Mahkamah Agung seharusnya tidak perlu mengubah vonis Wawan alias Awing dari pidana seumur hidup menjadi hukuman mati. Walau dibenarkan oleh undang-undang, putusan majelis kasasi yang diketuai oleh Gayus Lumbuun ini tak sesuai dengan konstitusi.
Gayus berargumen, hukuman penjara seumur hidup-vonis di pengadilan tingkat pertama dan banding-kurang memberikan efek jera. Apalagi, perbuatan terdakwa amat kejam. Wawan merampok Fransisca Yofie, kemudian menyeret wanita ini di jalanan di Bandung dengan menggunakan sepeda motor, tahun lalu. Korban akhirnya tewas.
Hanya, efek jera yang dimaksudkan Gayus tentu ditujukan bagi calon pelaku kejahatan serupa, bukan untuk terdakwa. Jika efek ini yang dijadikan argumen, tidaklah relevan. Hukuman mati tak akan mengurangi kejahatan sadistis. Kajian Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1998 dan 2002 secara konsisten menunjukkan bahwa dua hal itu tidak memiliki korelasi.
Di Amerika Serikat, yang masih menerapkan vonis mati, angka kejahatan sadistis tidak menurun. Sebaliknya, di Kanada, yang telah menghapus hukuman ini, angka kejahatan serupa justru menyusut. Kanada termasuk 88 negara yang sudah menghapus hukuman mati. Terdapat 30 negara yang masih mencantumkan pidana ini tapi menghentikan penerapannya. Adapun Indonesia termasuk dalam 68 negara yang masih menggunakan jenis hukuman ini.
Ancaman hukuman mati di negara kita dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan sejumlah undang-undang yang lain. Gayus Lumbuun bersama dua anggota majelis kasasi-Artidjo Alkostar dan Margono-menggunakan Pasal 365 ayat 4 KUHP untuk memvonis Wawan. Pasal perampokan dengan korban meninggal ini memang memuat ancaman pidana mati. Gayus sebelumnya juga menjatuhkan vonis mati untuk pelaku kejahatan serupa. Di antaranya Pastor Herman Jumat Masan yang terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap suster dan anaknya.
Pemberlakuan hukuman mati menggambarkan betapa tatanan hukum tidak sejalan dengan konstitusi. Pasal 28-A dan 28-I Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamendemen jelas menegaskan bahwa setiap orang berhak hidup, dan hak itu tak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun. Kita juga sudah menandatangani Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang memposisikan hak hidup sebagai hak setiap manusia.
Upaya menghapus pidana mati sudah dilakukan lewat uji materi di Mahkamah Konstitusi, tiga tahun lalu, tapi kandas. MK memutuskan hukuman mati tetap diperbolehkan, dengan catatan ada tidak hakim konstitusi yang berbeda pendapat. Cara lain untuk menghapus ketentuan hukuman mati adalah dengan merevisi undang-undang yang mengandung pasal-pasal maut. Inilah yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Perbuatan Wawan, juga puluhan terpidana mati lain yang kini menunggu dieksekusi, jelas biadab. Tapi, bila penghukuman bertujuan menimbulkan efek jera dan bukan nafsu untuk balas dendam, pidana mati bukanlah jawaban.