BAIKLAH saya bercerita tentang tentara dan orang-orang yang diam. Ada satu kejadian di Desa Tablanusu di Kecamatan Depapre, sekitar 60 kilometer dari Jayapura di Papua Barat. Di sana pernah ada sebuah pos militer. Selama dua tahun lamanya prajurit TNI hadir, karena di Tanah Merah konon begitu kuat suara yang menginginkan pemberontakan. Sejumlah prajurit tinggal, berjaga-jaga, di antara rakyat setempat. Pergaulan dengan rakyat itu tak luar biasa akrab, tapi tak ada konflik yang meletik. Prajurit-prajurit itu membantu membangun rumah guru. Mereka juga mencoba menghormati adat. Pada suatu hari, ketika mereka ketahuan sering pergi berburu burung dengan bedil, para tetua datang menegur mereka--dan mereka menurut. Mungkin komandan mereka percaya akan ajaran yang diambil dari zaman gerilya dulu, rakyat adalah air, tentara adalah ikan.Agustus 2000, pos tentara itu ditutup. Para prajurit ditarik. Yang ditinggalkan hanya sebuah monumen dari semen. Tugu itu dibangun untuk mengingat kehadiran mereka. Tapi, begitu mereka pergi, penduduk melakukan sesuatu yang mengejutkan: monumen itu dihancurkan. Bersama papan nama pos militer yang dicampakkan, puing dibiarkan terserak. Seakan-akan runtukan itu telah jadi monumen tersendiri: sebuah peringatan tentang rasa tak suka yang terpendam. Prajurit-prajurit itu: apa yang akan mereka katakan tentang tentara dan etidaksukaan orang? Barangkali hari telah berganti: ada yang dulu tak diketahui dan kini dikemukakan. Mereka yang bersenjata selama ini tak pernah tahu bahwa kiasan tentang ikan dan air adalah kiasan yang menyesatkan. Rakyat bukan air, bentuk cair hidrogen dan oksigen yang hadir pasif. Rakyat--kalangan mana pun yang bisa disebut demikian--juga butuh zat asam dan perlu ruang. Mereka juga sejenis ikan, di sebuah dunia yang tak pasti dan selalu dalam keterbatasan. Dan tentu saja: ketika ada ikan yang memegang senjata dan ada yang tidak, ketakpastian dan keterbatasan itu jadi sumber rasa waswas yang panjang. Siapa yang lebih kuat--juga ketika dia tersenyum manis--akan terasa mengancam. Mungkin merebut. Terutama ketika tak ada sesuatu pun (kecuali petuah dan dongeng kebaikan hati) yang menghalangi mereka untuk mengancam dan merebut. Dan di Indonesia, betapa sering ancaman dan perebutan itu terjadi--atas nyawa, atas tanah, atas hak berbicara. Rakyat bukan air dan tentara bukan ikan, karena ikan tak pernah akan bersengketa dengan air. Tapi sejarah bisa bercerita bahwa prajurit-prajurit sering berbenturan dengan penduduk yang tak terlatih bersenjata, dan kita tak pernah lupa bahwa dalam hidup keduanya tak ada yang yang ajek seperti hidup ikan dan air. Senjata mengubah manusia, sebagaimana manusia mengubah senjata. Di Cina, mungkin sekitar abad ke-5 sebelum Masehi, mungkin sebelum zaman Han, sebuah senjata baru ditemukan: busur silang. Menggunakannya hampir segampang orang sekarang menggunakan pistol. Tak diperlukan tenaga istimewa untuk mengokang dan membidikkannya, apalagi setelah di awal abad ke-11 seorang bernama Li Ting menemukan sanggurdi yang memungkinkan si busur direntangkan dengan otot kaki. Kepraktisan ini punya dampak: bila buat menggunakan busur panjang secara efektif seseorang harus berlatih memanah bertahun-tahun, buat menguasai keterampilan menembakkan busur silang seorang hanya perlu dilatih beberapa jam. Maka tak perlu kelompok manusia yang khusus. Tak perlu berkembang kaum samurai seperti di Jepang untuk menjadi teknisi kekerasan. Tak ada kasta jagoan yang punya privilese. Bahkan Wang An-Shih, seorang menteri di abad ke-11, mengatakan sesuatu yang seakan-akan kebenaran: Orang berpendidikan akan memandang rendah orang-orang yang membawa senjata. Memang, ketika perang disiapkan, mereka yang membawa senjata tak lebih menentukan ketimbang mereka yang memproduksikan senjata. Sebuah buku sejarah tentang teknologi, tentara, dan masyarakat,
The Pursuit of Power, oleh William H. McNeill, menyebutkan bahwa busur silang yang sederhana itu justru memerlukan kemampuan teknis yang piawai untuk membuatnya. Juga: bahan dasar yang cukup yang harus didatangkan dari jauh--terutama jika ada sejuta prajurit yang harus dipersenjatai. Ekonomi pasarlah yang bisa memungkinkan arus suplai yang deras. Dengan kata lain, sebuah peperangan juga mengerahkan tukang yang ahli dan saudagar yang bersemangat, dan sebuah pemerintahan yang bisa mengelola semuanya. Prajurit adalah peran yang sekunder. Seandainya kita prajurit di hari ini, akan bertanyakah kita kenapa peran itu justru terlukis dahsyat? Memang, kian canggih dan rumit senjata, kian diperlukan latihan yang cukup. Kian kompleks kombinasi alat-alat pembunuhan, kian dibutuhkan kemampuan manjerial yang tinggi. Di situ tentara punya kelebihan. Sebab itu pula prajurit-prajurit sering membawa mimpi praetorian: mimpi orang bersenjata yang merasa layak memimpin orang yang tak bersenjata. Tapi benarkah? Indonesia punya catatan panjang: para teknisi kekerasan cenderung membawa takbiat kekerasan ke dalam sebuah ruang yang lebih sering tak memerlukan kekerasan. Seorang tentara yang baik, yang biasa melibas dengan tegas dan dengan cepat, memang harus sempit pandang, serba curiga, tak sabar--juga di depan hidup yang luas dan sering tak jelas. Seorang jenderal yang baik adalah seorang yang seperti garis lurus, dan seperti kata Pangeran Andrew dalam
Perang dan Damai Tolstoy, haram baginya untuk berpikir tentang apa yang adil dan tak adil. Terlalu rumit.
Goenawan Mohamad