Penolakan terhadap perkataan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo soal pengosongan kolom agama dalam kartu tanda penduduk mulai berlebihan. Menyebar pula kebohongan-kebohongan. Satu di antara suara-suara yang mengecam bahkan menyebutkan praktek tak mencantumkan agama dalam kartu identitas hanya berlaku di negara komunis.
Kesan yang timbul, ucapan Tjahjo telah meletupkan keadaan genting. Padahal, sebenarnya, apa yang dikemukakan Tjahjo pada pekan lalu itu hanya petunjuk praktis bagi para penghayat aliran kepercayaan dan pemeluk agama di luar tujuh agama resmi dalam kaitan pengisian KTP. Menurut kebiasaan yang berlaku, mereka merasa dipaksa menuliskan satu dari ketujuh agama itu. Pada prakteknya, penyebutan ini justru membuat mereka diperlakukan diskriminatif. Misalnya, dipaksa mengikuti pendidikan agama tertentu di sekolah.
Dalam pernyataannya, Tjahjo menegaskan, para pemeluk kepercayaan dijamin tak akan dipaksa mengikuti agama yang diakui pemerintah saat membuat KTP. Menurut dia, bukan masalah bila mereka mengosongkan dulu kolom agama sampai ada jalan keluar, terutama yang berkaitan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Untuk itu, dia berjanji akan berkoordinasi dengan Kementerian Agama; Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; para tokoh agama, serta organisasi masyarakat.
Poin tentang opsi yang bisa ditempuh para pemeluk kepercayaan dan penganut agama lain saat membuat KTP itulah yang, entah kenapa, berubah menjadi ide tentang penghapusan kolom agama. Kabar yang kencang beredar menyebutkan seolah-olah itulah yang memang diinginkan Tjahjo.
Yang merisaukan, betapa semua protes bertumpu sepenuhnya pada informasi versi "editan" yang terus memuat tambahan pelintiran. Boleh dibilang tak ada satu pun yang mau, misalnya, memeriksa ulang pernyataan Tjahjo yang sebenarnya. Seperti yang sudah-sudah, tak ada pula yang mau mengecek bagaimana ketentuan hukum yang berlaku tentang pengisian KTP.
Jika sedikit mau repot, soal mengosongkan kolom agama sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013, yang merupakan perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Pada Pasal 64 (5) disebutkan: "...bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi dilayani dan dicatat dalam database kependudukan." Dengan kata lain, Tjahjo hanya menyampaikan apa yang sudah gamblang ditetapkan undang-undang.
Sangat disayangkan, perilaku asal berkomentar, juga sembarang menyebarkan informasi yang menyesatkan di media sosial, itu datang pula dari para elite--politikus, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, atau petinggi organisasi masyarakat. Mustahil mereka tak tahu-menahu akibatnya. Jika demikian halnya, tak keliru jika ada pihak yang menangkap kesan mereka sengaja mengipas-ngipas isu yang di negeri ini sangat mudah terbakar itu.