Saya tak tahu bagaimana saya harus melihat bagian bumi ini: luas, tak saya kenal, dengan rimba dan gunung tinggi yang keras dan penduduk perkasa yang terdiam. Wilayah itu ada di peta Indonesianegeri yang begitu penting bagi hidup sayasejak saya kecil. Saya menyanyi Dari Sabang sampai Merauke. Tapi saya menyanyikannya bukan dengan rasa bangga akan sebuah jangkauan geografis yang besar yang mungkin tak berfaedah. Saya menyanyikannya dengan rasa syukur yang berseru, "Kita juga punya saudara, nun di situ." Lagu itu sebuah salam.
Tapi saya tak tahu adakah salam itu berbalas. Bagian bumi itu disebut "Papua", kemudian "Irian Barat", kemudian "Irian Jaya", kemudian "Papua". Tampaknya sebuah wilayah tak pernah bisa memilih namanya sendiri. Yang memilih adalah para pembesar yang menyukai retorika dan para ahli kartografi yang tak ingin khilaf. Mungkin penamaan adalah bagian dari pendaftaransebuah urusan administrasiatau sebuah proyek kemenangan dan kekuasaan.
Sejarah, yang menghimpun cerita dari pelbagai peristiwa, juga sering berangkat dari sebuah nama. Maka, tentang bagian bumi nun di timur itu, saya mungkin hanya bisa mengatakan dengan batas pandang yang telah terbentuk oleh sejarahmeskipun dari sebuah pengalaman khusus: pada suatu hari di tahun 1927, seorang kakak saya lahir di Tanah Merah, ketika orang tua saya dibuang ke Digul oleh pemerintah kolonial Belanda.
Jika saya kini menulis dengan sedih tentang Papua, sebab ada kaitan sejarah yang pribadi antara kami dan dia. Tapi kaitan itu tak terlepas dari sejarah orang ramai: pemerintah yang membikin koloni di sebelah timur itu, tempat kakak dilahirkan, juga pemerintah yang menguasai di sebelah barat, tempat saya dibesarkan.
Tentu jauh, tentu berbeda. Tapi sejarah yang saya kenal agaknya bisa melintasi segala kejauhan dan perbedaan itu. Tapi hanya masa lalukah yang menentukan? Tidak. Michael Richardson menulis dalam International Herald Tribune, (1 Desember, 2000): Papua Barat itu, katanya, "hanya punya sedikit pertalian sejarah, etnis, linguistik, dan religius dengan bagian lain kepulauan Indonesia". Ia benar. Tapi hal yang sama bisa dikatakanbahkan dengan lebih tegastentang tipisnya pertalian sejarah, etnis, linguistik, dan religius antara Hawaii dan Connecticut.
Dengan kata lain, Indonesia, seperti halnya Amerika Serikat, berdiri karena satu daya yang oleh Ernest Renan disebut "melupakan". Yang "dilupakan" adalah tipisnya pertalian antar-pelbagai komponen kebangsaan. Yang "dilupakan" adalah besarnya perbedaan latar belakang yang bermacam ragam. Yang dikehendaki adalah kebersamaan. Dalam retorika kaum nasionalis: "persatuan".
Tapi nasionalisme di awal abad ke-21 jadi mandul, ketika "persatuan" itu pada akhirnya hanya masalah kekuatan. Lihat sapu lidi, kata setiap nasionalis. Jika lidi itu tercerai-berai, masing-masing mudah dipatahkan, tapi jika mereka bertaut dalam satu buhul, yang bersatu itu akan teguh. Tapi untuk apa keteguhan itu, ketika perang, pasukan, dan perbatasan kian lama kian tak relevan? Perubahan dunia yang terbesar dalam dua dasawarsa terakhir ialah meluasnya kesadaran, bahwa kehebatan sebuah negeri bukan karena tentara yang dahsyat dan peta yang luas, tapi karena perdaganganbahkan perdagangan yang terbuka.
Nasionalisme dewasa ini, khususnya di Indonesia, bahkan jadi beracun ketika ia kehilangan momen ethisnya sendiri. Dulu, ketika kita "melupakan", kita sebenarnya membuka diri. Ketika Sumpah Pemuda diucapkan di tahun 1928, ketika para pemuda yang datang dari daerah yang berbeda dan berjauhan itu ingin "melupakan" kedaerahan mereka dan menjadi "satu bangsa", waktu itu yang berlangsung adalah kesediaan setiap "aku" untuk menjabat tangan apa yang "bukan-aku", yang lain, yang berbeda. Pada saat itu juga "aku" bukanlah sesuatu yang final dan menentukan. Jabat tangan terjadi karena perbedaan "aku" dan "bukan-aku" itu tak mutlak. Perbedaan itu tak kekal, tak mandek, tak stabildan mungkin kita di sini tak menggunakan kata difference, melainkan, seraya mengikuti Derrida, différance.
Nasionalisme Indonesia melupakan différance itu ketika perbedaan dan persatuan ditegakkan sebagai sesuatu yang stabil. Taman Mini Indonesia adalah simbol dari tendensi itu: di sana "perbedaan" dinyatakan dengan berbagai bangunan yang "baku", masing-masing satu dari tiap provinsi. Sementara itu, "persatuan" dilambangkan dengan sebuah wilayah yang terbentang tapi bisa didefinisikan dengan jelas (dan dengan pongah) dari atas. Dalam keutuhan itu, tak mungkin ada perubahan, mustahil ada hidup yang saling tangkar dan buah yang hibrida. Yang kita saksikan adalah sebuah kekerasan terhadap proses yang sebenarnya terus-menerus berlangsungproses yang bergerak antara persatuan dan perbedaan.
Kekerasan itu, kita tahu, kemudian tak hanya berlaku di dunia simbol. Ia juga diekspresikan dengan teror. Di tahun 1976 Timor Timur dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia dengan kekuatan militer, dan momen ethis nasionalisme tahun 1920-an pun punah. Tiba-tiba kita diberi tahu oleh para pemegang bedil bahwa Indonesia bukan lahir dari jabat tangan dan sikap membuka diri. Tiba-tiba Indonesia tampak sebagai sebuah konstruksi yang dibangun dengan dana dan senjata.
Sampai kapan? Saya tak tahu. Kini dari Sabang sampai di Merauke ada orang yang ditembak dan menembak mati. Bergema atau tidak, berbalas atau tidak, esok seseorang harus berani menyerukan salam yang dulu itu lagi.
Goenawan Mohammad