Sikap Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edy Purdijatno kebablasan. Ia terkesan menyarankan agar polisi tidak memberikan izin penyelenggaraan Musyawarah Nasional Partai Golkar yang digelar kubu Aburizal Bakrie di Bali. Pernyataan ini bisa dianggap sebagai intervensi pemerintah terhadap urusan internal partai politik.
Pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang seakan membenarkan sikap Menteri Tedjo semakin memperlihatkan ketidaknetralan pemerintah. Kalla seharusnya bisa membedakan posisinya sebagai tokoh Golkar dan sebagai pejabat negara. Sebagai tokoh partai, ia bisa berpolitik. Tapi ia tidak boleh menggunakan kekuasaannya untuk mempengaruhi proses politik di partai. Campur tangan pemerintah justru akan memperkeruh konflik antara kubu Aburizal dan kubu Agung Laksono di Partai Golkar.
Perseteruan itu meruncing setelah kubu Agung mengambil alih rapat pleno di kantor Partai Golkar di Slipi, Jakarta. Wakil Ketua Umum Golkar ini juga membentuk presidium penyelamat partai sekaligus memecat Aburizal dari jabatan ketua umum partai. Perubahan kepengurusan ini kemudian dilaporkan ke Kementerian Hukum.
Agung pun menetapkan Musyawarah Nasional Golkar diselenggarakan sesuai dengan jadwal semula, yakni Januari 2015. Keputusan ini berbeda dengan rencana kubu Aburizal, yang akan segera menggelar munas pada 30 November di Bali.
Menteri Tedjo, yang berkeberatan atas penyelenggaraan Munas Golkar di Bali, khawatir akan adanya kekacauan atau kerusuhan yang bisa mengganggu aktivitas pariwisata. Alasan ini terkesan mengada-ada. Justru pemerintah harus menjaga agar tidak ada aksi anarkistis dalam pertemuan itu. Sebagai pejabat pemerintah, seharusnya Tedjo menjamin kebebasan kelompok mana pun untuk mengadakan pertemuan.
Sikap yang sama juga diberlakukan terhadap kubu Agung Laksono, yang akan mengadakan munas pada Januari 2015. Pemerintah tidak bisa melarang kegiatan ini, bahkan harus menjaga kelompok Agung dari kemungkinan diganggu oleh kubu Aburizal Bakrie.
Sesuai dengan Undang-Undang Partai Politik, pemerintah tidak bisa menggunakan fungsinya sebagai pemberi legalitas kepengurusan ketika partai sedang bertikai. Artinya, kepengurusan yang disodorkan oleh Agung kepada Menteri Hukum tak bisa dijadikan pegangan. Konflik itu lebih baik diselesaikan sendiri oleh partai. Jika tidak menemukan titik temu secara politik, kelompok yang bertikai bisa membawa masalah ini ke pengadilan.
Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla memang membutuhkan sokongan partai untuk menambah kekuatan politiknya di parlemen. Perubahan kepemimpinan di Golkar yang kini beroposisi terhadap pemerintah memungkinkan partai ini berubah haluan. Tapi para petinggi pemerintah sebaiknya menahan diri dengan tidak mencampuri urusan internal partai seperti sering terjadi pada era Orde Baru. Demokrasi akan rusak bila pola lama dipraktekkan lagi.