November 2017

SPDP Pimpinan KPK, Direktur LBH: Indikasi Cicak Vs Buaya Jilid 4

Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa mengatakan terbitnya SPD dua pimpinan KPK merupakan adanya indikasi Cicak versus Buaya jilid 4.

Baca Selengkapnya

SPDP Bos KPK Akan Picu Cicak vs Buaya 4: Kapolri Tito Menjawab

9 November 2017

SPDP Bos KPK Akan Picu Cicak vs Buaya 4: Kapolri Tito Menjawab

Tito Karnavian menyampaikan komitmen tidak ingin membuat gaduh antara Polri dan KPK.

Baca Selengkapnya

Polri Minta Rencana Pendirian Densus Antikorupsi Tak Jadi Polemik

26 September 2017

Polri Minta Rencana Pendirian Densus Antikorupsi Tak Jadi Polemik

Menurut Syafruddin, keberadaan Densus Antikorupsi akan menopang kinerja KPK, sebab fokus KPK adalah memicu pemberantasan korupsi.

Baca Selengkapnya

Aktivis Anti Korupsi Usul Direktur Penyidikan KPK Dicopot  

30 Agustus 2017

Aktivis Anti Korupsi Usul Direktur Penyidikan KPK Dicopot  

Aktivis mencatat tiga pelanggaran yang dilakukan Direktur Penyidikan KPK Brigjen Pol Aris Budiman.

Baca Selengkapnya

Penjelasan Kapolri Soal Telegram Rahasia

26 Desember 2016

Penjelasan Kapolri Soal Telegram Rahasia

Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan jika ada yang berbuat satu, ada yang bermasalah satu, maka akan mempengaruhi citra institusi.

Baca Selengkapnya

Telegram Rahasia yang Dianggap Langkah Mundur Polisi

26 Desember 2016

Telegram Rahasia yang Dianggap Langkah Mundur Polisi

Sumber Tempo menyebutkan surat telegram itu diterbitkan lantaran sejumlah polisi sedang terjerat masalah hukum di KPK.

Baca Selengkapnya

Bebas, Akankah Antasari Azhar Terjun ke Politik?  

10 November 2016

Bebas, Akankah Antasari Azhar Terjun ke Politik?  

Antasari Azhar menyatakan ingin menjadi wartawan. "Biar kita saling tulis," katanya.

Baca Selengkapnya