Fanatis, Penipu, dan Ekonom

Penulis

Sabtu, 7 Februari 2015 02:17 WIB

TEMPO.CO, Jakarta - Jean-Marie Guéhenno, mantan Wakil Sekretaris Jenderal PBB urusan Penjagaan Perdamaian

Di seantero dunia tampaknya krisis tengah mencengkeram politik di banyak negara. Dalam pemilu demi pemilu, besaran peserta pemilih terus merosot.Politikus di mana-mana dicerca. Partai politik, yang berusaha tetap relevan dalamsituasi yang buruk ini,terpaksa memilih untuk melacurkan diri dalam ekstremisme atau berisiko tenggelam dalam gerakan populis anti-kemapanan.

Belum pernah terjadi sebelumnya sejak berakhirnya Perang DuniaII, bahwa uangtelah memainkan peran yang begitu penting dalam politik, mengalahkan kekuatan ide.Di Amerika Serikat, misalnya,gemerincing miliaran dolar yang mengalir ke dalampundi-pundi dana kampanye pemilu menenggelamkan suara pemilih.Di bagian dunia di manarule of lawlemah,jaringan kriminal dan korupsimenggantikan proses demokratis.

Pendeknya, upaya mengejar kebaikan kolektif itu tampak aneh. Kondisi ini mulai terjadi padaakhir Perang Dingin ketika runtuhnya ideologi komunis yangbangkrut itudengan mudahnya ditafsirkan sebagai kemenangan pasar. Sementara itu, komunisme dicampakkan, begitu pula yang terjadi dengan konsep negara sebagai agen di mana ambisi dan kepentingan kolektif kita bisa diupayakan.

Individu menjadi agen utama perubahan-individu dianggap sebagai tipe aktor rasional yang menjadi model ekonom. Identitas individu seperti ini bukan bersumber dari kepentingan kelas atau karakteristik sosiologis lainnya, melainkan dari logika pasaryang mendikte maksimalisasi kepentingan sendiri, apakah itu sebagai produsen, konsumen, atau pemilih.

Sesungguhnya, ekonom telah diletakkan di sebuahtumpuan dandiabadikan dalam lembaga-lembaga sepertibank sentral dan otoritas persaingan yang telah dengan sengajadipisahkan dan dibuat independen dari politik. Akibatnya,pemerintah telah ditempatkan pada posisi pinggiran alokasi sumber daya pasar.

Krisis finansial global yang terjadi pada2008 karena resesi dankesenjangan pendapatan yang makin melebar dengan cepat serta ketidaksetaraan kekayaan telah menusukgelembung kemenangan ekonom itu. Politik, bukannya bangkit untuk menempati kedudukannya, terus didiskreditkan, sementara para pemimpin utamanya-terutama di Amerika Utara dan Eropa-mengemukakan teori-teori ekonomi untuk membenarkan pilihan-pilihan kebijakannya.

Upaya mengejar pencapaian individu merupakan lambang masa kini yang memudarkan dimensi kolektif nasib manusia. Namun kebutuhan mendalam manusia untuk menjadi bagian dari suatu kelompok masih belum sirna. Ia tetap ada, tapi tanpa salurankeluar yang kredibel. Proyek-proyek nasional tidak bergema dan apa yang dinamakan masyarakat internasional itu tetap merupakansesuatu yang abstrak. Hasrat terbentuknya komunitas yang tidak terpenuhi ini dapat dirasakan dengan akut terutama oleh generasi muda-termasuk, misalnya, oleh jihadis-jihadis muda.

Sesungguhnya, politikus-politikus jihadis dan tokoh-tokoh agama adalah mereka yang pertama megenali kekosongan ini, dan mereka dengan cepat mengisinya. Paus Fransiskus, Vladimir Putin, Abu Bakr al-Baghdadi, dan Marine Le Pen tidak memiliki persamaan satu sama lain. Tapi mereka berbagi satuwawasan:dambaan terciptanya komunitas yang didukung oleh nilai-nilai yang sama,bukan oleh kebutuhan fungsional.

Krisis politik di banyak negara yang terjadisaat ini punya konsekuensi yang menggema jauh melintasi batas negara. Nasionalisme yang sempit dan fundamentalisme agama akan tetap ada, dan bersamanya terorismedipeluk ekstremis dari segala kelompok, karena kedua fenomena ini memang sesuaidengan zaman individu:ia memberikan jawaban imajiner pada angstindividu, bukan jawaban politik atas tantangan kolektif yang ada. Tidak berbentuknya gerakan-gerakan ini-yang sering disalurkan melalui tokoh-tokoh yang karismatik-memungkinkan setiap individu memproyeksikanimpiannya pada gerakan-gerakan itu, sehingga membuatnya sulit dilawan dalam kerangka politik tradisional.

Jika politik hendak mengambil kembaliladang nilai-nilai itu dari kelompok-kelompok fanatis, penipu, dan ekonom itu, ia harus dibangun kembali dari bawah.Lebih dari separuh populasi dunia sekarang hidup di kota-kota, dan setiap kebangkitan kembali politik harus mampu mengimbangi daya tarik komunitas-komunitas maya yang besar itu dengan masyarakat-masyarakat kota yang pegas. Masyarakat harus dilibatkan dalam proses politik, diberikan pendidikan mengenai soal-soal publik, dan dibekali platform yang riil, (bukan yang maya semata) untuk menyuarakan perbedaan dan memperdebatkan pandangan- pandangan alternatif.

Tapi yang paling utama, politikus-politikus jangan lagi mencoba menopang kredibilitasnya yang sudah merosot itu dengan kepura-puraanilmu ekonomi. Politik dimulai di mana ekonomi kontemporerberakhir-dengan etika dan upaya menciptakan suatu masyarakat yang teratur dengan adil.


Berita terkait

6 Tuntutan Aksi Mahasiswa Mei 1998, Reformasi Sudah Selesai?

12 Mei 2023

6 Tuntutan Aksi Mahasiswa Mei 1998, Reformasi Sudah Selesai?

Para mahasiswa pada aksi unjuk rasa Mei 1998 menyuarakan 6 tuntutan dalam reformasi. Apakah hari ini sudah selesai?

Baca Selengkapnya

Kesepakatan dengan IMF Alot, Presiden Kais Saied Sebut Tunisia Bukan untuk Dijual

8 April 2023

Kesepakatan dengan IMF Alot, Presiden Kais Saied Sebut Tunisia Bukan untuk Dijual

Presiden Saied menolak pemaksaan lebih jauh dari IMF karena bisa mengarah pada kemiskinan yang lebih lanjut di Tunisia.

Baca Selengkapnya

Peru Terperosok ke Krisis Politik, Unjuk Rasa Berubah Jadi Kerusuhan

14 Desember 2022

Peru Terperosok ke Krisis Politik, Unjuk Rasa Berubah Jadi Kerusuhan

Setidaknya tujuh orang tewas dalam unjuk rasa di Peru akhir pekan lalu saat aksi protes berubah menjadi kerusuhan.

Baca Selengkapnya

Krisis Politik di Myanmar Jadi Sorotan di Pertemuan AMM

5 Agustus 2021

Krisis Politik di Myanmar Jadi Sorotan di Pertemuan AMM

Menteri Luar Negeri RI secara terbuka menyebut isu Myanmar menjadi masalah yang paling banyak di bahas di pertemuan AMM

Baca Selengkapnya

Netanyahu Perkenalkan Kabinet Baru ke Parlemen Israel

18 Mei 2020

Netanyahu Perkenalkan Kabinet Baru ke Parlemen Israel

PM Netanyahu dan rival politik Benny Gantz membentuk koalisi pemerintahan baru bersatu untuk mengakhiri konflik politik berkepanjangan.

Baca Selengkapnya

Krisis Turki, Bagaimana Dampaknya Terhadap Pasar Modal Indonesia?

13 Agustus 2018

Krisis Turki, Bagaimana Dampaknya Terhadap Pasar Modal Indonesia?

Risiko sistemik dikhawatirkan akan mengakibatkan krisis Turki mempengaruhi IHSG.

Baca Selengkapnya

Perludem Sebut Anak Muda Masih Jadi Penonton Politik

25 Maret 2018

Perludem Sebut Anak Muda Masih Jadi Penonton Politik

Perludem pun menilai sistem politik yang ada di Indonesia tak ramah bagi anak muda sehingga mereka sulit terjun di dunia politik.

Baca Selengkapnya

Jokowi: 6 Bulan Terakhir Kita Buang-buang Energi Tidak Berguna

23 Mei 2017

Jokowi: 6 Bulan Terakhir Kita Buang-buang Energi Tidak Berguna

Presiden Jokowi mengatakan, 6-8 bulan ini, energi dihabiskan untuk banyak hal tidak berguna, saling hujat, berdebat, dan membuat suhu politik memanas.

Baca Selengkapnya

SBY: Jika Hanya Pentingkan Stabilitas Politik, Hati-hati  

8 Februari 2017

SBY: Jika Hanya Pentingkan Stabilitas Politik, Hati-hati  

SBY mengatakan pemerintah harus berhati-hati jika negara hanya menekankan aspek stabilitas politik.

Baca Selengkapnya

Analis Politik: Situasi Memanas, Jokowi Harus Lakukan Ini  

2 Februari 2017

Analis Politik: Situasi Memanas, Jokowi Harus Lakukan Ini  

Pertarungan Joko Widodo adalah kepada siapa saja yang berdiri di seberang kepentingan negara dan bangsa.

Baca Selengkapnya